14 Maret 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Jabar Panen Bencana

Jabar Panen Bencana

Oleh T. BACHTIAR

Buku karya Tom Dale dan Vernon Bill, Topsoil and Civilization baik untuk direnungkan ketika kehancuran lahan-lahan di Cekungan Bandung, di Jawa Barat telah merenggut nyawa penduduknya. ”Manusia beradab hampir selalu berhasil menguasai alam untuk sementara waktu. Kesulitan yang dihadapi terutama bersumber pada pikirannya, bahwa kekuasaan yang bersifat sementara itu dikiranya abadi. Dia menganggap dirinya ’menguasai seluruh dunia’, padahal dia tak mampu mengetahui hukum alam sepenuhnya. Manusia, baik biadab maupun beradab, adalah anak alam, bukan tuan yang menguasai alam. Kalau dia mau mempertahankan kekuasaannya atas alam, dia harus menyesuaikan diri pada hukum-hukum alam. Jika mengelak, lingkungan yang mendukung hidupnya akan merosot, maka peradabannya akan memudar pula. Pada garis besarnya, sejarah manusia beradab yang berjalan di muka bumi meninggalkan padang pasir di jejak kakinya.”



Inilah dosa manusia beradab saat ini sehingga segala akibatnya berpulang pada manusianya, yang tidak berdosa sekalipun. Banyak contoh belakangan ini, betapa nyawa manusia berakhir dengan dikubur hidup-hidup oleh longsoran tanah yang menimbun perkampungan.

Alam sedang mencari keseimbangan atas gangguan yang dilakukan manusia. Alam sedang menunjukkan perilakunya, menunjukkan reaksinya atas perlakuan manusia yang mengira alam dapat dikuasainya. Banjir lumpur yang mengurug Ciparay, Majalaya, Sindangkerta, longsor di Garut, di Cianjur, Sukabumi, Ciamis, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan di Kota Bandung, adalah contoh bagaimana alam merespons perlakuan manusia yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip alam.

Lereng curam yang semula penuh pohon keras dan bambu dibersihkan dari semua tumbuhan, dipapas, dipotong, dikeruk, lalu lahan yang diratakan itu dibangun rumah-rumah. Namun, pengembang itu lupa,  kemiringan lereng yang ada sebelumnya adalah kemiringan lereng yang sudah seimbang. Begitu lereng diganggu dengan pemotongan dan penimbunan, lereng itu menjadi sangat curam. Inilah gangguan terhadap lereng. Lalu pengembang berdalih bahwa teknologi mampu mengatasi gerakan tanah akibat gangguan itu. Maka dibentenglah lereng itu bermeter-meter tingginya. Ia lupa, benteng itu sering kali hanya kuat menahan tekanan dari atas, sedang di lereng itu, tekanan justru datang dari samping dalam. Apalagi bila air yang merembes dari atas terhimpun di balik benteng itu, maka bila tanah di dalamnya sudah jenuh oleh air, runtuhlah benteng itu.

Gerakan tanah yang terjadi di mana-mana seolah menjadi kewajaran karena adanya salah persepsi tentang penyebab bencana ekologis itu. Selalu saja dilaporkan, gerakan tanah itu diakibatkan oleh hujan yang lebat. Padahal telah banyak penelitian, bahkan ada catatan curah hujan sejak puluhan ribu tahun yang lalu, curah hujan di Cekungan Bandung justru cenderung terus berkurang.

Karena salah persepsi itu, penyebab utamanya sering diabaikan. Selama itu diabaikan, musibah ekologis itu akan terus berulang dan semakin parah pada tahun-tahun berikutnya. Kalaupun curah hujannya sama, mengapa Majalaya baru 3-4 tahun belakang selalu dilanda banjir lumpur setebal satu meteran? Lumpur yang menimbun kawasan ribuan meter persegi itu terbawa hanyut dari lereng-lereng gunung. Di sekitar sumber mata air Citarum, puluhan ribu meter kubik lumpur membanjir.

Lihatlah lereng-lereng curam di Bandung selatan dan di Bandung utara, yang berubah menjadi kebun sayur, dan gedung. Tanyalah petani yang memelihara sayuran itu, apakah lahan itu miliknya, ataukah punya orang lain? Orang lain itu dari mana mendapatkan lahan curam yang semula hutan produksi? Membelikah atau menyewanya? Kalau menyewa, dari siapa dan berapa lama mereka menyewa lahan? Bahkan di lahan cagar alam di kaki Gunung Gede-Pangrango di atas Cipanas sedang ditanami bawang dan sayuran.

