22 April 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Korupsi Dalam Lanskap Otonomi

Korupsi Dalam Lanskap Otonomi

Oleh Aan Zainal Hafid

Dengan banyaknya kasus korupsi yang menyebabkan menguapnya uang negara dalam jumlah yang amat besar, di satu sisi kita kian disadarkan bahwa nyatanya rakyat masih berada dalam mimpi kesejahteraan. Terjadinya berbagai bentuk ekspresi tuntutan rakyat di berbagai daerah atas hak kesejahteraannya yang belum kunjung diperoleh adalah fakta bahwa kesejahteraan belum dapat terdistribusi dengan baik. Tanpa disertai kejujuran dan semangat pengabdian dari para penyelenggara pemerintahan di daerah, otonomi daerah yang dijalankan hanya akan seperti lanskap yang dipenuhi dengan imaji-imaji yang tak banyak membawa perubahan.

Otonomi daerah yang ditandai terjadinya distribusi kekuasaan dari pusat ke daerah, ternyata tidak serta-merta dapat menciptakan kesejahteraan rakyat dengan lebih cepat. Semangat efektivitas pelayanan yang didengung-dengungkan, dalam perwujudannya masih jauh panggang dari api. Dengan desentralisasi kewenangan yang sesungguhnya makin menguatkan kekuasaan daerah, ternyata di dalamnya menunjukkan fakta yang lain bahwa kasus korupsi juga meningkat amat tajam. Ia bereskalasi dengan sangat mencemaskan.



”Tajuk Rencana” Pikiran Rakyat (17/4) menggambarkan otonomi daerah yang sesungguhnya membuka ruang yang lebih besar bagi pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya masing-masing, justru dimanfaatkan sebaliknya dengan adanya persekongkolan pejabat daerah serta wakil rakyat untuk bersama-sama melakukan korupsi. Tanpa menafikan adanya beberapa daerah yang telah menunjukkan prestasinya yang signifikan, terkesan bahwa terjadinya distribusi kekuasaan itu malah diikuti ”distribusi” korupsi dalam skala yang lebih luas. Data yang dilansir Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa dalam rentang 2004-2009, 19 bupati/wali kota dan 5 gubernur ditangkap KPK karena diduga terlibat kasus korupsi. Belum lagi sejumlah anggota DPRD di berbagai daerah yang tersandung kasus serupa.

Ironisnya, dana dekonsentrasi yang digelontorkan pemerintah pusat ke daerah, misalnya, nyatanya justru banyak yang tidak terserap dengan maksimal. Kesiapan dan profesionalitas birokrasi di daerah tampaknya menjadi salah satu soal. Selain itu, banyak pimpinan daerah yang karena merasa mempunyai kekuasaan besar, sering menempatkan pejabat eselon hanya berdasarkan kepentingannya tanpa mempertimbangkan pengalaman, latar belakang pendidikan, dan keahliannya. Sering pula terjadi, pejabat eselon yang baru menempati posnya dalam hitungan bulan, tiba-tiba diputar kembali ke pos yang lain. Dengan begitu, mereka jadi tak cukup punya waktu untuk belajar dan mencurahkan kemampuan di bidang tugasnya.

Fenomena lain, kerap adanya silang pendapat antarbirokrasi provinsi dengan kabupaten/kota perihal kewenangan masing-masing dalam kerangka otonomi daerah. Akan tetapi, yang diperdebatkan sering kali bukan soal tentang bagaimana pembagian kewenangan mereka dalam melayani rakyat, melainkan lebih pada soal distribusi kewenangan pengelolaan dana yang ujung-ujungnya bisa kita tebak. 

Ladang yang meluas

Perjalanan otonomi daerah yang juga diwarnai banyaknya pemekaran daerah, di samping mengukuhkan daerah sebagai kekuatan politik dengan kewenangannya yang  makin membesar, pada saat yang sama juga memunculkan elite-elite kekuasaan baru yang diuntungkan dengan terjadinya pemekaran itu. Ini artinya, apabila mereka bersandar pada semangat untuk memberikan akses yang seluas-luasnya bagi rakyat untuk mendapatkan pelayanan, dengan sendirinya akan melapangkan jalan bagi datangnya kesejahteraan. Akan tetapi, apabila yang terjadi adalah hal yang sebaliknya, dengan tersebarnya kekuasaan itu justru semakin memperluas ladang  korupsi yang sewaktu-waktu bisa mereka petik.

Di titik inilah kita harus ingat, ketika kekuasaan sentralistis runtuh dan kemudian otonomi daerah digulirkan, saat itu rakyat menyambutnya dengan gegap gempita. Benak rakyat dipenuhi dengan taburan harapan. Betapa tidak, ketika di masa lalu para pemimpin seolah berada jauh di menara gading kekuasaannya, dengan otonomi daerah itu diharapkan keadaan akan berbalik.

Rakyat membayangkan, pemimpin akan semakin dekat bahkan berada langsung di tengah-tengah rakyat. Pemimpin yang mau bersatu, bahu-membahu membangun daerah dengan senantiasa mengedepankan kepentingan rakyat. Dengan demikian, harapan rakyat akan terjadinya percepatan capaian tingkat kesejahteraan, benar-benar dapat diwujudkan. Itulah memang nuansa yang sejatinya ada dalam lanskap otonomi.

Namun, dengan adanya kenyataan yang menegaskan makin meruyaknya korupsi di daerah, dapat dikatakan bahwa hal itu merupakan bentuk pengkhianatan terhadap rakyat. Mereka yang melakukan korupsi nyata-nyata merupakan penumpang gelap otonomi yang senantiasa menebar pandangan mencari-cari kesempatan. Dalam keadaan begini, penegakan hukum harus benar-benar diwujudkan untuk memenuhi rasa keadilan. Evaluasi pun harus terus-menerus dilakukan untuk mencapai efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.

Karena tentu saja, rakyat tak ingin lagi dibenamkan pada harapan-harapan kosong tentang kesejahteraan. ***

Penulis, Kepala Instalasi Lab. Praktikum Profesi Pekerjaan Sosial dan Media pada BBPPKS Bandung. 
Opini Pikiran Rakyat 23 April 2010