Semuanya itu bermuara pada hari ini, 5 Maret 2010, bertepatan dengan 101 tahun Sutan Sjahrir, dengan diluncurkannya dua buku tentang Bung Sjahrir dalam suatu acara untuk para undangan. Buku pertama adalah terbitan baru berjudul Sutan Sjahrir: Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan/True Democrat, Fighter for Humanity; 1909-1966. Buku ini unik karena diterbitkan dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris) yang memuat tulisan esai biografis oleh wartawan senior Rosihan Anwar (87) dengan kata pengantar oleh Ignas Kleden.
Seratus foto tentang perjalanan hidup Sutan Sjahrir sejak ia di besarkan di kota Medan sampai dimakamkan di Taman Pahlawan, Kalibata, Jakarta Selatan, menunjang dua tulisan tersebut. Buku kedua (tebalnya hampir 500 halaman!) sebenarnya merupakan cetak ulang dari buku Mengenang Sjahrir yang diterbitkan pada awal 1980, sehubungan dengan peringatan 14 tahun meninggalnya Sjahrir pada 9 April 1966 di Zurich saat masih sebagai tahanan politik rezim Presiden Soekarno.
Buku itu (editor Rosihan Anwar; kata pendahuluan oleh Soedjatmoko) memuat sumbangan tulisan dari sejumlah besar tokoh di dalam dan di luar negeri yang pernah bekerja sama atau pernah mengenal Sjahrir. Cetak ulang ini menjadi tebal karena ditambahkan dengan beberapa tulisan oleh peserta dalam diskusi terbatas yang diselenggarakan di gedung Kompas, 2 Maret 2009, untuk memperingati Seratus Tahun Sutan Sjahrir. Cetak ulang ini atas dorongan Jakob Oetama dan St Sularto yang menulis 100 Tahun Sjahrir: Inspirator untuk Bangsanya.
Buku Sutan Sjahrir, Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan dikonsepsikan oleh Jaap Erkelens, warga Belanda, yang bertahun-tahun pernah bertugas sebagai Kepala Perwakilan Badan Riset dan Penerbitan Belanda, KITLV, di Jakarta. Ia fasih berbahasa Indonesia.
Cita-citanya adalah menerbitkan buku foto dengan esai biografis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris tentang tiga tokoh utama Revolusi Indonesia pada HUT ke-100 mereka, yakni Soekarno (terbit tahun 2001), Mohammad Hatta (terbit tahun 2002), dan Sutan Sjahrir, yang seharusnya terbit pada tahun 2009, tetapi karena beberapa kendala teknis baru terbit tahun 2010.
Jaap Erkelens bertekad untuk menunjang setiap buku dengan 100 foto yang dipilih secara ketat. Untuk buku seratus tahun Sjahrir ini, ia memerlukan dua tahun menelusuri sejumlah arsip yang menyimpan foto-foto Sjahrir. Dan, kalaupun diketemukan, pemilik arsip minta harga yang cukup tinggi untuk setiap foto yang akan dimuat sehingga memerlukan pendekatan diplomasi yang agaknya dilakukan oleh Jaap Erkelens secara efektif. Beberapa dari foto dalam buku Sjahrir, Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan memang mengharukan dengan penulisan teks keterangan yang sarat dengan ungkapan khas (kadang-kadang teks dalam bahasa Inggris lebih menarik dibandingkan dengan versi Indonesia), seperti foto di halaman 94: Amir Sjarifoeddin dan Sutan Sjahrir berdiri di tangga Istana Rijswijk (sekarang Istana Negara), dua tokoh pemimpin Sosialisme Demokrasi yang kemudian berpisah haluan; dan di halaman 163: Sjahrir, dengan istri dan keluarga sedang menghirup udara segar di tepi Danau Zurich tahun 1966, beberapa bulan sebelum ia meninggal.
Ukuran buku baru tentang Sjahrir ini, hasil gagasan Jaap Erkelens, amat menarik: 21 x 21 cm, dicetak dengan kertas kualitas luks. Sejumlah foto tua berhasil ”diremajakan” oleh Penerbit Buku Kompas sehingga lebih cemerlang pantulannya. Dua tulisan dalam buku ini: kata pengantar oleh Ignas Kleden dan esai biografis oleh Rosihan Anwar (padat, tidak bertele-tele) mengesankan kualitasnya. Tulisan Ignas Kleden bukan saja mencerminkan didikan solid yang dialaminya di Jerman di bidang sosiologi dan filsafat, tetapi ia juga menguasai kerangka teoretis dari alam pemikiran Sjahrir.
Rosihan Anwar dalam tulisannya memanfaatkan pengetahuan serta pengalamannya di bidang drama sehingga mampu menyajikan hidup Sjahrir dengan suasana suspense. Bung Rosihan meminjam alat utama untuk menganalisa drama, yaitu ”premis”. Tulisnya: ”Riwayat hidup Sjahrir, kita rumuskan premisnya sebagai berikut: Cita-cita yang luhur membawa kepada maut, tapi juga harapan.”
Dalam buku kedua, cetak ulang Mengenang Sjahrir (1980) dicantumkan subjudul yang tidak ada pada edisi aslinya, yakni kata-kata berikut: ”Seorang Negarawan dan Tokoh Pejuang Kemerdekaan yang Tersisih dan Terlupakan”.
Label ”Tersisih dan Terlupakan” tampaknya sudah merupakan merek pada figur Sutan Sjahrir. Merek itu sudah diberikan pada tahun 1995 oleh penulis biografi Sjahrir, Rudolf Mrazek, Sjahrir, Politics and Exile in Indonesia. Dalam bab penutup, ia secara prematur berkonklusi bahwa Sjahrir mulai dilupakan karena mereka yang mengenal dan mengaguminya satu per satu meninggal.
Paradoksnya, usaha mencetak buku tebal Mengenang Sjahrir itu sendiri membuktikan bahwa tidak begitu akurat menyebut Sjahrir sebagai ”Negarawan dan Tokoh Pejuang Kemerdekaan yang Tersisih dan Terlupakan”. Kalau demikian halnya, apa yang mendorong masyarakat, bahkandari generasi muda sekalipun, sekarang ini ingin mengetahui mengenai sosok, pemikiran, dan cita-cita Sutan Sjahrir?
Mungkin, seperti yang pernah dinyatakan Soedjatmoko, karena: ”Sjahrir, dalam tulisan-tulisannya, ataupun dalam tindakan-tindakannya, mencerminkan keyakinan bahwa kemerdekaan nasional hanya merupakan jembatan untuk tercapainya tujuan-tujuan perjuangan kebangsaan lainnya, yaitu kerakyatan, kemanusiaan, kebebasan dari kemelaratan dan tekanan dan pengisapan, keadilan dan pembebasan bangsa dari genggaman sisa-sisa feodalisme, serta pendewasaan bangsa”.
Sepuluh tahun setelah reformasi merekah, tampaknya justru meningkat urgensi untuk menemukan kembali tujuan esensial dari kemerdekaan nasional. Mungkin karena itulah, memperingati dan mengenang Sutan Sjahrir bukanlah sekadar ritual hampa belaka.
Opini Kompas 05 Maret 2010