12 Januari 2010

» Home » Media Indonesia » Cadangan Devisa dan Foreign Exchange Settlement Risk

Cadangan Devisa dan Foreign Exchange Settlement Risk

Hasil survei Kohn pada 1999 mengindikasikan "banks arose first as providers of payment services--money changing and book-entry payments--and then diversified into the business of financial intermediation". Sistem ekonomi sering melupakan keterkaitan antara cadangan devisa dan risiko penyerahan, khususnya yang berkaitan dengan pertukaran valuta asing yang merupakan fungsi pertama perbankan sejak ratusan tahun yang lalu.

Para ekonom termasuk yang beraliran Neoklasik melupakan adanya keterkaitan itu dalam konteks perlunya kebijakan moneter yang pro terhadap akumulasi cadangan devisa. Perhatikan juga kecenderungan naiknya cadangan devisa di banyak negara saat ini khususnya yang dilakukan oleh China dan Jepang. Sistem pembayaran dan penyerahan di China dan Jepang terbukti mampu mengumpulkan cadangan devisa secara sistematis. Sementara kinerja perekonomian China dan Jepang sangatlah bertolak belakang.


China tengah menggebu-gebu menggenjot pertumbuhan ekonomi secara masif, sementara Jepang tengah terperangkap oleh depresi perekonomian akut. Namun menariknya cadangan devisa kedua negera tersebut juga mengalami peningkatan askelerasi yang sangat tinggi. Dari sisi nilai tukar juga berbeda. Renmimbi terus menempel dolar Amerika Serikat, sementara Yen terus menguat terhadap dolar. Tetapi ujung-ujungnya akumulasi cadangan devisa kedua negera juga terus menguat. Yen bahkan menjadi instrumen carry trade dan renmimbi justru tidak fully convertibel.

Di sinilah peran sistem pembayaran dan sistem penyerahan bermain secara signifikan dalam mendukung perolehan cadangan devisa bagi negara sekalipun struktur keuangan berbeda. Pada dasarnya sistem pembayaran dan penyerahan harus menjamin zero defect dalam arti tidak terjadi kegagalan serah akibat pergerakan nilai tukar. Dengan demikian sistem pembayaran bukan hanya mendukung tingkat kompetitif-nya sebuah proses transaksi ekonomi tetapi juga memberikan dukungan bagi velocity of money untuk mendukung akumulasi cadangan devisa.

Misalnya di China pada krisis saat ini pertumbuhan M2 dijaga secara stabil setiap bulannya dengan pertumbuhan antar tahun sebesar 28 persen hingga 29 persen. Padahal pengeluaran pemerintah juga terus ditingkatkan. Ini artinya, sistem pembayaran dan penyerahan mampu melakukan dukungan bagi kebijakan moneter dan fiskal untuk berfungsi secara efektif dalam menopang pertumbuhan ekonomi dan sekaligus menopang akumulasi dalam cadangan devisa. Dengan demikian maka fungsi APBN di China tidak saja berfungsi melakukan fungsi akumulasi, alokasi, distribusi dan stabilisasi. Namun juga melakukan fungsi akumulasi dalam cadangan devisa. Inilah yang dilupakan oleh buku teks ilmu ekonomi!

Pada tahap inilah sistem pembayaran harus menganut sistem inside money di mana sistem ini memperbolehkan transfer dari utang. Semakin cepat sistem pembayaran dalam melakukan transfer dari utang maka risiko penyerahan dari nilai tukar akan semakin kecil. Karena itu sistem ini sekalipun memiliki sisitem governance yang berbeda dengan sistem governence yang dimiliki oleh negara kapitalis barat mampu melakukan askelerasi inside money secara cepat dan tepat.

Dalam konteks Jepang maka utang publik yang besar ternyata juga mampu meningkatkan cadangan devisa secara masif tanpa diikuti oleh peningkatan gagal serah dari risiko nilai tukar yen. Sementara di Indonesia, utang publik diikuti oleh akumulasi cadangan devisa yang lemah akibat terkendala oleh permainan derivatif valas seperti yang mendera Bank Duta dan Bank Century. Hal ini sebetulnya merefleksikan bahwa efisiensi ekonomi dalam sistem inside money dalam perekonomian Indonesia belum mencapai skala ekonomis yang menguntungkan.