Demikian juga yang terjadi di Jawa Barat Selatan, di Garut,  Tasikmalaya, Ciamis, Cianjur, dan Sukabumi, yang secara alami, tanahnya yang tipis itu berada di atas bebatuan yang tak tertembus air. Ketika tutupan hutannya dijarah dan berubah menjadi kebun, maka air akan mengalir di permukaan, serta mengisi rekahan dan masuk ke dalam tanah. Karena tanpa pengikat akar pepohonan, tanah yang jenuh oleh air dan berada di atas batuan keras pun menggelincirlah. 

Pada mulanya, alam Jawa Barat yang dipagari gunung api masih segar dan subur. Hutan tumbuh lebat di sana. Air hujan meresap dengan baik, akar menyimpan butir-butir air dan akar memeluk tanah dengan kuatnya, sehingga air keluar secara teratur di mata air, di seke-seke, maka banyaklah nama tempat yang didahului dengan kata seke yang berarti mata air. Bahkan, di tempat yang volume airnya besar, air yang ke luar akan ngaburial, maka tempat itu disebut Ciburial.

Lingkungan Jawa Barat semula cur-cor, di mana-mana air mengalir dengan teratur, sehingga mungkin tidak terasa bahwa itu adalah kelebihan provinsi ini. Kelimpahan air yang teratur di Jawa Barat masa lalu telah melahirkan kemampuan memijahkan atau pembibitan berbagai jenis ikan. Dari berbagai jenis ikan itu telah melahirkan budaya kuliner yang luar biasa.

Air yang berlimpah telah menyuburkan tanaman, sayuran, sehingga rakyat terpenuhi dan mandiri dalam gizi. Mereka makan dengan cukup, ada sayurnya, ada ikannya. Jadi wajar bila rakyat Jawa Barat tempo dulu badannya sehat-sehat, terpenuhi gizinya secara mandiri, mampu menyekolahkan anaknya, dan hidupnya berkecukupan, tidak tergantung kepada orang lain. Namun, ketika hutan dan lereng curam kehilangan pohon, tatanan alam menjadi rusak. Menjadi wajar bila kekurangan air di musim kemarau, dan sangat berlimpah di musim penghujan berupa banjir, sekaligus menggerus tanah pucuk dan hanyut ke lembah-lembah, ke sungai-sungai, dan mengendap di danau-danau.

Kurang apalagi? Bukti-bukti sudah dihadirkan di hadapan kita. Semua bukti itu menunjukkan terjadinya kehancuran lingkungan di Cekungan Bandung, di Jawa Barat. Kehancuran itu dicirikan dengan sering terjadinya longsor, pendangkalan sungai dan danau, banjir di musim hujan, dan kekeringan di musim kemarau.

Masyarakat di masa lalu  sebenarnya mempunyai etika mengelola lahan, seperti pembagian kelas pengelolaan kawasan: leuweung titipan, leuweung tutupan, dan leuweung garapan, seperti yang terus diupayakan masyarakat Baduy. Belajar pada masyarakat Baduy, tidak semua lahan digarap menjadi lahan produksi.

Solihin G.P., mantan Gubernur Jawa Barat, sudah lama menyuarakan: leuweung ruksak, cai beak, manusa balangsak!  Ini menyiratkan kepada kita, bahwa pembangunan hutan harus menjadi perhatian yang sungguh-sungguh.

Demikian juga Wiranto Arismunandar, Rektor ITB (1991-1996) dalam diskusi pembangunan Jawa Barat Selatan (9/11/2007) menyebutkan, pembangunan Jawa Barat harus berpangkal pada pembangunan hutan. Kesejahteraan masyarakat akan membaik bila pembangunan kehutanannya berhasil. Wiranto berkeyakinan tidak perlu tenaga nuklir bila hutan benar-benar dibangun kembali dan terjaga.

Kalau hutannya tidak terjaga, maka tanah gunung api yang sangat subur yang menempel di bebatuan itu akan hanyut bersama derasnya air yang mengalir di permukaan. Bagaimana tingginya erosi yang terjadi di lereng-lereng di Cekungan Bandung, terlihat dari jumlah lumpur yang masuk ke Danau Saguling. Ke danau ini setiap tahunnya masuk tanah pucuk lebih dari 500.000 truk tronton (data 1982).

Inilah akar permasalahannya. Kematian puluhan penduduk warga Jawa Barat yang tertimbun tanah adalah murni karena kelalaian, musibah buatan manusia yang menghancurkan alam. Ini adalah kelalaian Gubernur Jawa Barat, kelalaian bupati-bupati di Jawa Barat, yang lupa mengingatkan, menyarankan, mengontrol dinas yang mengurusi hutan. Kelalaian yang telah berakibat maut. Terenggutnya nyawa itu harus dipertanggungjawabkan oleh otoritas negara.*** 

Penulis, anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung.
Opini Pikiran Rakyat 15 Maret 2010