04 Maret 2010

» Home » Kompas » Perilaku Parpol dan Kepentingan Publik

Perilaku Parpol dan Kepentingan Publik

Rapat Paripurna DPR untuk kasus politik Bank Century usai sudah, dan peta baru perimbangan politik kini terbentuk setelah tiga partai bertukar tempat dalam kaitannya dengan posisi mereka di dalam koalisi pemerintahan.
Tiga partai, yakni Golkar, PKS, dan PPP, meninggalkan koalisi. Mereka kini berkubu dengan tiga partai lain yang sejak semula berada di luar koalisi pemerintahan. Sejauh mana peristiwa ini bisa menjadi jendela bagi kita untuk menengok masa depan perilaku partai politik di Indonesia dan perilaku koalisi mereka, serta bagaimana perilaku partai itu bisa bersambungan dengan kepentingan publik?

 

Prediktabilitas
Kasus Bank Century telah menunjukkan dengan gamblang perilaku setiap partai politik yang bercokol di DPR, dan kasus itu menyentuh dua isu pokok yang penting dalam politik kepartaian, yakni problem prediktabilitas dan kredibilitas yang selama ini diidap oleh partai politik di Indonesia.
Prediktabilitas adalah situasi di mana kita yang berada di luar elite bisa menebak perilaku yang diambil oleh partai berdasarkan sinyal yang diberikannya sejak awal. Jika Golkar dan PKS, misalnya, dari awal bersikukuh dengan Opsi C dalam menilai kebijakan pemerintah dalam kasus Bank Century, maka dalam pandangan akhir di Rapat Paripurna DPR mereka tetap memilih Opsi C. Isi Opsi C ini intinya kebijakan bail out dianggap kebijakan yang salah dan implementasinya juga salah.
Demikian juga Demokrat dan PKB, pada permulaan bekerjanya Pansus, mereka dengan segera memilih Opsi A meskipun belum diberi label seperti itu pada awalnya. Pada rapat paripurna, keduanya tetap memilih Opsi A. Mereka bersikukuh dengan pandangan bahwa kebijakan bail out benar, tetapi pada implementasinya ada kesalahan.
PPP, Gerindra, dan PAN adalah tiga partai yang pada tengah proses beberapa kali bertukar pemihakan. Mereka menjadi ragu ketika lobi-lobi politik digencarkan oleh Demokrat atau oleh tim Presiden Yudhoyono. Sinyal awal yang diberikan oleh ketiga partai ini seolah memilih ke Opsi C, di tengah proses mereka goyah, dan di akhir proses mereka bersimpang, PPP dan Gerindra memilih Opsi C, dan PAN ke Opsi A.
Kini, petanya jernih, dan kita mengetahui posisi setiap partai dalam kasus Bank Century. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah tingkat prediktabilitas perilaku partai-partai politik ini akan berkembang ke sektor-sektor kebijakan lainnya dan bisa bertahan dari waktu ke waktu?
Pertanyaan ini penting karena tingkat prediktabilitas ini bersangkut paut dengan kepentingan publik di dua tingkat. Pertama, ambilan posisi partai politik memberikan sinyal bagi publik tentang cara mereka memilih jenis kebijakan publik. Secara substantif, kebijakan bail out bisa dikaitkan dengan kesetujuan atau ketidaksetujuan partai atas peran pemerintah dalam ekonomi. Opsi A bisa ditafsirkan sebagai kesetujuan atas adanya intervensi pemerintah dalam kehidupan ekonomi. Lebih spesifik lagi, itu pertanda kesetujuan keterlibatan pemerintah dalam bisnis perbankan yang diisi pemain swasta.
Belum jelas benar memang, apakah penolakan Golkar, PKS, PDI-P, PPP, Gerindra, dan Hanura sesungguhnya bukan terletak pada persoalan intervensi negara, tetapi pada sebab kebijakan, yakni klaim dampak sistemik jika bail out tak diberikan. Artinya, apabila diandaikan bahwa memang ada sebab sistemik sebagaimana diklaim oleh kubu koalisi pemerintahan, partai-partai tersebut akan mengubah haluan dan membenarkan adanya intervensi negara/pemerintah. Publik akan mendapatkan penjernihan lebih jauh bila pada masa mendatang partai-partai politik tersebut mengeksplorasi isu peran pemerintah ini.
Kedua, sinyal posisi partai pada isu Bank Century ini akan lebih baik bagi publik jika dalam masa mendatang partai-partai itu membentangkan ambilan posisinya pada isu sektoral lainnya, misalnya, perjanjian perdagangan ASEAN dan China, apakah pilihan kebijakan yang bisa diambil: meneruskan karena perjanjian dagang itu sudah diratifikasi, menundanya, atau membatalkannya sama sekali.
