14 Maret 2010

» Home » Lampung Post » Kunjungan Obama dan Antiteror

Kunjungan Obama dan Antiteror

Imam Mustofa
Ketua Ikatan Keluarga Alumni Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia (IKAPP UII)
Pemberantasan aksi terorisme di Indonesia menampakkan kemajuan yang signifikan. Satu demi satu gembong teroris yang selama ini menjadi buronan kepolisian Indonesia dan bahkan menjadi buronan internasional, termasuk Amerika Serikat, telah berhasil ditumpas.
Setelah dedengkot teroris Azahari, Noordin M. Top, Urwah, dan Syaifuddin Jaelani, pada tanggal 9 Maret 2010, Dulmatin, tokoh teroris berpengaruh, berhasil ditembak mati oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror. Dulmatin alias Mansyur alias Joko Pitono yang menggunakan nama samaran Yahya Ibrahim adalah pembuat detonator bom di Bali pada 2002 dan di Hotel J.W. Marriott, Jakarta, pada 2003. Dia ahli membuat pemicu bom dan pernah berperang di Afghanistan (Koran Tempo, 10 Maret 2010).
Sebelumnya, pada 4--6 Maret aparat Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri telah berhasil menangkap sejumlah teroris di Aceh Besar. Dalam penyergapan tersebut, Polri harus rela kehilangan tiga prajuritnya karena terbunuh tertembus peluru sang teroris.


Terbunuhnya Dulmatin bukan hanya menjadi berita yang menghebohkan Indonesia, melainkan juga dunia internasional. Hal ini karena Dulmatin memang termasuk teroris kelas kakap yang menjadi buronan internasional, terutama Amerika Serikat. Maka wajar, berita terbunuhnya Dulmatin oleh Tim Densus 88 Mabes Polri disampaikan Presiden SBY yang sedang mengadakan kunjungan ke Australia. SBY menyampaikan berita tersebut saat memberikan sambutan dalam jamuan makan siang dengan anggota parlemen Negeri Kanguru tersebut.
Menariknya, prestasi yang ditorehkan Densus 88 Antiteror dalam pemberantasan terorisme tersebut menjelang kunjungan Presiden Amerika Srikat Barack Hussein Obama. Presiden ke-44 AS tersebut dijadwalkan akan datang ke Indonesia tanggal 20 hingga 22 Maret. Rencananya, Obama membawa istrinya, Michelle, dan kedua putrinya, Malia dan Sasha. Pemerintah RI telah mengadakan persiapan sedemikian rupa untuk menyambut kedatangan Presiden Negara Adidaya tersebut, terutama aspek keamanan.
Secara psikologis, tentunya prestasi Polri dalam menangkap para pelaku teror, khususnya Dulmatin tersebut, berpengaruh pada kepercayaan Pemerintah AS terhadap kemampuan Indonesia dalam malakukan perang terhadap terorisme. Apalagi, Dulmatin merupakan salah satu tokoh teroris yang paling dicari oleh AS. Sampai-sampai mereka bersumpah akan memberi hadiah 10 juta dolar AS (sekitar Rp92,7 miliar) bagi pembekuknya.
Perang melawan terorisme merupakan salah satu kebijakan luar negeri AS yang cukup dominan pada dekade terakhir. Penambahan pasukan AS sebanyak 35 ribu personel yang dilakukan oleh AS di bawah pemerintahan Obama juga dalam rangka mempercepat proses penumpasan kelompok Taliban--yang mereka klaim sebagai teroris--yang mengancam kepentingan AS di wilayah tersebut. Pemerintah AS juga telah menggelontorkan dana yang cukup besar dalam perang melawan terorisme global yang sering disebut Global War on Terrorism (G-WOT).
Terkait dengan kebijakan perang melawan terorsme global, kunjungan Obama menunjukkan pentingnya posisi Indonesia di mata AS. Dengan kunjungan ini, Amerika akan semakin meningkatkan kerja sama dengan Indonesia dalam berperang melawan terorisme global. AS memang sangat membutuhkan peran Indonesia dalam perang melawan teroris. Hal ini karena Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
Diakui atau tidak, pada dasarnya munculya gerakan terorisme, khususnya yang mengatasnamakan agama, beberapa dekade terakhir merupakan reaksi terhadap ketidakadilan dan standar ganda yang diterapkan oleh AS. AS dan para sekutunya bertindak diskriminatif terhadap kelompok masyarakat tertentu sebagai bentuk ketidakadilan global yang terjadi di banyak negara, khususnya negara muslim. Hal ini juga yang memupuk rasa kebencian kalangan Islam fundamentalis terhadap Barat, terutama Amerika.
Fakta di lapangan menunjukkan ada paradoks mengenai isu terorisme dan wacana fundamentalisme Islam. Dalam hal ini, AS menerapkan standar ganda dalam politik internasional. Di satu sisi ia menjadi "panglima" perang melawan terorisme, selalu mencurigai dan menekan kalangan fundamentalis Islam, tapi di sisi lain ia mendukung tindakan terorisme.
Aksi terorisme muncul dengan berbagai latar belakang, politik, ekonomi, dan ideologi. Oleh karena itu, penanggulangannya jangan hanya menggunakan pendekatan kekerasan atau militer, tetapi juga harus menggunakan berbagai pendekatan dan langkah, termasuk pendekatan persuasif, pendekatan ideologi, politik, dan terlebih pendekatan ekonomi.
Kedatangan Obama dengan berbagai agenda dan rencana kerja sama semoga membawa dampak yang positif dalam kerangka hubungan AS dan negara-negara muslim.
Khusus dalam kerangka pemberantasan terorisme, SBY sebagai presiden RI yang merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia kiranya dapat meningkatkan kerja sama dengan AS sebagai komandan perang antiteror untuk lebih menggunakan pendekatan persuasif. Hal ini dilakukan untuk menanggulangi terorisme tidak dalam tataran aksinya saja, akan tetapi akar masalah, sebab musabab, dan dapat menyelesaikan masalah yang melatarbelakangi aksi terorisme di muka bumi ini
Opini Lampung Rakyat 15 Maret 2010