14 Maret 2010

» Home » Media Indonesia » Sekolah Nonformal (2)

Sekolah Nonformal (2)

Utomo Dananjaya (2005) dalam salah satu tulisannya pernah mengatakan bahwa guru ternyata lebih kejam daripada ibu tiri. Lo, kok bisa? Bayangkan, karena birokrasi yang rigid dan kurang peduli tentang kreativitas, guru sering kali menjadi objek 'pemerasan' para kepala dinas dan pengawas. Pemerasan dilakukan kepala dinas karena kebutuhan atas nama program sertifikasi; guru dipaksa untuk berlomba mencari sertifikat, dan indikasi bahwa program sertifikasi merupakan sebuah objek pemerasan terendus ketika praktik plagiarism mencuat dalam praktik program sertifikasi di Provinsi Riau. Sebanyak 1.700 guru ketahuan memalsukan sertifikat dan karya tulis (copy paste) orang lain.
Di sekolah, guru juga 'diperas' para pengawas yang kurang memiliki kesadaran tentang pentingnya quality assurance (bukan quality control!) sehingga guru dipaksa untuk mengikuti desain kurikulum yang selalu berubah. Akibatnya, guru seperti tak punya waktu untuk membuat desain pembelajaran yang kreatif sehingga kerjanya hanya melulu memberi pekerjaan rumah (PR) kepada para muridnya. PR biasanya diambil dari buku-buku kumpulan soal dan jawaban sehingga lebih banyak rumusan benar salah, pilihan ganda, dan soal isian. Akhirnya setali tiga uang lagi; guru merasa diperas dan dibebani dinas dan pengawasnya, maka pada saat yang sama guru juga memberikan beban PR yang tidak pernah putus kepada siswanya. Itulah mengapa kemudian ada anggapan bahwa guru memang benar lebih kejam daripada ibu tiri, dan itu merupakan efek dari jeleknya birokrasi pendidikan.


Mau bukti bahwa tradisi birokrasi pendidikan kita kaku dan represif terhadap guru? Dalam sebuah seminar pendidikan tentang pentingnya pendidikan moral bagi anak-anak didik di sekolah dasar yang diselenggarakan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia beberapa waktu lalu, Edu menyebarkan angket satu pertanyaan dan lima jawaban kepada peserta seminar yang kesemuanya guru. Angket diisi sebelum seminar dimulai dengan pertanyaan tunggal, yaitu: 'Jika karena suatu kondisi tertentu Anda harus mengundurkan diri/berhenti sebagai seorang guru, apa alasan yang menurut Anda paling masuk akal?'
Dari 105 responden, 77 orang (73%) menjawab karena birokrasi pendidikan yang kaku (tak bersahabat), 13 orang (12%) menjawab karena orang tua yang tidak peduli dengan anaknya, 8 orang (8%) menjawab karena kecilnya gaji, 4 orang (4%) menjawab minimnya fasilitas sekolah, 2 orang (2%) tidak menjawab, dan ini yang paling mengejutkan, hanya 1 orang (1%) yang memilih karena siswa dengan kondisi plus-minusnya. Dapat disimpulkan bahwa kebanyakan guru lebih banyak berpikir soal birokrasi yang menyiksa daripada berpikir soal siswa-siswi mereka. Dan ketika hasil survei ditayangkan secara grafis dalam seminar tersebut, semua guru mengaku bahwa birokrasi pendidikan kita memang sangat represif dan tidak ramah lingkungan dalam menjalankan instruksi kebijakan.
Tradisi mempertahankan model kebijakan kurikulum yang tidak pernah secara terbuka dikritik dan di-review itulah yang, salah satunya, menyebabkan guru kurang maksimal dalam memberi perhatian kepada anak didik mereka. Kondisi psikologis persekolahan semacam itulah yang secara diam-diam diamati sekelompok mahasiswa fakultas ekonomi di Kampus UI, Depok, untuk kemudian merespons dengan cara melakukan perlawanan secara diam-diam, tapi efektif. Seperti sepakat dengan gagasan Ivan Illich dan Paulo Freire tentang sekolah yang harus membebaskan makna kemanusiaan seseorang, mereka membentuk lembaga ekstrakurikuler kampus yang bernama Sekolah Nonformal (SNF). SNF berdiri dan diinisiasi mahasiswa yang peduli terhadap perkembangan sekolah di sekitar kampus mereka.
Saat ini SNF memiliki tiga sekolah binaan, 2 SD dan 1 madrasah ibtidaiah. Dari ketiga sekolah/madrasah tersebut kemudian mereka membuat 10 kelompok belajar, dengan setiap kelompok hanya terdiri dari enam siswa (terutama kelas 5 dan 6) dan diasuh dua mahasiswa. Hari belajar SNF adalah Senin, Selasa, dan Kamis, dan setiap pertemuan hanya dilakukan selama 2 jam pada sore hari. Satu jam pertama mereka lakukan untuk bermain dan bermain, 1 jam kemudian mereka gunakan untuk melakukan pendalaman mata ajar matematika, IPA, dan bahasa Inggris. Yang paling menarik, di antara enam siswa per kelompok, komposisinya adalah empat yang mereka identifikasi sebagai 'bodoh', 1 orang dipilih dari anak yang 'cerdas', dan 1 orang sisanya kategori 'biasa/sedang'.
Dengan tujuan ingin memberikan keceriaan kepada anak dalam belajar serta adanya keseimbangan distribusi pengetahuan di antara para siswanya, SNF adalah kritik tak langsung terhadap kondisi persekolahan dan birokrasi pendidikan kita. Adakah mahasiswa dari kampus lain yang ingin mencoba program ini ketimbang sekadar turun ke jalan untuk berdemo dan tawuran?

Ahmad Baedowi

Opini Media Indonesia 15 Maret 2010