PERMOHONAN praperadilan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP) kasus Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah, dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dikabulkan (19/4).
Pertimbangan hakim mengatakan, aspek sosiologis sebagai alasan diterbitkannya SKPP dinilai tidak sesuai dengan Pasal 140 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sehingga SKPP itu ”divonis” melanggar hukum. Atas ditolaknya SKPP, hakim lalu memerintahkan kasus yang menimpa Bibit dan Chandra dilimpahkan ke pengadilan untuk diperiksa.
Sebagai catatan, termohon dalam praperadilan yang diajukan oleh Anggodo Widjojo, adik tersangka korupsi sistem komunikasi radio terpadu (SKRT) di Dephut Anggoro Widjojo, melalui kuasa hukumnya adalah Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
Diterimanya permohonan praperadilan ini sudah dapat diramalkan jauh hari. Dalam artikel penulis ”Pesan Bersayap SKPP Bibit-Chandra” (SM, 05/12/09), Kejaksaan Agung (Kejagung) terkesan mendua dan tidak legawa melepaskan Bibit dan Chandra.
Meski SKPP diterbitkan, jaksa penuntut umum tetap menilai keduanya memenuhi delik pidana Pasal 12 Huruf jo Pasal 23 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pandangan jaksa penuntut umum, Bibit dan Chandra dianggap keliru menggunakan wewenangnya pada kasus penerbitan surat cekal terhadap Anggoro dan melakukan pemerasan terhadap Anggodo melalui Ari Muladi.
Selain itu, Kejakgung terlihat setengah hati mengeluarkan SKPP Bibit-Chandra. Jika disimak, Pasal 140 Ayat (2) Huruf a KUHAP hanya memuat tiga alasan diluluskannya SKPP. Pertama, tidak terdapat cukup bukti. Kedua, peristiwa yang akan dituntut ternyata bukan tindak pidana. Ketiga, perkara ditutup demi hukum.
Sedangkan SKPP Bibit-Chandra yang ada di meja pengadilan sekarang memuat alasan aspek sosiologi. Alasan sosiologis tidak pernah sekali pun berlaku sebagai alasan atau berposisi menggantikan tiga alasan yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan (KUHAP). Pantas saja bila hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memeriksa permohonan praperadilan meloloskan dan memenangkan Anggodo Widjojo, sebagai pemohon.
Bisa Memberi Cap
Sebenarnya Kejakgung dahulu bisa mengggunakan alasan yang sesuai hukum formal. Pasalnya, Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum Kasus Bibit-Chandra atau Tim 8 dalam laporan 16 November 2009 menyatakan, surat cekal KPK terhadap Anggoro yang hanya ditandatangani Bibit-Chandra tidak melanggar wewenang. Karena proses seperti itu pernah pula dilakukan oleh pimpinan KPK sebelumnya.
Lagi pula, keduanya menangani bidang penindakan yang berarti bisa memberi cap permohonan surat cekal.
Kemudian, uang suap yang disuarakan oleh Anggodo dan kemudian dituduhkan mengalir ke Bibit dan Chandra ternyata tidak sampai ke keduanya. Ada semacam missing link aliran uang yang berakhir ke Yulianto. Dan, hingga saat ini persona bernama Yulianto itu tidak dapat dibuktikan wujudnya.
Adalah mengherankan kenapa Kejakgung tidak mengutip temuan Tim 8 sebagai alasan SKPP yang diterbitkan pada 1 Desember 2009 tersebut. Padahal tim tersebut telah memeriksa secara maraton berkas dan saksi pada kasus Bibit dan Chandra. Kejakgung lebih memilih adanya desakan publik (sosiologis) dan pidato Presiden SBY sebagai cantolan keluarnya SKPP. Sekali lagi, alasan itu bukanlah yang ditetapkan oleh hukum sebagai alasan penerbitan SKPP.
Walau publik bersuara lantang, memekik, mendukung Bibit dan Chandra dalam perang dunia fabel Cicak Vs Buaya kala itu, atau meski di persidangan MK terngiang dugaan suara Anggodo yang terdengar merekayasa penangkapan Bibit dan Chandra, kasus penyalahgunaan wewenang dan pemerasan yang dituduhkan kepada pimpinan KPK tersebut tetap harus dimejahijaukan.
Apalagi, negara ini sudah mendeklarasikan diri sebagai negara hukum. Bahwa putusan pengadilan atas praperadilan SKPP Bibit-Chandra harus dieksekusi. Sebab, putusan pengadilan adalah hukum yang harus dihormati. Namun, diterimanya permohonan praperadilan SKPP Bibit-Chandra tak berarti kiamat bagi pemberantasan korupsi. Setidaknya, ada tiga hal yang dapat dilakukan untuk melindungi SKPP Bibit-Chandra.
Pertama, Kejakgung harus bertanggung jawab terhadap dikabulkannya permohonan praperadilan. Bentuk tanggung jawab itu ditempuh dengan menyatakan banding terhadap putusan PN atas SKPP Bibit-Chandra. Lagi pula, Kejakgung adalah pihak termohon. Jadi, seharusnya tanpa didesak pun, layak mengajukan banding.
Kedua, Kejakgung harus belajar dari peristiwa yang lampau agar tidak kalah untuk kali kedua kali. Alasan banding yang akan diajukan ke Pengadilan Tinggi mesti memuat alasan-alasan hukum yang jelas, tidak multitafsir, dan sesuai dengan aturan perundang-undangan. Karena, praperadilan adalah sebuah pemeriksaan hukum formal yang mengacu pada undang-undang.
Kejakgung dapat menggunakan kerangka berpikir Tim 8 sebagai alasan banding. Ketentuan yuridis atau demi hukum dijelaskan secara seksama dengan tambahan alasan sosiologis hukum. Apabila alasan banding tidak memenuhi ketentuan hukum, boleh jadi kasus Bibit-Chandra memang benar-benar akan disidangkan ke pengadilan.
Terakhir, yang lebih penting sebenarnya adalah hasrat Kejakgung untuk turut serta memberantas korupsi. Sebagai penerbit SKPP itu, Kejakgung akan memikul beban moral yang sangat berat ketika SKPP kalah lagi di tingkat banding. Di samping berefek buruk karena membuat goncang KPK akibat dua pimpinannya diperkarakan. Dan, bukankah beban moral itu harus dihindari? Hanya Kejaksaan Agung yang tahu. (10)
— Hifdzil Alim, peneliti pada Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
Wacana Suara Merdeka 23 April 2010