Oleh Iding R. Hasan
Hasil Rapat Paripurna DPR RI Selasa malam kemarin memperlihatkan bahwa opsi C yang menyatakan telah terjadi penyalahgunaan wewenang oleh otoritas moneter dan fiskal akhirnya menang dalam voting. Opsi yang akhirnya didukung enam fraksi, yakni Golkar, PKS, PDIP, Hanura, Gerindra, dan belakangan PPP, mengalahkan opsi A yang menyatakan hal sebaliknya, di mana tiga fraksi, yakni Demokrat, PKB, dan PAN menjadi pendukungnya. Salah seorang anggota PKB, Lili Wahid bahkan membelot dari suara fraksinya dan memilih opsi C. Skor akhirnya, 212 untuk Opsi A dan 325 untuk opsi C.
Meskipun ada upaya untuk memperlambat paripurna oleh fraksi-fraksi pendukung opsi A yang dimotori oleh Demokrat dengan mengajukan opsi baru, yaitu gabungan antara opsi A dan C, tetapi pada akhirnya hal tersebut tidak memberikan pengaruh apa-apa. Sebab, pada pemungutan suara pertama opsi tersebut kalah. Apalagi secara substantif, pengajuan opsi gabungan tersebut terlalu mengada-ngada dan dipaksakan.
Pertanyaan yang layak diajukan seusai paripurna tersebut adalah bagaimana konstelasi politik selanjutnya, terutama terkait dengan koalisi di parlemen? Hal ini penting diungkapkan mengingat dua fraksi dari pendukung opsi C, yakni Golkar dan PKS, adalah fraksi yang tergabung dalam koalisi pendukung pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono.
Dalam konteks ini, paling tidak ada dua kemungkinan yang akan terjadi seusai paripurna. Pertama, koalisi pendukung Yudhoyono-Boediono di parlemen besar kemungkinan retak atau pecah kongsi. Pandangan yang sangat berlawanan antara Golkar, PKS, dan empat fraksi yang tetap dalam koalisi akan sulit disatukan kembali dalam perahu yang sama.
Keretakan ini mulai mengeras ketika serangan-serangan balik yang dilancarkan kubu Demokrat terhadap Golkar dan PKS terkesan seperti serangan balas dendam. Serangan Yudhoyono terhadap Aburizal Bakrie (Ical) melalui kasus pengemplangan pajak dan pelaporan Staf Khusus Presiden, Andi Arief, atas dugaan L/C bermasalah di Bank Century atas nama Misbakhun dari PKS, merupakan bukti konkret dari perseteruan tersebut.
Jika kemungkinan ini yang terjadi, Demokrat yang notabene pengusung utama Yudhoyono-Boediono dipastikan akan kelimpungan. Apalagi pada pemungutan suara kemarin, PPP yang tadinya diduga berada di pihak Demokrat ternyata memberikan dukungan kepada seterunya. Kalau ini kemudian berlanjut ke dalam koalisi, makin goyahlah Demokrat.
Namun, dari sudut pandang demokrasi, justru realitas politik tersebut merupakan hal positif karena akan terjadi perimbangan kekuatan antara eksekutif dan legislatif. Dengan demikian, mekanisme check and balances antara kedua lembaga negara tersebut kian membaik. Pemerintahan Yudhoyono-Boediono tentu akan lebih hati-hati lagi dalam mengeluarkan berbagai kebijakannya. Akan tetapi, Yudhoyono di sisi lain bisa leluasa melakukan perombakan kabinet (reshuffle).
Kedua, Demokrat akan berusaha terus mempertahankan koalisi dengan tetap merangkul Golkar dan PKS. Pilihan ini mungkin terjadi jika Yudhoyono memberikan konsesi "besar-besaran" bagi keduanya baik dalam bentuk pemberian jabatan menteri atau bahkan wapres ataupun dalam bentuk kebijakan yang menguntungkan keduanya. Sekalipun pilihan ini berat, tetapi secara politik akan menguntungkan bagi Yudhoyono karena relatif mudah mengamankan kebijakan-kebijakannya di parlemen.
Akan tetapi pada sisi lain, jika kemungkinan ini yang terjadi, Golkar dan PKS akan merugi secara politik dalam jangka panjang. Keduanya sama saja dengan melakukan "bunuh diri" politik karena citra mereka akan rontok di hadapan publik. Kekritisan keduanya selama pembahasan masalah Century tak lebih sebagai tarian dramaturgis yang ujung-ujungnya hanya mencari kekuasaan.
Keputusan politik
Satu hal yang harus dipahami oleh semua pihak adalah, apa yang telah diputuskan oleh Sidang Paripurna DPR merupakan keputusan politik. Keputusan politik berbeda dengan keputusan dalam ranah hukum misalnya melalui keputusan pengadilan. Semua pihak hendaknya memahami implikasi dari keputusan tersebut.
Hal ini perlu ditegaskan mengingat ada kecenderungan, fraksi-fraksi yang memilih opsi C adalah mereka yang berada di pihak yang benar, karenanya layak disebut para pahlawan. Sementara fraksi-fraksi yang mendukung opsi A adalah mereka yang berada di pihak yang salah, karenanya layak disebut para pecundang. Padahal dalam ranah politik tidak dikenal fomula benar atau salah. Yang ada adalah kalah atau menang, mungkin atau tidak mungkin, dan seterusnya. Gagasan apa pun yang didukung mayoritas anggota parlemen, itulah yang menang terlepas dari kebenaran yang dikandungnya. Keputusan politik yang dihasilkan paripurna DPR bukanlah kebenaran yang mesti dipegang secara penuh.
Dalam konteks ini, keputusan politik di DPR itu harus ditin- daklanjuti dengan langkah-langkah hukum sehingga kebenaran yang dihasilkan dapat dipegang semua pihak. Jika keputusan hukum telah keluar, baru kita bisa melihat mana yang benar dan mana yang salah.
Oleh karena itu, rekomendasi yang menghendaki agar lembaga kepolisian, kejaksaan, dan KPK menindaklanjuti keputusan politik tersebut harus terus didorong dan diawasi baik oleh para wakil rakyat itu sendiri maupun publik.***
Penulis, kandidat Doktor Ilmu Komunikasi Unpad Bandung, Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute.
Opini Pikiran Rakyat 05 Maret 2010