14 Maret 2010

» Home » Solo Pos » Tahun Saka, Hijriyah dan tahun Jawa Refleksi gerakan multikultural

Tahun Saka, Hijriyah dan tahun Jawa Refleksi gerakan multikultural

Sultan Agung Hanyakrakusuma raja penguasa di Jawa tahun 1600-an dalam upaya mewujudkan harmoni bermasyarakat menciptakan tahun Jawa yang menyesuaikan dengan tahun Hijriyah.

Ia mengganti nama bulan Muharam dengan kata Sura, bulan Dzulhijah menjadi menjadi bulan Besar dan bulan-bulan lainnya. Penghitungan kalender 1 Sura dimulai hari Jumat bulan Jumadilakir, saat ditetapkan tahun Jawa bertepatan menunjuk tahun Saka 1555 atau tepatnya tanggal penetapan tahun Masehi pada tanggal 8 Juli 1633.

Sebelumnya masyarakat Jawa menggunakan penanggalan Saka yang ditetapkan oleh Raja Salvihara. Masyarakat Jawa mengenalnya sebagai Raja Aji Saka yang berkuasa sekitar tahun 78 M, tepatnya 646 tahun jauh sebelum Nabi Muhammad SAW lahir. Pada tahun 78 M itu Salvihara menetapkan tahun satu Saka dimana kini dipergunakan untuk almanak peribadatan agama Hindu karena waktu itu raja beragama Hindu. Sedang tahun Saka 1932 nanti jatuh pada 16 Maret 2010.

Penghitungan tahun lain yang berlaku di umat agama resmi negara kita, tahun Budhis Era (BE), ditetapkan oleh penguasa Raja Asoka. Tahun baru agama Budha juga dikenal sebagai hari suci Tri Suci Waisak, ditandai tiga peristiwa penting; kelahiran Sidharta Budha Gautama 623 SM, pertapaan agung Sidharta 588 SM dan wafatnya Sidharta Gautama 543 SM. Peringatan tahun baru 2554 BE bertepatan dengan 18 Mei 2010. Tahun BE mulai diberlakukan jauh setelah wafatnya sang Budha Gautama.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Inggris Tony Blair pernah bertemu dan melakukan kesepakatan membangun saling pemahaman antara Islam dan Barat. Untuk itu dibentuk Badan Penasihat Islam Indonesia-Inggris guna menangkal radikalisme dan mempromosikan saling pemahaman dan toleransi. Kesepakatan itu dilakukan di Kantor Presiden, Jakarta pada 30 Maret 2006. SBY juga memberi gelar pada Almahum Gus Dur sebagai Bapak Pluralisme dan Multikultural pada pemakaman Gus Dur di Jombang 31 Desember 2009.

Mempertemukan peradaban berbeda dan iman berlainan sebenarnya telah pula dilakukan oleh pemeluk agama-agama terdahulu. Di antaranya dimulai dengan saling menerima dan menggunakan kesepakatan kalender tahun masing-masing agama dengan saling mengakomodasi dan interaksi. Tahun Hijriyah umat Islam misalnya. Agama Islam sebagai yang datang belakangan setelah 600 tahun kehadiran tahun Masehi, tentu saja tahun Hijriyah menyesuaikan penetapan hari dan waktu dengan kalender tahun yang telah ada lebih dulu.

Ketika Isa putra Maryam lahir tahun 2 SM, kelahiran itu ditandai dan digunakan sebagai hari besar umat Kristiani, diperingati setiap tanggal 25 Desember sebagai Hari Natal. Kekuasaan imperium Romawi di Eropa menetapkan almanak tahun satu Masehi setelah dua tahun kelahiran Isa Almasih. Tahun itu kemudian dipergunakan sebagai kalender peribadatan umat Kristen Protestan dan Roma Katolik. Pada tahun 551 SM lahir Kong Hu Tzu atau Kong Sang Guru yang dikenal filosof Barat sebagai Konfusius. Kehadirannya ditandai dengan penanggalan tahun Imlek. Tahun Imlek 2561 yang baru saja berlalu jatuh 14 Pebruari 2010

Ketika Roma dikuasai oleh Mark Antoni masih berlaku Kelender Julian yang kemudian digantikan menjadi kalender Masehi. Sebelumnya setahun terdiri dari sepuluh bulan yang kemudian menjadi duabelas bulan, dengan menambah bulan Januari dan Februari. Nama Januari berasal dari kata Janus, nama dewa bangsa Romawi yang berwajah dua bertolak belakang. Sedang Februari dari kata Februs, istilah pesta penyucian yang diselenggarakan bangsa Romawi. Sedang nama bulan Juli oleh Mark diambilkan nama kaisar Julius Caesar sebagai penghormatan kaisar yang terkenal dan berjasa pada Imeperium Romawi.

Keterbukaan beragama

Bangsa Indonesia semenjak reformasi digulirkan telah memulai keterbukaan beragama secara lebih luas. Tiga presiden terakhir— Abdurrahman Wahid, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono— memberikan sumbangan yang patut dicatat dalam usaha menghapus diskriminasi. Gus Dur saat berkuasa mencabut Instruksi Presiden No 14/1967, yang berisi pengakuan pemerintah hanya atas lima agama diluar Konghucu. Abdurrahman Wahid juga mengeluarkan peraturan pemerintah yang kemudian mengakui agama-agama minoritas.

Pada masa pemerintahan Megawati mulai diperbolehkan perayaan Imlek digelar lagi. Dan terakhir Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan agar kantor catatan sipil dan instansi pemerintah lainnya tidak memperlakukan umat Konghucu secara berbeda dengan yang lain. Agama resmi negara dengan demikian adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Tahun-tahun yang dipergunakan tahun masehi, tahun Hijriyah, tahun Jawa, tahun Saka, tahun Imlek dan tahun Budhis Era.

Kita beda agama, beda keyakinan, Timur dan Barat atau Islam dan Barat berlainan budaya dan tradisi, kalender beda, tetapi kita telah sepakat bahwa kita memakai hari dan jam yang sama di seantero dunia saat ini dan hal itu dibuat atas kesepakatan manusia-manusia terdahulu. Mengapa kalau hari dan jam yang kita pakai untuk landasan ibadah pada Tuhan sama mesti berselisih karena beda agama dan malah dalam internal agama sendiri saling baku hantam, merasa paling benar dan paling saleh?

Prof Arnold Toynbe, penulis sejarah, mengatakan,“Dewasa ini tidak seorang pun yang mempunyai pengetahuan yang cukup luas untuk mengatakan dengan yakin bahwa satu agama lebih agung dibanding dengan semua agama yang lain”.

Toynbe mengaku tidak hendak merasa memiliki kemampuan seperti Tuhan membicarakan masalah tingkat keagungan agama. Memberikan ruang setiap pemeluk agama menampilkan diri dan menpersilakan berbuat untuk kemanusiaan sesuai hal yang diketahui dan diyakininya demi kepentingan bangsa adalah hal yang baik dan terpuji. - Oleh : Agus Sunarto, peminat masalah sosial Anggota DPRD Provinsi DIY 1999-2004.


Opini Solo Pos 15 Maret 2010