12 Januari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » "Surga" di Balik Tembok Penjara

"Surga" di Balik Tembok Penjara

Oleh Adi Surya P.
Ada sebuah paradoks yang sulit kita pahami bersama. Ketika penjara atau lembaga pemasyarakatan (lapas) kini menawarkan surga kebebasan dibandingkan dunia bebas yang justru kini tidak bebas. Lapas menjadi tempat paling aman untuk melakukan sebuah tindak kejahatan.Begitu juga dengan beberapa privilege yang didapatkan tahanan yang punya uang dan kuasa. Inspeksi mendadak yang dilakukan oleh Satgas Mafia Hukum di Rutan Pondok Bambu menunjukkan hal itu. Terpidana korupsi Artalyta Suryani menempati ruangan mirip hotel bintang lima dengan segala fasilitasnya. Nurani publik kembali terkoyak. Bukan hanya di ruang publik rasa ketidakadilan menjadi wacana mainstream, melainkan di balik tembok penjara pun diskriminasi merajalela.

 

Peristiwa seperti ini bukan pertama kali terjadi. Kita masih ingat terpidana 20 tahun kasus narkoba Schapelle Corby yang dipergoki sedang menjalani perawatan rambut dan pedicure di salon dan makan bersama saudara perempuannya, Mercedes, di restoran di Kuta. Artinya, kasus seperti ini bukanlah barang baru yang seharusnya bisa dicegah. Lantas di mana masalahnya?
Mencari akar masalah dalam masalah sosial memang tidak pernah mudah dilakukan. Karakteristik dari sebuah masalah sosial adalah bersifat multikausal karena berkaitan dengan berbagai subsistem seperti sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang ada dalam sebuah sistem lingkungan. Melihat konteks lokasi berlangsungnya kejadian, ada dua pihak yang berperan besar dalam menghasilkan perilaku positif ataupun negatif, yakni petugas lapas dan narapidana. Logika awam akan berpikir tidak mungkin tahanan bisa mendapatkan fasilitas mewah tanpa izin dan sepengetahuan petugas. Oleh karena itu, sangat mudah untuk memvonis siapa yang bersalah dalam hal ini.
Namun, melihat fenomena ini adalah bak puncak gunung es, tentunya kita jangan meletakkannya secara kasuistik karena praktik jual-beli fasilitas ini sebenarnya sudah lama terjadi secara sistematis dan melibatkan banyak pihak. Sebenarnya, kasus ini membuka kotak hitam praktik-praktik yang terjadi di lapas seperti adanya transaksi narkoba, pungutan liar, jual-beli makanan, perjudian, dan bahkan ada cerita petugas lapas menyewakan tempat khusus buat menyalurkan hasrat biologis bagi para warga binaan dan pembesuk. Mental birokrasi kita masih saja beranggapan "masalah adalah uang" sehingga lapas dijadikan ajang bisnis yang menggiurkan.
Ada beberapa penyebab hal ini bisa terjadi. Pertama, adanya mental birokrat yang korup. Lemahnya proses rekrutmen, seleksi, serta pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang tidak terprogram dengan baik. Kita lihat banyak birokrasi publik yang diisi tenaga-tenaga yang tidak profesional. Tidak diterapkannya merit system, tetapi atas dasar rasa like and dislike.
Kedua, rendahnya tingkat kesejahteraan petugas lapas. Dengan fasilitas minim serta jumlah gaji yang berkisar antara Rp400.000-Rp900.000 per bulan, para petugas ini mau tak mau harus bersiaga selama 12 jam pada shif malam dan 6 jam pada shif siang. Perbandingan antara risiko dan beban kerja para petugas dengan upah yang didapat, dirasa tidak imbang. Politik penggajian dan kesejahteraan pegawai yang kurang adil menyebabkan pegawai kurang mempunyai motivasi kerja sehingga memicu timbulnya perilaku kolutif dan koruptif (Islamy, 1998).
Ketiga, masih kaburnya kode etik bagi aparat birokrasi publik (code of conduct) sehingga tidak mampu menciptakan budaya birokrasi yang sehat, seperti kerja keras, keinginan untuk berprestasi, kejujuran, rasa tanggung jawab, bersih, bebas dari KKN, dan sebagainya.
Keempat, kurangnya jumlah personel petugas di lapas. Perbandingan petugas dengan warga binaan berkisar antara 1:100-200. Satu sipir penjara mengawasi ratusan orang yang tentunya tidak akan efektif.
Kelima, tidak adanya sistem pengawasan yang kokoh dan kurangnya ketegasan dalam kepemimpinan. Indikasinya, informasi dalam penjara hanya diketahui oleh segelintir pihak. Bahkan, Menteri Hukum dan HAM mengaku baru tahu ada "hotel bintang lima" dalam lapas. Ini menunjukkan sistem pengawasan sangat buruk.
