04 Maret 2010

» Home » Suara Merdeka » Memperjelas Status Bank Syariah

Memperjelas Status Bank Syariah

Seorang mitra boleh melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya, dan dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan tambahan

BERDIRINYA bank syariah di Indonesia untuk kali pertama pada 1991 menjadi alternatif baru dunia perbankan, terutama bagi nasabah yang selama ini bertransaksi dengan bank konvensional.

 Respons masyarakat terhadap keberadaan bank syariah itu juga positif, apalagi Indonesia merupakan negara mayoritas berpenduduk muslim. Demikian juga dunia perbankan menyambut positif yang ditandai dengan menjamurnya pembentukan bank syariah.


Meskipun keberadaan bank syariah sudah belasan tahun, ada sebagian masyarakat yang menganggap praktik perbankan tersebut hampir-hampir tidak berbeda dari bank konvensional. Padahal secara konseptual, pengelolaan perbankan syariah jelas berbeda dari bank konvensional. Persepsi salah ini timbul bisa jadi karena belum bertemunya antara konsep dan implementasi.

Tulisan Saudara Mohammad Logika dan tanggapan salah satu bank syariah di rubrik ‘’Surat Pembaca’’ (SM, 31/10/10, 03/02/10, dan 09/02/10), menarik perhatian penulis untuk memberikan tanggapan sehubungan dengan apa yang menjadi ‘’perselisihan’’ di antara dua pihak tentang akad musyarakah yang telah disepakati.

Namun tulisan ini bukan bermaksud memberikan ‘’pembelaan’’ terhadap salah satu di antara dua pihak tersebut melainkan mencoba mendudukkan kembali konsep musyarakah (serikat dagang, kongsi, atau perseroan-Red).

Secara umum perbankan syariah dikenal dengan prinsip bagi hasil yang dapat dilakukan lewat akad musyarakah dan mudharabah dan prinsip jual beli dalam bentuk pembiayaan murabahah, ishtisnaĆ­, dan sebagainya.

Musyarakah mengambil dari istilah fikih al-musyarakah, yaitu akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/ expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan (Antonio, 2001:90).

Landasan syar’i-nya mengacu pada Alquran Surat  Shad (38) Ayat 24 yang artinya,’’...dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat  zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh ...’’), dan Hadis Nabi yang artinya,’’ Rasulullah SAW bersabda, bahwa sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati lainnya’.’’ (Hadis Riwayat Abu Dawud).

Dari Alquran dan Hadis tersebut dapat diperoleh informasi sebagai pegangan bagi pebisnis yang ingin memilih bentuk musyarakah harus memiliki komitmen saling percaya dengan mitra bisnisnya dengan landasan keimanan kepada Alah SWT.

Lebih konkret pembiayaan musyarakah (project financing participation) dengan sistem bagi hasil ini bisa dijelaskan misalnya pihak bank ikut serta atau partisipasi dalam suatu proyek atau usaha dalam bentuk penyertaan modal dan kerja/manajemen/expert.

Dalam fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Nomor 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang  Pembiayaan Musyarakah, Khususnya Objek Akad (modal, kerja, keuntungan, dan kerugian) dipersyaratkan antara lain;  pertama, modal harus uang tunai, emas, perak atau yang nilainya sama, dan dapat terdiri atas aset perdagangan, seperti barang-barang, properti, dan sebagainya. Jika modal berbentuk aset, harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai dan disepakati oleh para mitra.

Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dapat meminta jaminan. Kedua, partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan musyarakah namun kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan syarat.

Seorang mitra boleh melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya, dan dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya. Ketiga, keuntungan harus dikuantifikasi secara jelas untuk menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau penghentian musyarakah.

Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi seorang mitra. Keempat, kerugian harus dibagi di antara para mitra secara proporsional menurut saham masing-masing dalam modal.

Nilai filosofis sistem pembiayaan syariah tercermin adanya kesetaraan antara capital  dan labour, entrepreneurship, skill, expert, yang selama ini terpisah jauh dalam sistem konvensional.

Sebagaimana yang kita kenal, sistem konvensional diciptakan untuk menunjang para pemilik modal, sementara pengelola modal diposisikan pada posisi subordinat.

Hal ini tentu sangat berbeda jauh dari sistem pembiayaan syariah yang memiliki spirit kesetaraan, kebersamaan, dan keadilan antara pemilik dana dan pengusaha yang diwujudkan dalam bentuk sama-sama menanggung kerugian di samping sama-sama membagi keuntungan (loss and profit sharing) sesuai dengan kesepakatan bersama secara proporsional
Kembali pada tulisan di rubrik ‘’Surat Pembaca’’ sebagaimana dijelaskan menjadi studi kasus yang perlu disikapi secara bijak agar tidak timbul persepsi yang salah di tengah masyarakat bahwa bank dan atau lembaga keuangan syariah sama dengan bank konvensional.

