04 Maret 2010

» Home » Solo Pos » Menyoal kecerdasan emosi politisi

Menyoal kecerdasan emosi politisi

Aristoteles pernah mengingatkan, marah adalah luapan emosi yang wajar dan manusiawi. Tetapi marah pada situasi yang tepat dan dengan ukuran yang tepat tidak semua orang bisa. Nabi Muhammad mewanti-wanti, jangan marah (laa taghdhob).

Musthofa Bisri menggambarkan akhir-akhir ini masyarakat Indonesia yang biasanya memiliki budaya Timur yang sabar, penyayang tiba-tiba berubah menjadi beringas dan cepat marah. Setan apa sebenarnya yang merasuki nalar masyarakat Indonesia. Bukankah di televisi sudah ada program pemburu hantu (setan). Atau jangan-jangan manusianya telah berubah menjadi setan.



Apa yang terjadi di dalam gedung Dewan yang konon disebut sebagai wakil rakyat terhormat dan yang ada di luar gedung seolah sama saja. Di dalam gedung DPR terjadi baku jotos dan di luar terjadi hujan batu. Apakah benar dulu Gus Dur yang saking jengkelnya melihat polah tingkah wakil rakyat sampai menyebut sebagai DPR tak ubahnya seperti TK. Dan kemarin, mereka berubah menjadi play group (kelompok bermain).

Sulit dinalar memang mengapa anggota Dewan yang dilihat dari pendidikannya cukup tinggi (minimal S1), bertingkah seperti itu. Dilihat dari komunitasnya, mereka adalah intelek karena setiap hari membaca koran tidak kurang dari tiga koran terbitan nasional. Setiap saat bisa meng-update informasi lewat internet atau pun fasilitas BlackBerry. Tetapi mengapa mereka masih sulit mengendalikan emosi.

Setidaknya ada tiga hal mengapa anggota Dewan yang terhormat lepas kontrol. Pertama, menurut Ronggowarsito, setelah seseorang mendapatkan kekuasaan, biasanya diimbangi dengan harta. Dan di kursi parlemenlah berlaku istilah dagang sapi. Sampai-sampai siapa yang kuat dalam pendanaan, ia akan memenangkan pertarungan. Ketika uang sudah berbicara, apa yang tidak mungkin menjadi mungkin. Maka, di tengah masyarakat saat ini ada jargon UUD (ujung-ujungnya duit). Tidak hanya itu, sindiran masyarakat kepada anggota Dewan, mereka bukan beda pendapat, tetapi beda pendapatan. Partai saya dapat apa dan kalau tidak dapat apa-apa maka akan saya buat engkau tidak tenang.

Kedua, nalar politik yang orientasinya adalah citra dengan menampilkan sesering mungkin di depan layar kaca agar besok terpilih kembali karena dianggap sering memperjuangkan rakyat. Pencitraan saat ini sangat penting untuk mengunduh kemenangan politik di tahun 2014. Setiap momen yang bisa dimanfaatkan akan terus dimanfaatkan. Apalagi bila didukung dengan survei yang menceritakan siapa politikus terkenal versi pemirsa televisi. Akibatnya, bagi para politisi, yang penting ditayangkan televisi. Persoalan apakah yang disampaikan sampah atau tidak, bukan menjadi masalah serius. Bagi para politisi, kalau sudah menyebut atas nama rakyat atau rakyat, semua sudah tahu, seolah ia sudah berada di atas angin. Bukankah suara rakyat suara Tuhan.

Ketiga, rasionalitas mulai digantikan dengan kekuatan otot. Siapa yang ikut fitnes, ia yang menang dalam pertarungan di gedung DPR. Bahkan mungkin suatu saat bila di meja anggota DPR disediakan asbak untuk yang merokok, bisa jadi asbak itu akan melayang ke depan. Atau minimal sepatu yang pernah menghantam Presiden Amerika, George Bush.