Keenam, kondisi lapas yang penuh sesak (overcapacity). Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, jumlah penghuni penjara pada 2006 sebanyak 112.744 orang, sedangkan kapasitasnya hanya 76.550 orang. Pada 2007, jumlah penghuni lapas sekitar 127.238 orang dari kapasitas 86.550 orang. Sementara pada 2008 tercatat jumlah penghuni penjara mencapai 130.075 orang, berlebih 41.476 orang dari kapasitas seharusnya, yakni 88.599 orang. Ditjen Pemasyarakatan mencatat jumlah narapidana dan tahanan yang menghuni lapas atau rumah tahanan (rutan) pada 2009 mencapai 132.372 orang, sedangkan kapasitas idealnya 90.853 orang. Jumlah total penghuni lapas atau rutan terdiri dari 55.471 tahanan, 76.901 narapidana, 2.175 anak tahanan, 3.364 anak pidana, dan 152 anak negara. Kondisi yang tidak manusiawi ini tentunya merangsang warga binaan yang memiliki uang untuk mendapatkan kenyamanan. Kondisi lapas memang harusnya nyaman dan manusiawi karena penjara atau lapas bukan tempat penyiksaan, melainkan tempat pembinaan.
Sebagai solusi harus ada reformasi birokrasi dalam tubuh lembaga pemasyarakatan. Kita membaginya menjadi aspek restoration (perbaikan), provision (penyediaan sumber-sumber daya), dan prevention (pencegahan). Aspek restoration harus menyentuh penghilangan fator penyebab rusaknya fungsi dan membangun kembali pola-pola interaksi.
Pengalaman di Amerika Serikat, dalam upaya mengatasi sejumlah masalah dalam sistem pemenjaraan, mereka membentuk suatu badan yang dikenal dengan Prison Ombudsman (Ombudsman Penjara). Lembaga ini berfungsi sebagai mediator antara sejumlah pemangku kepentingan, seperti warga binaan, petugas, penjara (di Indonesia disebut lapas), dan juga otoritas yang ada di atas penjara (di Indonesia Direktorat Jenderal Pemasyarakatan). Multistakeholder ini bisa merekomendasikan dan menghilangkan semua fasilitas yang diperoleh tahanan dan menempatkannya secara adil bersama tahanan yang lain, juga menindak tegas siapa yang bertanggung jawab dalam pratik-praktik kejahatan dalam lapas dan memutus rantai kejahatan yang ada.
Aspek provision harus bersifat pengembangan dengan melakukan pembinaan, pemberdayaan birokrasi melalui redefinisi peran dan tanggung jawabnya, peningkatan profesionalitas dengan mengoptimalkan sarana-sarana diklat dan litbang di bidang kepegawaian, pengembangan institusi yang bisa dipakai untuk memacu aparat birokrasi untuk mengejar keunggulan komparatif dan kompetitif sekaligus juga untuk memperkuat moral mereka, dan pelatihan kepekaan agar mereka responsif terhadap kepentingan publik (Islamy,1998). Selain itu, kenaikan gaji bisa dilakukan disertai dengan remunerasi yang akan memacu petugas lapas bekerja dengan baik. Artinya, jika kinerja bagus, sama dengan gaji bertambah dan sebaliknya.
Sementara itu, aspek pencegahan bisa dilakukan dengan multistakeholder, yang tidak hanya melibatkan Kementerian Hukum dan HAM dengan Ditjen Pemasyarakatannya. Lebih dari itu, upaya penyelesaian harus mengikutsertakan pemangku kepentingan lain seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), kepolisian, maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan mungkin juga kalangan swasta seperti media massa.
Di Lapas, pintu masuk kejahatan ada di tangan petugas lapas. Untuk itu, mekanisme pengawasan perlu dibuat transparan untuk diakses publik. Peran media massa sangat sentral dalam hal ini untuk diberi kemudahan meliput bahkan menginvestigasi dalam lapas. Sebagai salah satu bagian dari masyarakat sipil, media massa tidak terjebak pada struktur birokrasi pemerintah dan lebih bebas untuk mengungkap fakta.
Pekerjaan menghilangkan mental birokrasi lapas yang buruk butuh konsistensi. Nilai-nilai negatif yang menjadi panduan bertindak harus dikikis perlahan disertai dengan teladan. Kepemimpinan yang tegas dan pemberian motivasi bekerja dengan pembentukan sistem baru dalam lapas adalah harga mati. Jika tidak, optimalisasi efek jera dan pembinaan yang menjadi esensi lapas menjadi gagal ketika ujung proses hukuman memberikan keistimewaan dan kemewahan.***
Penulis, mahasiswa Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP Unpad. 
Opini Pikiran Rakyat 13 Januari 2010