Pada pilihan itu, lagi, peran pemerintah dalam isu perdagangan bebas jadi lebih jelas, dan partai politik harus mengambil posisinya. Partai-partai itu harus punya kemampuan dan keberanian untuk mengambil posisi dalam isu-isu yang subtantif.
Selanjutnya, posisi-posisi partai dalam kebijakan sektoral harus dikembangkan, dan lebih baik lagi bila bisa lintas sektoral, termasuk sektor pendidikan, program-program negara kesejahteraan, pertahanan, politik luar negeri, pertanian serta industri, dan lain-lain. Paket-paket kebijakan yang mempertegas posisi partai politik dalam berbagai isu strategis tersebut akan memberikan identitas programatik partai-partai tersebut. Bila diperlukan sebuah koalisi agar paket kebijakan tertentu mendapat kemenangan atau dukungan terhadap sebuah paket kebijakan, koalisi yang muncul haruslah berbasis identitas programatik tersebut.
Penjernihan posisi partai politik dalam kasus Bank Century ini barulah awal yang baik. Ujian berikutnya bagi partai politik— selain mengembangkan posisi dan paket kebijakan di atas—adalah bagaimana mereka menunjukkan kredibilitasnya.
Kredibilitas
Kredibilitas umumnya diukur melalui derajat konsistensi partai politik dalam pengambilan posisinya terhadap isu atau kebijakan yang sejak awal dinyatakannya. Dalam perdebatan di DPR, misalnya, jika sejak awal sebuah partai memberikan sinyal kepada publik tentang pilihan posisinya, pada akhir perdebatan atau pandangan akhir partai dalam rapat paripurna juga menegaskan pilihan tersebut.
Dalam kasus Bank Century, setidaknya enam partai tampak konsisten. Pada satu kubu, Demokrat dan PKB terus berada pada Opsi A, sementara di kubu lain, PDI-P, Golkar, PKS, dan Hanura, tetap pada Opsi C—meskipun label opsi ini kerap berganti. PPP, Gerindra, dan PAN terkesan bolak-balik di antara dua kubu tersebut dalam rumusan dan derajat inkonsistensi yang berbeda-beda. Dengan kata lain, enam partai tampak kredibel, tiga lainnya kurang kredibel.
Namun, soal kredibilitas ini tak bisa dibangun hanya bertolak dari satu kasus. Pada isu dan waktu yang lain dalam rentang waktu antara dua pemilu, setiap partai harus menjaga konsistensinya.
Selama sepuluh tahun era reformasi, problem kronik inilah yang diidap oleh partai-partai politik. Semua partai getol menjual isu populis ekonomi kerakyatan, tetapi tidak ada rincian bagaimana ekonomi kerakyatan itu dirumuskan dalam isu-isu kebijakan. Karena itu, kita kerap menjumpai, dalam kampanye partai berwajah kerakyatan, tetapi dalam kebijakan pemerintahan tidak jelas lagi apakah kebijakan yang diambil itu cocok dengan cetak biru kebijakan yang ditawarkannya. Lebih parah lagi, mereka tak jernih merumuskan cetak biru itu. Contoh semacam ini mudah diperbanyak.
Jika empat tahun mendatang setiap partai bisa mencapai tingkat prediktabilitas tertentu dan mampu membangun kredibilitas sebagaimana ditunjukkan dalam kasus Bank Century, kita bisa berharap, struktur kompetisi antarpartai politik akan semakin bermakna bagi publik—dan kelak pemilih. Mereka benar-benar bisa menimbang pilihan partai dengan melihat track record pilihan dan posisi kebijakan mereka dalam berbagai isu.
Perbedaan kualitas partai dan struktur kompetisi kepartaian antara Indonesia dan negara-negara maju sesungguhnya terletak pada kesenjangan tingkat prediktabilitas dan kredibilitas ini. Di negara-negara maju, perilaku partai politik umumnya prediktabel, dan sekaligus umumnya mereka kredibel. Di Indonesia, partai-partai politik ini masih harus membuktikan bahwa mereka prediktabel dan kredibel pula. Dengan demikian, kasus Bank Century sesungguhnya hanyalah sebuah permulaan bagi kita untuk menilai perilaku partai di masa mendatang. Kelak publik tahu, partai mana yang prediktabel dan kredibel, mana yang tidak. Dengan kata lain, kita tahu, mana partai yang layak dipilih mana yang sebaiknya dilupakan dalam pemilu.
Dodi Ambardi Dosen Fisipol Universitas Gadjah Mada, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia

Opini Kompas 05 Maret 2010