DRAMA Century tidak hanya menghilangkan gaung program seratus hari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), namun lebih jauh lagi akan mengancam stabilitas, bahkan kemungkinkan menghentikan duet pemerintahan SBY-Boediono. Kesimpulan Pansus Century, baik pandangan awal maupun pandangan akhir, masih menimbulkan skor 7 untuk kubu yang menyatakan banyak kesalahan pada kebijakan Century dan poin 2 bagi kubu yang mendukung penyelamatan bank tersebut. Parahnya lagi, kasus Century itu telah memorak-porandakan koalisi yang dibangun SBY dengan partai yang dulu berkomitmen bergabung di pemerintahan.
Pertanyaannya, bagaimana kelanjutan drama itu? Apakah SBY-Boediono sebagai pemegang kekuasaan bisa keluar dari tekanan (politik) drama Century?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis teringat pada lontaran pertanyaan David Easton dalam mendefinisikan dan menjelaskan secara lengkap tentang apa itu sistem politik. Dalam pandangan sederhana Easton, sistem politik itu terdiri atas input, proses, dan output yang di dalam proses alokasi nilai output berupa kebijakan.
Easton menambahkan bahwa output dari sistem politik itu akan menjadi feedback yang melahirkan dua kemungkinan. Yaitu, dukungan politik yang akan menghasilkan kestabilan dan tuntutan yang bakal menimbulkan tekanan politik. Pertanyaan di atas yang kemudian menjadi kegundahan Easton, mengapa pemerintahan masih bisa bertahan meskipun setiap kebijakannya menghasilkan tekanan politik. Jawaban terhadap pertanyaan itu akhirnya menjadi tesis yang sangat penting dalam menganalisis sistem politik, khususnya politik di Indonesia.
Easton menjelaskan bahwa sistem politik bisa berjalan secara stabil (baca: tidak ada tekanan) jika penguasa mampu mendesain fungsi input (feedback) menjadi dukungan bagi sistem. Easton menyebutkan, ada tiga upaya yang bisa dilakukan untuk mengoptimalkan dukungan bagi sistem. Yaitu, memperkuat/membangun rezim, mengoptimalkan kemampuan sosialisasi dan komunikasi politik, serta melakukan politisasi terhadap isu.
Upaya pertama itu yang selama ini diterapkan Soeharto dengan rezim orde barunya, yang hampir semua lini dioptimalkan untuk selalu mendukung kebijakan pemerintahan meskipun pahit bagi masyarakat. Bagi pemerintahan SBY, itu akan sulit ditempuh, bahkan sangat mustahil dilakukan, karena iklim demokrasi sudah berbeda. Dan, dalam konteks kasus Century kali ini, rasanya sama sekali tidak menemukan celah. Jangankan membangun rezim, koalisi saja dengan modal lebih dari 50 persen di parlemen bisa rontok saat ini.
Bagaimana langkah kedua, yaitu sosialisasi dan komunikasi politik? Langkah itu pernah berhasil dilakukan SBY saat membuat kebijakan menaikkan harga BBM yang lebih dari 100 persen. Teringat dalam memori kita bahwa kebijakan tersebut juga menimbulkan tekanan politik luar biasa bagi pemerintahan SBY saat itu. Namun, dengan kelihaian sosialisasi dan komunikasi politik yang dilakukan pemerintahan SBY saat itu, akhirnya pemerintah bisa keluar dari tekanan, bahkan dukungan pun muncul.
Peran sosialisasi yang dilakukan tidak tanggung-tanggung, bahkan melibatkan para pengamat politik dan ekonomi atau dikenal sebutan intelektual tukang saat itu. Di antaranya, Anggito Abimanyu, Rizal Mallarangen, dan mereka yang berada dalam payung Freedom Institut. Sosialisasi dan komunikasi politik yang lihai juga dengan mengalihkan perhatian kebijakan kenaikan harga BBM yang kemudian digantikan dengan kebijakan dana kompensasi kenaikan harga BBM dan BLT (bantuan langsung tunai).
Dalam kasus Century ini, tampaknya kelompok SBY sulit melakukan sosialisai dan komunikasi politik. Meskipun banyak kelompok intelektual yang mendukung, akumulasi yang kontra lebih banyak. Lebih merepotkan lagi, kasus Bank Century itu sudah menjadi drama publik dan masyarakat relatif sudah mengetahui secara terbuka sehingga publik sudah bisa menilai.
Tampaknya, sulit dan riskan sosialisasi dan komunikasi politik dioptimalkan untuk mengelabui tingkat pengetahuan masyarakat yang telanjur secara terbuka bisa menilai masalah tersebut. Bukti konkretnya, partai koalisi pemerintahan, minus PKB, berpikir ulang tentang investasi politik. Mereka sangat memperhitungkan citra partai bila kemudian menyatakan sikap berbeda dengan penilaian masyarakat.
Strategi ketiga yaitu politisasi isu yang saat ini tampaknya dilakukan kelompok pendukung pemerintahan SBY-Boediono. Salah satu di antaranya adalah pernyataan SBY untuk memerangi kejahatan penggelapan pajak yang kemudian dibaca sebagai serangan terhadap pimpinan salah satu partai yang berseberangan, yakni Partai Golkar.
Serangan berikutnya, membuka kembali kasus lama yang banyak melibatkan politisi PDIP. Yang terbaru adalah melibatkan ring staff khusus kepresidenan yang menyerang politisi PKS dan menjadikan isu Century sebagai bahan jual beli atau barter kasus. Atau, penerbitan UU yang bakal memidanakan pelaku nikah siri yang menyemarakkan wacana publik saat ini bisa dimaknai bagian dari strategi tersebut.
Memori kita juga pernah mencatat bahwa strategi itu pernah berhasil saat isu kenaikan harga BBM tergantikan dengan isu kisruh PKB saat Gus Dur, serta kontroversi RUU Antipornografi dan Antipornoaksi. Tapi, dalam kasus Century saat ini, runoanya strategi tersebut tidak terlalu jitu mengalihkan perhatian publik. Sebab, preferensi media dalam menyoroti kasus tersebut sangat luar biasa bak telenovela dan infortainment sehingga -sekali lagi- tidak mudah menggeser perhatian publik.
Apa yang disampaikan Easton tersebut, tampaknya, sulit diterapkan pemerintahan SBY-Boediono untuk bertahan, bahkan menghilangkan tekanan. Namun, sekali lagi, babak kisruh Century saat ini di tangan DPR yang jelas merupakan lembaga politik. Jadi, tidak ada yang tidak mungkin dalam politik. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan drama Century akan menjadi antiklimaks. Dan, itu juga menjadi bagian dari pemegang skenario drama saat ini, yakni DPR.
Gelagat itu sudah bisa dilihat dari kisruh pada paripurna DPR Selasa lalu yang kemudian menyebabkan butuh waktu sehari lagi untuk mem-pending dalam memutuskan ending drama pansus Century. Sebab, satu malam bisa mengubah skenario kalau ada cerita yang menarik bagi pemegang skenario yang kemudian dinamakan publik sebagai politik dagang sapi. Praktik itu sangat potensial memupus ending cerita tidak sesuai lagi dengan kesimpulan masyarakat saat ini. Semoga itu tidak terjadi. (*)
*). Hermanto Rohman, dosen Sistem Politik Indonesia FISIP Universitas Jember
Opini Jawa Pos 04 Maret 2010
04 Maret 2010
Membaca Drama Century
Thank You!