KETIKA dikabarkan SBY mendekati Prabowo Subianto untuk membujuk Gerindra agar mendukung koalisi, ada sebuah test case. Apakah Gerindra akan menjadi penentu suara dalam voting kasus Bank Century? Mungkinkah Ahmad Muzani, Sekjen Gerindra dan anggota Pansus Hak Angket DPR Kasus Bank Century, berubah sikap?
Seusai Pemilu 2009, memang ada ‘’diskusi’’ via SMS antara penulis dengan Muzani. Penulis berpendapat, tidak ada jalan lain bagi Gerindra sebagai partai baru untuk menjadi berwibawa kecuali mengambil sikap oposisi di parlemen. Muzani akhirnya setuju dan memohon doa restu untuk sikap partainya.
Karena itu, ketika 26 suara Gerindra memilih Opsi C (kebijakan dan implementasi dana talangan Bank Century salah) dalam voting terbuka Sidang Paripurna DPR, Rabu malam lalu, kita tidak kaget. Sikap yang sama akhirnya diikuti PPP dan bahkan seorang Lily Wahid di tengah loyalitas PKB terhadap koalisi.
Pemilih Opsi C akhirnya memenangi voting dengan 325 suara dari 6 fraksi (termasuk suara Lily Wahid) atas 212 suara pemilih Opsi A dari 3 fraksi (Partai Demokrat, PAN, PKB). Jika voting dilakukan secara tertutup mungkin hasilnya akan lain. Apapun prosesnya, sebenarnya yang menang adalah opsi Pemilu 2014.
Fenomena hak angket DPR kali ini memang unik. Biasanya hak angket menjadi ajang permainan politik di parlemen, tapi dalam kasus bail out Bank Century terjadi pertarungan yang lain. Partai-partai memiliki obsesi yang lebih kuat untuk menarik simpati masyarakat dalam Pemilu 2014.
Para petinggi partai-partai ‘’oposan’’ melihat peluang yang terbuka untuk mengambil suara Partai Demokrat, yang minus pesona SBY nanti, dalam Pemilu 2014. Itulah kira-kira yang dimaksudkan Akbar Tandjung, Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar, ketika menyebut kebesaran Golkar melekat pada aspirasi rakyat.
Aspirasi publik dalam kasus ini memang mudah dibaca. Mereka memahami integritas Boediono dan profesionalitas Sri Mulyani, namun dana talangan Rp 6,7 triliun tetap harus dipertanggungjawabkan. Transparansi penyelenggaraan negara dan penegakan hukum harus diwujudkan.
***
Mandat rakyat dalam Pemilu 2009 memang ditujukan kepada SBY dan Partai Demokrat. Dalam mandat itu ada aspirasi agar pemerintah tetap memajukan ekonomi dan pemberantasan korupsi. Karena itu, publik akan terus memonitor kinerja pemerintahan dan pengawasan oleh DPR.
Di tengah sistem politik kita yang rancu, rakyat tetap menuntut fungsi pengawasan DPR berjalan efektif. Mereka merasa sudah menggaji wakil rakyat dengan mahal. Mungkin masyarakat tidak peduli dengan sistem presidensial ‘’rasa koalisi’’, tetapi di parlemen wakil mereka harus mampu mengawasi eksekutif agar demokrasi efektif.
Idealnya, keputusan atas rekomendasi Pansus Century tidak lewat voting. Masing-masing wakil rakyat punya otonomi pandangan atas kasus itu. Namun menarik benang merah pendapat dari 560 anggota DPR juga bukan tugas yang mudah. Voting terbuka akhirnya bisa diterima sebagai sarana pengambilan keputusan yang akuntabel.
Pada akhirnya yang dilihat adalah hasil akhir dari proses investigasi Pansus selama dua bulan, sebuah melodrama yang ditonton langsung jutaan rakyat. Penafsirannya bisa macam-macam. Koalisi bisa dianggap berantakan. Tetapi di pihak lain, harapan SBY agar kasus Century dibuka akhirnya terwujud.
Pelajaran terpenting dari hak angket DPR ini adalah bahwa kebijakan bisa dikoreksi. Tidak ada kebijakan yang immune. Segala keputusan yang menyangkut kepentingan rakyat harus transparan dan akuntabel. Selain itu, trias politica (eksekutif - legislatif - yudikatif) harus sehat dan mampu menjalankan fungsi masing-masing tanpa saling intervensi. (10)
— A Zaini Bisri, wartawan Suara Merdeka dan Wakil Ketua Pengurus Nasional Mapilu - PWI
Wacana Suara Merdeka 05 Maret 2010