Anggota Dewan seolah putus asa ketika apa yang diyakininya benar ternyata dengan mudah ditelikung oleh pimpinan sidang. Maklum, semua orang yang ada di DPR meskipun setiap diskusi menyatakan saya sudah bukan milik partai lain. Tetapi ketika nama partainya terusik, ia pun akan membela mati-matian. Seolah nalar sehat sudah tidak berjalan lagi. Alquran sering menyebutnya sebagai nafsu telah menjadi tuhan.

Ketidakwaspadaan anggota Dewan terhormat atas apa yang dilakukan bisa jadi karena adanya tekanan-tekanan kekuatan di luar sidang yang memaksakan agar mereka berani vokal. Tidak perlu bermutu atau tidak, yang penting berani ngomong. Istilahnya asu gede menang kerahe (anjing yang besar, asal suaranya kencang dan nyaring, pasti menang dalam pertarungan).

Asal ngomong

Prinsip ini yang barangkali saat ini dipakai oleh partai-partai kecil untuk merecoki partai besar. Asalkan berani ngomong, rakyat akan melihat dari layar kaca bahwa ternyata ada yang masih peduli dengan masalah rakyat. Padahal, bisa jadi kepedulian ini juga karena ada kepentingan yang lebih besar, seperti mendulang suara di pentas demokrasi tahun 2014, atau minimal diundang di media elektronik sebagai narasumber.

Emosi sangat erat dengan perilaku kehidupan seseorang setiap hari. Bila seseorang setiap hari disibukkan dengan rutinitas yang tinggi yang seolah tidak sempat untuk refreshing, bisa jadi emosi akan terus naik. Apalagi masih dipicu dengan persoalan-persoalan lain.

Dulu, Kiai Wahid Hasyim (ayah Gus Dur) pernah mengatakan banyak para politisi yang tidak bisa mengelola masalah diri dan keluarga. Kalau masalah diri dan keluarga saja tidak bisa menyelesaikan, bagaimana bisa menyelesaikan masalah kebangsaan.

Kalau kita renungkan, benar juga apa yang dikatakan Kiai Wahid Hasyim ini, di tengah-tengah gencarnya masalah Bank Century, pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama melempar wacana penjara bagi pelaku nikah siri. Toh demikian, isu ini tidak sempat menjadi perbincangan serius. Bisa jadi yang mau dibidik adalah para anggota DPR yang barangkali banyak melakukan nikah siri. Sebab, bila sampai RUU itu disahkan, berapa banyak anggota DPR yang akan masuk bui.

Inilah tampak betapa karut-marutnya keluarga di Indonesia yang kemudian berimbas pada ketidakharmonisan dalam bersosialisasi di luar rumah tangga. Ada masalah yang tidak dapat diselesaikan di dalam rumah tangga, tiba-tiba sasarannya adalah teman seiring. Kalau masalah diri sendiri dan keluarga saja tidak mampu untuk menyelesaikan, lalu bagaimana dengan masalah bangsa.

Menurut khazanah Islam, bila seseorang stres, salat bisa dijadikan media penyembuh. Setan tercipta dari api maka cara memadamkannya dengan wudu (air). Salat yang di sana ada gerakan sujud dapat dimanfaatkan untuk menurunkan darah yang ada di kepala dan mengalir sempurna ke seluruh tubuh sehingga bisa meredakan kemarahan. Nabi Muhammad pernah memberi tips bila kamu marah dalam keadaan berdiri, duduklah. Bila kamu marah dalam keadaan duduk berdirilah. Intinya adalah adanya gerakan agar aliran darah mengalir secara sempurna.

Akhirnya, bila yang dicontohkan anggota Dewan yang terhormat seperti itu, apalagi yang tersisa dari pendidikan di negeri ini? Masih adakah yang layak dicontoh dari tokoh-tokoh yang dulu gambarnya menghiasi pohon-pohon sepanjang jalan protokol, menghiasi tembok-tembok sudut kota. Dan bahkan untuk masuk ke tempat ibadah saja, kita masih diingatkan dengan siapa yang akan dicoblos waktu pencoblosan. Subhanallah wajah-wajah yang dulu terlihat alim memakai peci dan tersenyum manis, kini menjadi beringas. Wassalam. - Oleh : Kholilurrohman, Dosen STAIN Surakarta

Opini Solo Pos 05 Maret 2010