04 Maret 2010

» Home » Suara Merdeka » Wajah Demokrasi dari DPR

Wajah Demokrasi dari DPR

SUNGGUH memalukan tontonan dari panggung sidang paripurna DPR, baik yang terjadi di dalam maupun luar gedung, yang disiarkan langsung oleh media elektronik. Inilah wajah demokrasi di Indonesia yang sesungguhnya, belum menyentuh ke arah substansialnya tetapi masih bersifat euforia saja. Wakil-wakil rakyat dan demonstran pun tidak dapat mengendalikan diri dalam menyampaikan aspirasinya, bahkan emosinya meletup-letup, bagai api dalam sekam.


Pelajaran apa yang dapat dipetik dari kasus tersebut? Ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab, yaitu sistem kepartaian, sistem pemilu, sistem presidensiil, dan sistem pemerintahan daerah yang yang cocok atau khas untuk Indonesia?
Berangkat dari pendapat Sigmund Neumann (dalam Miriam Budiardjo 1981:14) tentang partai politik disebutkan bahwa partai politik (parpol) adalah organisasi artikulatif yang terdiri atas pelaku politik yang memusatkan perhatian dan pengendalian kekuasaan pemerintahan dan bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat, dengan beberapa kelompok lain  yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Atau dengan kata lain sebagai perantara yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideologi sosial dengan lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi dan yang mengaitkan dengan aksi politik di dalam masyarakat politik yang lebih luas. Dan pendapat Carol C Gould (1990: 104-113) bahwa demokrasi itu tidak semata-mata berkaitan dengan aspek politik, tetapi juga menyangkut aspek ekonomi dan sosial.
Belum Bagus Nah, fenomena politik yang saat ini terjadi, menunjukkan arah bahwa ternyata sistem kepartaian di Indonesia yang multipartai belum bagus karena parpol tidak dan belum mampu mengelola demokrasi dengan baik, implikasinya pemerintahan menjadi tidak stabil. Hal ini diperkuat dengan sistem presidensiil kita yang lemah, terbukti dengan sistem multipartai ternyata juga tidak efektif karena pada akhirnya kita tidak dapat memilah mana parpol yang berkoalisi dan mana parpol yang mengambil sikap oposisi.

Partai pasa zaman Orde Baru seperti Partai Golkar, PDI (kini menjadi PDI Perjuangan-Red), dan Partai Persatuan Pembangunan sampai kapan pun juga, tidak akan mungkin berkoalisi. Adapun partai yang lahir setelah reformasi seperti PAN, Partai Demokrat, PKB ada kemungkinan untuk berkoalisi. Sehingga semakin jelas bahwa buat apa ada koalisi jika tidak dapat saling menjaga koalisi?

Dari pembahasan kedua sistem tersebut, tentu ada hubungannya dengan sistem pemilu di Indonesia, yaitu bagaimana membuat undang-undang (UU) pemilu yang efisien dan efektif karena undang-undang pemilu itu dibuat oleh para politikus dalam kondisi yang sangat situasional. Maknanya bagaimana UU pemilu dibuat dengan memperhatikan kondisi geografis Indonesia yang terdiri atas ‘’beribu-ribu’’ pulau, dan masyarakatnya sangat majemuk seperti banyaknya etnis, ras, suku, dan lain-lain. Hal itu tentu membutuhkan formulasi, misalnya belajar dari negara lain, sistem pemilu mana yang cocok diterapkan di Indonesia.

Demikian pula dengan sistem pemerintahan daerah yang bagaimana yang cocok diterapkan, misalnya seperti pemilihan gubernur dan wakil gubernur  apakah dipilih langsung oleh rakyat, atau oleh anggota DPRD atau ditunjuk langsung oleh presiden? Karena pada dasarnya, gubernur itu adalah wakil pemerintah pusat yang ada di daerah. Bagaimana dengan pemberlakuan otonomi daerah antara provinsi dan kabupaten/kota?

Seharusnya bangsa Indonesia harus mulai mengubah cara pandangnya, bahwa pembentukan provinsi, kabupaten/kota adalah peninggalan zaman kolonial, ternyata implikasinya saat ini sangat rumit untuk diterapkan, dan apakah masih relevan dengan kondisi sekarang? Jadi, ke depan seharusnya sistem pemerintahan daerah kita dibentuk secara modern.

Akhirnya, jika sistem kepartaian, sistem pemilu, sistem presidensiil, dan sistem pemerintahan daerah kita masih seperti sekarang ini, maka pemerintahan kita ke depan (hasil Pemilu 2014) tidak akan ada perubahan yang mendasar, bahkan kondisinya masih akan tetap seperti sekarang ini, bahkan lebih rumit lagi.

Simpulannya, sekarang ini dibutuhkan pemikiran-pemikiran yang brilian dari para pakar untuk membuat konsep/memberi kontribusi bagi masa depan negara kita, Indonesia tercinta.

— Doktor Ari Pradhanawati, dosen FISIP Universitas Diponegoro, Dewan Pakar Budi Santoso Foundation

Wacana Suara Merdeka 04 Maret 2010