04 Maret 2010

» Home » Suara Merdeka » Jembatan Bijak Buruh-Pengusaha

Jembatan Bijak Buruh-Pengusaha

DEMO buruh (pekerja) hingga hari ini masih terjadi di berbagai daerah, tak terkecuali di Jawa Tengah. Tidak ada yang salah dengan demo tersebut karena dijamin dengan Undang-Undang (UU) sepanjang dilakukan dengan cara-cara damai, tidak mengganggu kepentingan umum, dan tidak merusak/menghina simbol-simbol negara.

Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Kependudukan Disnakertransduk) Provinsi Jawa Tengah memiliki unit pelaksana teknis (UPT) baru yakni Balai Pelayanan Penyelesaian Perselisihan Tenaga Kerja (BP3TK).


Dalam usianya yang belum genap dua tahun, lembaga ini telah menunjukkan kinerja optimal dalam membantu menyelesaikan perselisihan hubungan industrial (PHI).

Contohnya pada Maret 2009, Serikat Pekerja Nusantara (SPN) Sri Ratu Kota Pekalongan dan SPN Sri Ratu Mega Centre Kota Pekalongan berencana mogok kerja. Melalui keterlibatan BP3TK, kedua pihak (pekerja dan pengusaha) bisa dipertemukan untuk berunding. Akhirnya tercapai kesepakatan win-win solution sehingga rencana mogok kerja pun dibatalkan.

Januari-Desember 2009, tercatat sedikitnya 30 kasus PHI dan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang difasilitasi BP3TK. Memang, belum semua upaya ini membuahkan hasil karena semuanya berpulang kepada iktikad baik pengusaha dan pekerja sendiri.

Tetapi sebagian besar kasus mampu diselesaikan lewat musyawarah, dan sebagian lagi dalam proses penyelesaian. Kasus-kasus itu diselesaikan oleh Seksi PHI dan PHK, yang merupakan salah satu subbagian di BP3TK.

Balai ini juga memiliki Seksi Penyelesaian Kasus Penempatan Tenaga Kerja Dalam dan Luar Negeri, di samping Subbagian Tata Usaha dan Kelompok Jabatan Fungsional. Dalam susunan organisasi, semua subbagian ini bertanggung jawab kepada kepala balai.

Tanpa banyak diketahui publik, Seksi Penyelesaian Kasus Penempatan Tenaga Kerja Dalam dan Luar Negeri juga berhasil menjadi fasilitator terhadap 63 kasus TKI asal Jateng yang bekerja di luar negeri. Angka inipun baru merupakan rekapitulasi kasus sejak Januari hingga September 2009.

Kasus pertama yang ditangani BP3TK adalah pengalaman pahit yang dialami Siti Umaeni binti Tarsoni, yang bekerja di Arab Saudi. Selama 9 tahun bekerja di sana, warga RT 1 RW 7 Desa Tegalgandu Kecamatan Wanasari Kabupaten Brebes ini tidak pernah menerima gaji. Dia juga dilarang berkomunikasi dengan keluarga.

Pihak keluarga akhirnya mengadukan nasibnya ke Disnakertransduk Jateng untuk menuntut gaji Umaeni, sekaligus meminta pemulangannya segera ke Brebes.

BP3TK melalui Seksi Penyelesaian Kasus Penempatan Tenaga Kerja Dalam dan Luar Negeri kemudian membuat surat ke Depnakertrans, Disdukcapil-Nakertrans Brebes, dan PT Bumenjaya Duta Putra Jakarta selaku perusahaan pengerah tenaga kerja Indonesia (PPTKI).
Sanksi Tegas Melalui proses yang cukup alot, akhirnya dua tuntutan keluarga Umaeni dipenuhi. Depnaker menjatuhkan sanksi tegas kepada Bumenjaya Duta Putra, yaitu ditutup selamanya.

BP3TK bisa menjadi salah satu pilihan terbaik bagi pekerja dan sekelompok pekerja ketika mengalami perselisihan hubungan industrial, terutama dengan majikan atau pengusaha. Lembaga ini dianggap lebih progresif daripada dua lembaga yang digantikannya, yakni Kepaniteraan Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah dan Kepaniteraan Penyelesaian Perselisihan Ketenagakerjaan.

Kini, setelah menyelaraskannya dengan UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Jawa Tengah memiliki BP3TK untuk memberi pelayanan maksimal dalam menyelesaikan setiap perselisihan tenaga kerja serta penempatan tenaga kerja di dalam dan luar negeri.

BP3TK merupakan salah satu pilihan bagi pekerja atau kelompok pekerja yang mengalami persoalan dengan pengusaha. Sebab, seperti diatur lewat UU Nomor 2 Tahun 2004, ada beberapa jalur yang bisa digunakan untuk menyelesaikan PHI di luar pengadilan, antara lain melalui bipartit (Pasal 6 dan 7), mediasi (Pasal 9), konsiliasi (Pasal 19), dan melalui arbitrase. Sedangkan penyelesaian melalui pengadilan diatur dalam Pasal 56.

Masalah PHI sejatinya sudah muncul sejak Revolusi Industri digulirkan di Inggris (1760) dan Prancis (1789). Kondisi tersebut kini dijumpai di hampir semua negara, termasuk Indonesia. PHI muncul karena adanya dua kepentingan berbeda antara buruh dan pengusaha/majikan. Buruh ingin mendapatkan upah layak, sedangkan pengusaha ingin menekan biaya produksi, termasuk upah buruh. (10)


—Endro Harianto, Kepala Balai Pelayanan Penyelesaian Perselisihan Tenaga Kerja (BP3TK) Provinsi Jawa Tengah

Wacana Suara Merdeka 05 Maret 2010