Pasalnya, jika mengkaji permasalahan yang  disampaikan, bahwa musyarakah adalah akad kerja sama antara dua belah pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dan kerja / keahlian / expertise dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama, sehingga dalam kaca mata pandang ini dapat kami sampaikan sebagai berikut:

Pertama, keuntungan riil suatu usaha tidak mungkin fixed setiap bulan, tapi fluktuatif. Prinsip bagi hasil dalam sistem musyarakah berbeda dari prinsip bunga di mana bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapapun keuntungan yang dihasilkan nasabah bahkan sekalipun merugi.

Kedua, dalam sistem pembiayaan musyarakah, risiko usaha ditanggung semua pihak yang bersyirkah (syarikah, serikat, atau kongsi).
Ketiga, sistem musyarakah bertitik tolak dari kerja sama antara kedua belah pihak atau lebih, maka masing-masing pihak statusnya sebagai mitra usaha yang berkontribusi dana/ modal dan kerja/expert , dan dengan demikian posisi masing-masing adalah sejajar.

Memang dalam fatwa DSN dimungkinkan (bukan keharusan) adanya jaminan, hal ini mungkin bisa dilaksanakan untuk kasus di mana pihak bank kontribusi dananya lebih besar dibanding mitranya (pengusaha).

Lain lagi jika seluruh dana dalam suatu proyek/ usaha berasal dari pihak bank maka sistem pembiayaannya menjadi mudharabah tentu diperlukan adanya jaminan. Dalam hal ini jaminan sebagai upaya menumbuhkan saling percaya, sebagaimana pesan Alquran dalam Surat al-Baqarah Ayat 283 yang artinya,’’maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang oleh sahibul mal (pemilik dana)’’.

Akan tetapi jika sudah terbangun saling kepercayaan antara sahibul mal dan mudharib (pengusaha) tentu agunan yang berwujud materi tidak lagi diperlukan, melainkan cukup dengan jaminan personal (personal collateral), karena hal demikian berarti si mudharib adalah orang yang amanah yang pasti akan melaksanakan amanah atas dasar ketakwaan kepada Allah SWT sebagaimana digambarkan kelanjutan ayat tersebut yang artinya,’’Akan tetapi jika sebagian kamu memercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (mengelola modal dengan jujur) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya’’. 

Ayat ini ditutup dengan kalimat yang tegas sebagai pegangan bagi pebisnis yang berlandaskan ketakwaan kepada Allah SWT, di mana mereka selalu menyadari bahwa apa yang dikerjakan dalam berbisnis akan selalu diketahui oleh Allah sekalipun mungkin mereka mampu menyembunyikan sesuatu (misalnya ketidakjujuran) dari lawan bisnisnya. Kalimat penutup ayat itu adalah,’’ ...Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan’’.

Untuk melengkapi argumentasi ini, berikut hasil penelitian penulis tentang pembiayaan syariah oleh baitul mal wat-tamwil (BMT) di Jawa Tengah. Dalam akad pembiayaan musyarakah BMT dan anggota atau nasabah masing-masing bertindak sebagai  mitra usaha (syirkah) dengan bersama-sama menyediakan dana untuk membiayai suatu kegiatan usaha tertentu.

Anggota bertindak sebagai pengelola usaha dan BMT sebagai mitra usaha dapat ikut dalam pengelolaan usaha sesuai dengan tugas dan wewenang yang disepakati. Dari jawaban responden dapat dijelaskan sebagai berikut:

Bahwa praktik pembiayaan akad musyarakah yang disalurkan BMT kepada usaha mikro-kecil, sebagian besar tidak mengenakan persyaratan agunan.

Sebagian kecil memang ada yang mengenakan agunan. Dari jawaban responden terungkap bahwa pengenaan agunan tersebut hanya untuk berjaga-jaga agar pihak nasabah ada keseriusan dalam menjalankan usaha, karena pada umumnya dalam pelaksanaan akad musyarakah ini BMT hanya share modal tanpa share manajemen.

Yang menarik adalah seandainya terjadi risiko/kerugian dalam usaha, hampir semua responden menyatakan ditanggung bersama oleh BMT dan nasabah. 
Memang perbankan syariah dari sisi usia masih relatif muda dan terus berproses untuk menjadi baik dan sempurna sesuai dengan sistem syariah.

Namun kondisi ini jangan sampai digunakan sebagai alasan pembenaran terhadap pelaksanaan pembiayaan syariah yang belum/ tidak sesuai dengan prinsip syariah. Karena itu hal-hal yang prinsip yang merupakan ciri khusus perbankan syariah dalam hal pembiayaan syariah khususnya musyarakah, prinsip bagi hasil dan bagi risiko harus benar-benar dijalankan.

Hal itu supaya tak akan terdengar lagi masyarakat yang beranggapan bahwa praktik lembaga keuangan syariah tidak berbeda dari lembaga keuangan konvensional, karena hanya sekadar mengganti istilah misalnya bunga diganti bagi hasil tetapi praktiknya sama saja. (10)

— Didiek Ahmad Supadie, dosen Unissula, kandidat doktor bidang ekonomi Islam Unair

Wacana Suara Merdeka 05 Maret 2010