22 April 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Ironi Olah Raga Jawa Barat

Ironi Olah Raga Jawa Barat

Oleh Aceng Roni Sya’bana

Batas waktu pengembalian formulir Calon Ketua Umum Komite Nasional Indonesia (KONI) Jawa Barat telah ditutup. Regenerasi kepengurusan serta pembaharuan atau apabila ada program baru yang lebih baik, selalu diinginkan oleh pemangku kepentingan olah raga. Perebutan ketua umum rupanya lebih mendapat porsi lebih banyak, ini terlihat dari pembukaan bakal calon ketua umum yang dilaksanakan jauh-jauh hari sebelum kegiatan Musyawarah Olah Raga Provinsi (Musorprov) Jawa Barat. Ramainya pemilihan ketua umum KONI ini sesungguhnya wajar, mengingat kebanyakan organisasi di lingkungan kita lebih banyak bergantung kepada figur seseorang.

Rupa-rupanya kepedulian masyarakat terhadap dunia olah raga begitu tinggi. Hal ini, sebaiknya direspons dengan bijaksana dan penuh harapan. Termasuk di Jawa Barat, insan olah raga dan masyarakat melihat prestasi lebih dari bidang olah raga tidak begitu menggembirakan dan tak mampu bicara banyak. Pada Pekan Olah Raga Nasional (PON), Jawa Barat dalam hal pemburuan medali kalah oleh Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Jawa Tengah. Walaupun Program Jabar 100 yang dicanangkan pada PON kemarin, berhasil menembus target dan perlu dipertahankan. Namun, tetap Jawa Barat masih belum menjadi juara umum.



Prestasi olah raga Jawa Barat, yang cenderung stagnan dan tidak mencapai prestasi menggembirakan itu menyisakan beberapa ironi. Pertama, Jawa Barat adalah provinsi yang maju dengan dukungan potensi atlet cukup berlimpah. Bayangkan, dengan jumlah penduduk Jawa Barat yang besar, pastilah mempunyai putra-putri berpotensi cukup baik. Mungkin faktor pembinaan, yang selama ini kurang di Jawa Barat. Budaya mencomot atau mendatangkan atlet dari luar daerah masih sering terjadi, terutama dalam pekan olah raga daerah (porda). Daerah-daerah kurang sabar membina atlet-atlet muda, kasarnya lebih baik membeli atlet jadi daripada menggodok dan menghasilkan atlet asli daerah bersangkutan. Padahal, dengan pembinaan atlet asli daerah banyak keuntungan yang didapat. Setidaknya pembinaan atlet lokal daerah sendiri lebih murah dan lebih bersemangat memajukan sektor olah raga di daerah sendiri.

Kedua, olah raga Jawa Barat didukung oleh kemampuan akedemi praktisi mumpuni, yang dibesarkan dalam dunia akademis sekaligus membidani serta ikut  aktif  keolahragaan. Fakultas Pendidikan Olah Raga dan Kesehatan di Universitas Pendidikan Indonesia,  seyogianya menjadi modal dan kelebihan dalam pembangunan olah raga yang lebih  bagus. Di sana begitu banyak mahasiswa, yang akan menjadi calon guru olah raga dan dididik secara sistematis untuk kepentingan pembelajaran olah raga. Fakultas ini seyogianya menjadi laboratorium, untuk pengembangan dan penelitian bidang keolahragaan terutama Jawa Barat, dengan begitu kita akan mendapat analisis yang utuh mengenai kondisi olah raga Jawa Barat. Penulis melihat selama ini peran kampus dalam pembangunan Jawa Barat, bukan hanya bidang olah raga, terkesan dikesampingkan. 

Ketiga, dukungan dana yang digelontorkan pemerintah provinsi sangatlah besar. Bayangkan, dengan dukungan dana lebih dari Rp 40 miliar per tahunnya, KONI seharusnya mampu menunjukkan prestasi olah raga yang membanggakan bagi rakyat Jawa Barat, tidak hanya lantas puas dengan prestasi mampu mencapai lebih dari seratus emas. Namun, hal itu luput dari evaluasi dan audit dari penggunaan dana yang besar tersebut. Sebagai catatan, pada tahun anggaran 2008 dana yang diterima KONI mencapai angka Rp 78,5 miliar dan untuk tahun anggaran 2010 yang digelontorkan ke KONI Jabar mencapai Rp 42 miliar. Evaluasi ini penting, jangan sampai penggunaan anggaran ini lebih banyak dihabiskan untuk yang lainnya, selain untuk peningkatan prestasi olah raga Jawa Barat. Proyeksi anggaran pun seyogianya diarahkan untuk peningkatan prestasi dengan sistem proporsional. Dengan begitu, dana riil anggaran untuk pembinaan dan biaya lainnya penunjang prestasi olah raga dapat dipetakan dengan sistematis.

Keempat, faktor kepemimpinan. Posisi-posisi strategis selama ini diisi orang-orang yang capable. Ada mantan ketua DPRD Jabar, Ketua PWI, Guru Besar Ilmu Olah Raga UPI, dan sebagainya. Namun, yang kurang adalah sinergisitas dan kecocokan irama. Unsur profesionalitas ke depannya harus ditunjukkan. Tidak mengapa sebenarnya pembinaan olah raga dipimpin siapa pun. Akan tetapi, seharusnya dia mengerti dan mau belajar serta mempunyai jaringan luas, sehingga anggaran bukan semata-mata dari APBD, melainkan pula dari sponsorship dan dana lainnya yang tidak mengikat. Profesionalisme ini penting mengingat pengelolaan olah raga haruslah dengan benar dan terarah, jangan sampai KONI hanya tempat mangkal atau sampingan bagi pengurus. Dengan demikian, perlu adanya pengelola yang intens dan konsentrasi untuk mengurus KONI.

Itulah renungan penulis dalam memandang olah raga Jawa Barat selama ini, semoga menjadi masukan untuk KONI Jawa Barat yang akan menggelar Musyawarah Olah Raga Provinsi (Musorprov) Jawa Barat. Harapan kita semoga olah raga Jawa Barat menjadi lebih maju dan berprestasi.***

Penulis, anggota Komisi E/ Sekretaris Fraksi Partai Demokrat DPRD Provinsi Jawa Barat.
Opini Pikiran Rakyat 23 April 2010