Oleh Yesmil Anwar
GeraldLeiawand (Prisons, 1972), menyebutkan sejumlah penyakit penjara (the ill of prison) sebagai (1) kekurangan dana, (2) penghuni yang padat, (3) keterampilan petugas dan gaji yang buruk, (4) kekurangan tenaga profesional, (5) prosedur pembebasan (bersyarat) yang serampangan (haphazard), (6) makanan yang jelek dan tidak memadai, (7) kesempatan memberikan pekerjaan yang konstruktif dan waktu rekreasi yang minim, (8) kurang memberikan kegiatan-kegiatan yang bersifat mendidik, (9) hukuman yang lama tanpa peninjauan pengadilan, (10) homo seksualitas, kecanduan obat, dan kejahatan-kejahatan di antara penghuni, (11) hukuman yang keras dan kejam terhadap pelanggaran aturan, (12) diskriminasi.
Tampak bahwa masalah di lembaga pemasyarakatan (lapas) begitu luas dimensinya. Komponen-komponen penentu mekanisme, terselenggaranya program pembinaan di lapas, dari mulai petugas lapas dan peraturan yang mendukungnya, sarana prasarana, dan dana, serta sikap warga binaan sendiri sangat menentukan keberhasilan pembinaan.
Dalam kaitannya dengan kemewahan yang dinikmati warga binaan Ayin yang ditemukan dalam sidak Satgas Anti Mafia Hukum ke Rutan Pondok Bambu beberapa waktu yang lalu, ataupun kekurangan-kekurangan di lapas di berbagai wilayah di Indonesia, ada baiknya kita menyimak proses sistem pembinaan warga binaan di Indonesia, agar dapat dipahami secara menyeluruh bagaimana sebenarnya yang terjadi dalam metabolisme pembinaan warga Binaan di lapas, seperti terpapar di bawah ini :
Jika diperhatikan dengan seksama, proses pembinaan warga binaan sangat bergantung pada kemampuan dari petugas dan setiap unsur yang ada dalam proses pembinaan, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Hal itu dapat terlihat dengan jelas dari sistem pembinaan di Indonesia. Gambaran tersebut masih perlu dievaluasi dengan seksama dengan tetap terbuka bagi upaya peningkatan kualitas pembinaan sehingga berbagai masalah dapat ditekan dengan seminimal mungkin. Perlu diketahui bahwa pembinaan warga binaan dimulai dengan kondisi manusia yang "bermasalah" dalam masyarakat. Bagaimana pun mewahnya mereka di dalam lapas tidak mungkin menggantikan "nikmatnya" hidup di luar lapas. Seperti yang dikatakan Rahardi Ramelan, mantan warga binaan, dalam bukunya "Lapas, Desa tertinggal". Jadi yang perlu diupayakan adalah meminimalkan masalah yang akan timbul tersebut dengan strategi pembinaan yang jitu dan penuh inovasi. Penyebabnya bukan hanya terletak di dalam proses pembinaan dalam lapas tetapi bisa juga berakar dari luar lapas, yaitu dalam masyarakat itu sendiri merupakan sebuah tempat persemaian kejahatan, ujar Cesare Beccaria tokoh besar kriminologi.
Perlu diperhatikan keberadaan komponen-komponen penentu terselenggaranya mekanisme terselenggaranya program pembinaan di lapas, dari mulai petugas lapas beserta peraturan perundang-undangan yang mendukungnya, sarana, prasarana, dana, dan juga perilaku dari warga binaan itu sendiri sangat menentukan keberhasilan pembinaan. Namun, jangan dilupakan keberadaan dan peran komponen penting lainnya yang merupakan "konsumen" dari "produk" lapas, yaitu masyarakat. Dari sudut sosiokriminologis, masyarakat Indonesia masih beranggapan "sekali lancung keujian seumur hidup orang tidak percaya". Hal itu merupakan stigma/cap paling menghambat keberhasilan proses tahap resosialisasi mantan warga binaan lapas ke dalam masyarakat. Yang sesungguhnya merupakan bagian dari program proses pembinaan warga binaan di luar lapas.
Oleh karena itu, bagaimanapun canggihnya pembinaan di dalam lapas jika masyarakat tetap menolak kehadiran mantan warga binaan, pembinaan yang memakan begitu banyak tenaga dan biaya akan sia-sia belaka. Kenyataannya masyarakat masih alergi terhadap bekas warga binaan dari lapas. Padahal sesungguhnya jika dirunut kebelakang, siapakah mereka sebenarnya? Seperti gugatan dan tangisan dari salah seorang warga binaan wanita di muka wartawan di Lapas Pondok Bambu, mereka adalah warga masyarakat itu sendiri. Hasil dari proses sosial yang berlangsung dalam masyarakat.
Cesare Beccaria mengatakan, "setiap masyarakat memiliki penjahatnya sendiri" bahwa masyarakat bertanggungjawab atas terjadinya kejahatan yang dibuat oleh anggota masyarakat itu sendiri. Untuk itu dibutuhkan partisipasi aktif serta empati mendalam bahwa apabila masyarakat menolak mantan warga binaan akibatnya akan menjadi bumerang bagi masyarakat itu sendiri. Karena mereka akan lebih mengganggu disebabkan rasa "dendam sosial" yang perlu pelampiasan.
Barangkali tak berlebihan hal tersebut menjadi salah satu penyebab mantan warga binaan tersebut akan berusaha masuk ke dalam masyarakat dengan cara yang bertentangan dengan norma-norma yang ada dan bekerja secara terpaksa. Sebab, tidak ada pilihan lain yang sesuai dengan skill yang dimilikinya di sektor-sertor yang rentan terhadap kejahatan, misalnya menjadi debt collector, keamanan toko, calo/makelar dan lain-lain. Hal lain yang menyebabkan warga binaan masuk kembali ke dalam "khasanah" kejahatan, misalnya disebabkan ketika mereka mencari pekerjaan selalu ditolak karena cap "bekas narapidana". Maka mereka akan berusaha masuk kembali ke dalam masyarakat dengan cara yang melanggar hukum dengan bekerja di sektor-sektor yang rentan, terseret untuk menjadi kriminal kembali. Penyebab lain adalah bila mereka keluar dari lapas dengan proses "pelepasan bersyarat" yang tidak sempurna.
Di samping itu, perlu dipertimbangkan keberadaan kondisi masyarakat yang akan menerima "sang anak hilang" tersebut, barangkali wajar juga jika masyarakat pada masa yang penuh ketidakpastian itu bertindak ekstrahati-hati terhadap mantan warga binaan. Di sinilah sebenarnya tantangan pemerintah untuk membuka cakrawala masyarakat dengan penyuluhan dan mungkin juga bersama-sama lembaga swadaya masyarakat (LSM) berinisiaf mengubah pola pikir dan perilaku masyarakat terhadap mantan warga binaan. Dana besar yang akan dikucurkan pemerintah untuk membangun puluhan lapas tidak akan ada manfaatnya, jika paradigma berpikir terhadap keberadaan warga binaan di dalam lapas masih tetap sebagai bui bagi para penjahat. Harus ada upaya sungguh-sungguh untuk mengubah cap lapas adalah sekolah penjahat, surga pengguna narkoba, tempat pembuangan sampah masyarakat, atau hotel berbintang lima bagi koruptor berduit. Dengan demikian, dapatlah didekatkan jarak antara harapan dan kenyataan, tujuan dari pembinaan di lapas.***
Penulis, dosen mata kuliah kriminologi Unpad dan Unpas.
OPini Pikiran Rakyat 13 Januari 2010