14 Maret 2010

» Home » Kompas » Jelajah Musi, Media Multiplatform dan Imaji Keindonesiaan

Jelajah Musi, Media Multiplatform dan Imaji Keindonesiaan

Musim panas tahun lalu, dalam sebuah seminar di Kampus Annenberg School of Communication, Universitas California Selatan, Los Angeles, seorang pembicara berkata dengan lantang, ”Yang kita butuhkan adalah jurnalisme. Bukan surat kabar....”
Lama penulis tercenung dengan lontaran tersebut, tetapi seiring dengan penjelasan berikutnya, menjadi jelas bahwa surat kabar pun medium lainnya, yaitu radio, televisi, dan media online, semua adalah hanya sarana untuk menampilkan kegiatan jurnalisme yang dilakukan para wartawan. Di tengah kekelaman nasib sejumlah surat kabar di Amerika, pembicara tadi tengah menguatkan para hadirin di ruangan tersebut akan pentingnya kembali ke nilai dasar: menguatkan jurnalisme dalam era multimedia sekarang ini.

 

Pers di Amerika boleh saja menutup edisi cetaknya dan masuk ke versi digital, tetapi menyiasati perkembangan teknologi yang konvergen ini perlu dilakukan dengan penuh kecerdasan. Majalah Columbia Journalism Review edisi November-Desember 2009 mencoba menggali kondisi-kondisi yang dialami oleh persuratkabaran di Amerika masa kini, dalam artikel berjudul ”The Reconstruction of American Journalism”.
Di Indonesia, bentuk konvergensi seperti apa yang nantinya terjadi belumlah cukup jelas. Namun, dari apa yang telah ada, kita bisa memaksimalkannya untuk kegiatan-kegiatan jurnalistik yang relevan, mendalam, dan bermakna untuk kepentingan para penggunanya.
Harian Kompas telah berkali-kali melakukan kegiatan ekspedisi ke sejumlah wilayah Nusantara (Papua, Kalimantan, Sungai Ciliwung, Sungai Bengawan Solo, Anjer-Panaroekan, Jawa Bagian Selatan, dan kini Sungai Musi) dan para pembaca Kompas telah menikmati aneka liputan dari lapangan tersebut. Sejak beberapa minggu terakhir, Kompas pun telah menurunkan liputan setiap akhir minggu yang diberi tajuk Mengenal Tanah Air.
Bagi penulis, kegiatan yang dilakukan Kompas ini adalah suatu kegiatan yang amat positif untuk membuat kita (para wartawan di Kompas dan para pembaca Kompas) sama-sama makin mengenali Indonesia kita hari ini. Keragaman keunikan, tumpukan masalah, potensi harapan dan lain-lain, semua bercampur-baur ketika kita membaca aneka liputan dari sejumlah daerah tersebut. Kita bisa tersenyum, terharu, gemas, atau bahkan geleng-geleng kepala: betapa banyak inisiatif dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat, tetapi di saat yang sama kita merasakan ketidakhadiran negara dalam aneka persoalan yang ada.
Keindonesiaan kita hari ini mungkin masih mirip dengan apa yang dikatakan Ben Anderson sebagai komunitas imaji, di mana rasa solidaritas antarpenduduk di kepulauan Nusantara terjalin dari hasil produksi kapitalisme cetak awal abad ke-20. Kini, seabad kemudian, keindonesiaan sebagaimana ditampilkan lewat aneka ekspedisi Kompas adalah potret—yang juga ditampilkan oleh kapitalisme media cetak—yang memberikan kita kesempatan untuk makin mengenali sosok Indonesia itu. Solidaritas sebagai Indonesia mudah-mudahan akan terbentuk setelahnya.
Wajah Indonesia pasti sudah sangat jauh berbeda dengan wajahnya pada abad yang lalu. Ia bukan lagi Mooi Indie (Hindia yang cantik), sebagaimana dilukis para pelukis Belanda atau Raden Saleh pada masa kolonial dulu, tetapi kini ia adalah hasil dari ”pembangunan ekonomi” yang intensif dilakukan dalam empat dekade terakhir, hasil kerusakan ekologi yang masif, kebudayaan tradisional yang termarjinalkan, menyeruaknya kepentingan modal global, kepentingan elite lokal, serta jurang yang makin dalam menganga antardaerah, pun setelah kebijakan otonomi daerah diberlakukan menjelang satu dekade.
Solusi cerdas
Jurnalisme yang ditunjukkan Kompas dengan karya ekspedisi ini adalah solusi cerdas untuk beberapa hal. Pertama, ia mau menunjukkan betapa kreativitas media multiplatform bisa dioptimalkan untuk menghasilkan ”jurnalisme sesungguhnya”. Jurnalisme seperti ini tak perlu takut dengan aneka item infotainment dan jurnalisme semacam ini tak akan jatuh pada kebosanan kita membaca berita yang hasil konferensi pers belaka.
Kedua, solusi cerdas ini juga ditunjukkan dengan mengambil inisiatif memproduksi berita ketimbang menanti berita datang sendiri (dari rilis ataupun dari laporan kantor-kantor berita). Dengan inisiatif ini, media multiplatform yang ada sekarang ini (media cetak, fotografi, televisi, media online) bisa bersatu padu untuk saling mendukung hasil jurnalisme yang lebih optimal.
Ketiga, inisiatif seperti ini juga memiliki misi nasionalisme ala Kompas, yaitu mengajak kita makin mengenali keindonesiaan hari ini dengan segala kompleksitas masalah yang ada. Laporan macam begini juga menunjukkan kepada kita sejumlah pekerjaan rumah yang besar yang harus diselesaikan oleh pemerintah (pusat dan daerah), tetapi juga mengundang partisipasi aktif dari para warga dalam penyelesaian masalah tersebut.
Tentu saja Kompas memiliki resource yang memadai untuk melakukan itu semua—tentu dengan dukungan para sponsor ataupun kepala daerah yang mendukung kegiatan seperti ini sehingga hasil dari ini semua adalah liputan eksklusif yang segar dan membuat kita melihat keindonesiaan dari kacamata yang berbeda. Mungkin ini membuahkan sebentuk komunitas imaji yang dihasilkan dari media multiplatform. Mungkin ini menawarkan cara mencintai Indonesia dengan mengenali Indonesia secara lebih dekat.
Liputan dari hasil ekspedisi Sungai Musi mungkin akan segera berakhir, tetapi wilayah-wilayah Indonesia lain yang belum terjamah masih banyak. Kita masih berharap akan ada ekspedisi ke wilayah Indonesia Timur, seperti wilayah kepulauan Maluku, wilayah Nusa Tenggara Barat dan Timur, atau wilayah-wilayah lain. Dengan pelbagai inisiatif serta kecerdasan media multiplatform semacam ini, siapa yang masih berani bilang surat kabar akan mati dalam waktu dekat?
Ignatius Haryanto Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pers dan Pembangunan di Jakarta

Opini Kompas 15 Maret 2010