Pelaksanaan Catur Brata Penyepian ini membuat suasana Pulau Dewata sepi, seperti kota mati. Suasana sepi ini berlangsung pada titik Matahari dan Bulan lurus dengan Bumi. Matahari, ketika Nyepi berlangsung, tepat berada di garis khatulistiwa (tengah Bumi). Posisi Matahari ketika itu sedang berjalan ke utara. Orang Bali menyebutnya ngutarayana. Hal ini melambangkan bahwa sinar sang pencerah sedang berada di Bumi. Bulan jatuhnya Nyepi disebut dengan Vaisakha, yang berarti lengan kasih.
Jadi, pada saat itu, Tuhan memang sedang menjulurkan kasihnya ke Bumi dengan sinar Matahari yang merata ke seluruh belahan Bumi. Purnama pada Vaisakha ini (14 hari setelah Nyepi) merupakan purnama yang paling terang sehingga umat di Bali melaksanakan upacara Bhatara Turun Kabeh di Pura Agung Besakih. Umat percaya bahwa pada purnama yang paling terang tersebut para dewa turun ke dunia untuk memberikan anugerahnya. Terlebih pada saat itu, alam Bali sedang menyediakan bunga-bunga yang semringah. Hujan sudah mulai berhenti turun sehingga tanaman sedang menyimpan harapan untuk panen.
Pada saat pencerahan merata di seluruh Bumi seperti inilah, Raja Kaniskha dari Suku Saka memerintahkan mulainya perhitungan tahun pada 78 Masehi. Tahun ini bernama tahun Saka, sesuai dengan nama sukunya. Saat itu (78 Masehi), Raja Kaniskha telah berhasil mempersatukan seluruh masyarakatnya untuk membangun perdamaian dunia. Sebagai tanda keberhasilannya, Sang Raja juga mengirimkan banyak utusan ke seluruh dunia untuk mewartakan perdamaian. Salah satu utusannya datang ke Indonesia, membangun peradaban aksara di Pulau Jawa dan Bali sebagai pembuka masa pencerahan di Indonesia.
Masa-masa pencerahan ini memang diawali dengan masa-masa usaha penaklukan. Kerajaan Mataram Kuno tidak terlepas dari usaha-usaha penaklukan pada sekitar abad ke-7 Masehi. Mpu Sendok di Jawa Timur dengan Kerajaan Medang Kemulannya juga mengemban misi penaklukan terhadap Bali dan daerah sekitarnya. Kerajaan ini dilanjutkan Kerajaan Kahuripan (Airlangga) yang juga sarat dengan misi penaklukan. Kerajaan Kediri yang lahir dari kerajaan ini menyisakan cerita perang saudara. Demikian juga, raja-raja sesudahnya senantiasa mengemban misi penaklukan untuk mencapai perdamaian.
Apakah perdamaian hanya didapatkan dengan penaklukan? Tidakkah ada jalan lain? Setelah mengamati penaklukan yang tiada henti tersebut, orang-orang Saka memutar Dharmacakra (roda darma) untuk perdamaian masyarakatnya. Roda darma ini berlawanan dengan Cakrawerti (roda kekuasaan). Kalau Cakrawerti menaklukan dunia dengan kekerasan, tetapi Dharmacakra menaklukan dunia dengan kasih sayang. Salah satu usahanya adalah pelatihan untuk menaklukan nafsu yang berada di dalam diri. Sejarah mencatat penaklukan dengan perang terhadap sesama hanya akan memunculkan dendam dan kekerasan yang tidak berkesudahan. Oleh karena itu, penaklukan terhadap dunia di luar diri mestilah dihentikan.
Manusia mesti mulai bisa menaklukan dirinya sendiri. Sepanjang manusia tidak dapat menaklukan nafsunya yang tidak terkendali, tidak akan pernah ada perdamaian di dunia. Mahatma Gandhi berkata bahwa dunia cukup untuk semua makhluk, tetapi tidak cukup untuk satu manusia yang rakus. Perenungan Nyepi pada tahun 2010 (1932 Saka) ini berlangsung di tengah keadaan yang seperti itu. Pada saat ini, perilaku manusia hampir tidak terkendali. Keinginan untuk menambah kekayaan telah mengubah muka Bumi. Kerja keras manusia bertahun-tahun telah membuat muka bumi menjadi semakin angker. Ancaman bencana terjadi di mana-mana. Gempa, gunung meletus, banjir, tanah longsor, dan berbagai bencana lainnya telah menjadi berita keseharian. Setiap hari Bumi telah menjadi semakin panas karena ulah manusia.