Perekonomian Indonesia dengan demikian harus lebih akomodatif dalam menggunakan perekonomian berbasis sistem pembayaran. Untuk itu penguatan bank-bank yang melakukan spesialisasi sebagai bank pembayaran seperti yang dilakukan oleh Bank BCA dalam perekonomian Indonesia harus diperkuat. Bank-bank pembayaran harus merupakan fokus penguatan sistem moneter nasional. Dalam konteks ini, Indonesia harus memiliki minimal tiga bank besar yang fokus sebagai bank pembayaran yang diharapkan sebagai jangkar sistem moneter berbasis sistem pembayaran yang efisien. Prescott and Tatar (1999) mencatat bahwa "the risk of an overdrawn bank account is one reason that many low-income households choose not to have an account."

Dengan kata lain penguatan sistem ini juga akan mampu mengeliminasi hoarding dan meningkatkan aktivitas ekonomi sektor informal yang dalam konteks perekonomian Indonesia merupakan sektor yang menampung mayoritas angkatan kerja di Indonesia. Dengan menggunakan sistem teknologi yang bersifat nonhomothetic homogeneous maka teknologi internet akan mampu menekan biaya transaksi secara signifikan. Humphrey, Pulley, and Vesala (2000) memperoleh hasil bahwa "the average merchant cost of an on-line debit transaction at $0,29 versus $0,80 for an off-line transaction". Biayanya hampir seperempat dari biaya off-line! Tidaklah mengherankan jika Korea Selatan dan Taiwan yang juga memiliki akumulasi cadangan devisa yang terus meningkat sangat berkepentingan dengan peningkatan infrastruktur teknologi informasinya. Bedanya dengan Jepang dan China yang hanya mengembangkan teknologi tersebut dalam konsteks infrastruktur keuangan, maka Korea Selatan dan Taiwan juga mengembangkan teknologi informasi bagi masyarakat luas.

Di Taiwan hampir semua fasilitas internet selalu diisi oleh masyarakat yang membawa kasurnya sendiri. Dan hampir setiap koneksi yang terjadi juga menghasilkan transaksi online! Inilah yang terjadi di mana large value system tidak lagi berjalan sendirian karena masyarakat luas juga melakukan fungsinya sebagai 'bank pembayaran'. "Besides the spectacular rise of card payments, innovative web-based payment systems such as PayPal have enabled individuals to 'wire' funds across great distance, instantaneously and at low cost" (Kuttner and McAndrews (2001)).

Efisiensi transaksi dan penurunan risiko transaksi inilah yang oleh sistem pembayaran di Jepang, China, Korea Selatan dan Taiwan berkontribusi bagi peningkatan cadangan devisa secara massif. Kondisi ini sudah berbeda jauh dengan kondisi awal di mana bank sentral terlibat dalam fungsi pembayaran. "Central bank participation in payment arrangements dates to at least the 15th century Banco di San Giorgio in Genoa" seperti yang dikemukakan oleh Fratianni and Spinelli 2006. Cara tradisional pengelolaan bank pembayaran seperti masa lalu itulah yang membuat fleksibilitas perekonomian dalam melakukan akumulasi cadangan devisa terhambat oleh risiko penyerahan akibat gagal serah karena perubahan nilai tukar.

Quinn and Roberds (2006) mengatakan bahwa "By the 18th century, book entry payments at the Bank of Amsterdam-the leading central bank of its day-were the dominant wholesale payment system in Europe". Karena itulah alokasi investasi bagi infrastruktur sistem pembayaran tidak dapat dibaikan begitu saja. Bahkan dapatlah dikatakan bahwa investasi tersebut sangatlah mahal yang mencapai kurang lebih 3%-5% dari PDB lihat penelitian dari Humphrey, Pulley, and Vesala (2000).

Kahn mengatakan "Payment systems have traditionally observed national boundaries, but over the past decade cross-border arrangements have become increasingly common. Cross-border credit card and ATM card transactions are now routine, and cross-border direct (ACH) transfers are starting to see increased usage." Dengan demikian otoritas moneter di China, Jepang, Korea Selatan dan Taiwan sebetulnya mampu melakukan kerja sama yang baik dengan otoritas moneter di negara lain. Khususnya Jepang dan Hong Kong yang mata uangnya sering menjadi instrument carry trade maka kerja ekstra dari otoritas moneter di kedua negara ini dalam menopang sistem pembayaran yang bebas risiko penyerahan akibat pergerakan nilai tukar memang patut untuk dikagumi!

Oleh Achmad Deni Daruri President Director Center for Banking Crisis
Opini Media Indonesia 13 Januari 2010