Suatu mitologi Hindu dalam cerita Barongswari yang sering dipentaskan di Bali menggambarkan keadaan ini. Cerita ini berawal dari keadaan Dewi Uma, Sakti (kekuatan) Shiwa di surga yang diminta oleh Shiwa untuk mencari susu ke dunia. Beliau kemudian turun ke dunia. Di dunia, beliau sangat aktif bekerja untuk menemukan susu bagi kehidupan. Karena Sang Dewi sangat aktif, wajahnya perlahan berubah angker. Dunia pun menjadi ketakutan sehingga Shiwa pun turun ke dunia untuk mengajaknya merenung, bersemadi, memikirkan kembali segala aktivitasnya.
Cerita Kuntiseraya, atau yang lebih dikenal dengan Sudamala, juga mengisahkan bahwa Bhatara Shiwa memasuki raga Sahadewa untuk menyadarkan Dewi Durga bahwa proses kerja yang telah dilaluinya telah menyebabkan keangkeran wajahnya. Oleh karena itu, Shiwa perlu datang untuk melakukan sudamala (pembersihan) sehingga dunia kembali menunjukkan wajahnya yang cantik.
Kedua mitologi ini mengajarkan umat untuk senantiasa melakukan penyucian terhadap Bumi di tengah seluruh proses kerja yang berlangsung. Manusia tidak bisa terlepas dari hukum kerja. Semua manusia, bahkan makhluk, harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Proses kerja ini hendaknya berlangsung untuk mengangkat derajat kemanusiaan, bukan sebaliknya. Namun, yang terjadi sering kali sebaliknya. Dalam proses kerja, derajat manusia sering kali menurun. Manusia kerap menjadi rakus terhadap hasil kerja sehingga eksploitasi terjadi demikian besar terhadap Bumi. Hal ini jelas-jelas akan merusak Bumi, tempat hidup manusia. Dengan demikian, proses kerja yang seperti itu tidak akan membangun manusia, tetapi akan menghancurkan manusia.
Tanpa disadari, proses kerja seperti inilah yang terjadi di Bali. Dalam proses kerja yang disebut ”pembangunan”, betapa wajah Bali telah berubah begitu menakutkan. Hutan bakau di Pulau Dewata mulai menipis karena digunakan untuk berbagai fasilitas industri. Hutan lindung juga terus tergerus, sampai tinggal 15-20 persen dari luas Pulau Bali.
Padahal, Bali mestinya memiliki 30 persen kawasan lindung. Kawasan suci juga mulai terjamah dengan berbagai aktivitas industri, seperti vila dan hotel. Pada sisi yang berbeda, mulai tumbuh jalan-jalan by pass yang lebar untuk urat nadi perekonomian. Orang Bali semakin merintih karena keterbatasan lahan sehingga pertanian mulai ditinggalkan, padahal sektor lain belum menyediakan lapangan pekerjaan memadai.
Udara Bali juga mulai menyerap polusi. Sisa-sisa pembakaran membekas di udara sehingga keadaan semakin panas. Udara yang panas menyulut situasi sosial yang semakin panas. Konflik-konflik lahan, ruang ekonomi dan adat, seakan menjadi berita keseharian di Bali. Keadaan Bali yang tenang, seperti yang digambarkan Rabindranath Tagore, hampir tidak tampak lagi. Bali telah penuh hiruk-pikuk peradaban modern. The Morning Island benar-benar telah berubah menjadi pasar pagi yang gegap gempita.
Di tengah kondisi seperti itu, inspirasi perenungan dari mitologi Barongswari dan Kuntisraya pantas mendapatkan perhatian. Di dalam kekerasan aktivitas dunia orang Bali sekarang ini, manusia Bali perlu memikirkan usaha perenungan, bahkan sudamala, untuk menjaga keberlangsungan dunia. Bumi yang telah menjadi begitu angker karena ulah manusia mesti dibersihkan agar menunjukkan keindahannya kembali. Bali, Pulau Pewata, Pulau Surga, harus didapatkan kembali dengan perencanaan pembangunan yang bijak. Pertumbuhan ekonomi mestilah dibatasi dalam posisi tertentu untuk memungkinkan adanya usaha pelestarian alam.
Momen Nyepi seperti saat ini sangat tepat digunakan untuk usaha perenungan seperti itu. Bahkan, dalam keheningan Nyepi, umat hendaknya mulai melakukan langkah-langkah moratorium, untuk menghentikan segala bentuk kerakusan. Manusia, pada titik ini, hendaknya mulai memikirkan usaha-usaha penyelamatan. Meminjam mitologi Sudamala, umat Hindu hendaknya mesti mulai memberikan raganya bagi Shiwa sehingga usaha pembersihan dunia atau sudamala dapat terjadi. Dengan usaha seperti ini, Ibu Bumi (Durga) diharapkan kembali ke wajah aslinya yang cantik. Hal itu adalah misi ketuhanan yang mesti dilaksanakan umat manusia. Oleh karena itu, manusia hendaknya menyediakan raganya untuk misi ketuhanan ini.
Opini Kompas 15 Maret 2010