Rendahnya partisipasi masyarakat dalam pendidikan lingkungan disebabkan kurangnya pemahaman dan komitmen. Belum lagi keterbatasan pemahaman di kalangan pelaku pendidikan
SEPULUH Januari lalu dicanangkan sebagai Hari Gerakan Satu Juta Pohon, dan secara nasional disebut pula sebagai bentuk awal gerakan penghijauan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengawalinya dengan mencanangkan Hari Menanam Pohon di Puslit Limnologi Cibinong Science Center LIPI, Cibinong, Kabupaten Bogor, November 2008.
Waktu itu, Presiden mengatakan gerakan tersebut untuk membuat Indonesia lebih lestari dan hijau, sekaligus memperbaiki kesejahteraan. ”Dengan satu manusia (menanam) satu pohon, berarti kita bisa menanam 230 juta pohon setiap tahun. (Kalau) kita bisa, Indonesia pasti bisa,” kata SBY, waktu itu, yang selanjutnya menetapkan Desember sebagai Bulan Menanam Pohon.
Menanam pohon akan membuat hutan terpelihara dan memberikan manfaat ganda. Hutan yang diolah dengan baik, dapat menjadi sumber perekonomian rakyat. Hutan juga menjadi pilar kelestarian di tengah perubahan iklim sehingga bisa menjadi sabuk pengaman lingkungan.
Realisasi penanaman 86 juta pohon pada tahun 2007, sudah melampaui target yakni 79 juta pohon. Sementara kaum perempuan yang dipelopori Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu (SIKIB) yang menargetkan menamam 10 juta pohon, bisa mewujudkan 14 juta pohon tertanam.
Hutan Indonesia yang luasnya 120,3 juta ha diyakini mampu menyerap emisi secara signifikan. Namun deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia juga dianggap sebagai sumber emisi karbon karena melepas CO2 ke atmosfer.
Dalam kondisi baik, hutan bermanfaat untuk menyimpan dan menyerap emisi karbon atau gas rumah kaca (GRK). Sebaliknya, dalam kondisi kurang baik, hutan dianggap sebagai sumber emisi karbon karena melepas CO2 ke atmosfer.
Menurut Stern Report, deforestasi menyumbang 18% dari emisi GRK total dunia, dan 75%-nya berasal dari negara berkembang. Departemen Kehutanan melakukan berbagai upaya untuk ikut serta mengendalikan pemanasan global, antara lain dengan menurunkan laju deforestasi dan degradasi hutan dan lahan, dari 2,83 juta ha/tahun pada tahun 1999-2000 menjadi 1,08 juta ha/tahun pada tahun 2000-2006, menurunkan lahan yang terdegradasi atau kritis dari 59,3 juta ha sebelum tahun 2005 menjadi 32 juta ha setelah tahun 2005.
Pencurian Kayu
Selain itu, menurunkan tingkat pencurian kayu dan perdagangan kayu ilegal dari 9.000 kasus pada tahun 2007 menjadi 300 kasus pada tahun 2008, serta mengendalikan tingkat kebakaran lahan dan hutan dengan menurunkan jumlah hotspot dari 121.622 titik pada tahun 2006 menjadi 27.247 titik pada tahun 2007 dan hingga 11 November 2008 terpantau 17.020 titik.
Upaya lain yang melibatkan seluruh komponen bangsa adalah memperbanyak pohon dan tanaman untuk memperbanyak penyerapan unsur-unsur gas berbahaya, serta melestarikan hutan. Sampai akhir 2008, melalui berbagai kegiatan, telah ditanam lebih dari 3 miliar pohon.
Penanaman pohon mempunyai manfaat yang besar dan luas, terutama untuk memperbaiki kualitas lingkungan hidup dan untuk mencegah terjadinya berbagai bencana alam seperti banjir, tanah longsor pada musim hujan, dan kekeringan serta kekurangan air bersih pada musim kemarau, sekaligus juga untuk mencegah terjadinya kekurangan pangan.
Dalam Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim beberapa waktu lalu, Indonesia mendapatkan penghargaan dari dunia.
Sebagai tuan rumah, Indonesia bersama PBB pada tahun 2007 dinilai sukses menyelenggarakan acara itu yang menelurkan Bali Road Map, salah satu rujukan manusia sejagat untuk bersama-sama menyelamatkan lingkungan planet Bumi.
Dengan disetujuinya Peta Jalan Bali itu sebagai kerangka awal, maka pembahasan sistem pengaturan baru perubahan iklim pascaperiode I Protokol Kyoto 2012 bisa digelar di Polandia setahun kemudian.
Pendidikan lingkungan hidup adalah upaya mengubah perilaku dan sikap, untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kesadaran masyarakat tentang nilai-nilai dan isu permasalahan lingkungan. Semua itu bertujuan menggerakkan masyarakat agar berperan aktif dalam upaya pelestarian dan penyelamatan lingkungan demi kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang.
Perlu pula waktu, proses, dan sumber daya yang merupakan salah satu bagian program jangka pendek, menengah, dan panjang yang dituangkan melalui proses pembelajaran melalui bentuk kurikulum pengajaran dari tingkat PAUD, TK, SD, SLTP, SMA sampai perguruan tinggi. (Nugroho,2007)
Tridarma perguruan tinggi Indonesia pun merupakan suatu bentuk peran serta universitas dalam gerakan pendidikan lingkungan. Kita bisa melihat beberapa perguruan tinggi melibatkan diri secara aktif dalam pengembangan pendidikan lingkungan.
Perlu juga dicatat peran LSM dalam konteks itu, antara lain Forum Indonesia untuk Lingkungan Hidup (Walhi), Klub Indonesia Hijau (KIH), dan Yayasan Peduli Lingkungan Hidup (YPL), yang mengawali kegiatan pendidikan lingkungan di kalangan mahasiswa dan masyarakat.
Pendidikan lingkungan harus diupayakan sedini mungkin agar dapat meminimalisasi kerusakan lingkungan hidup sejak dini pula. Jadi, Gerakan Menanam Sejuta Pohon adalah salah satu program yang harus dilakukan semua elemen masyarakat.
Mengenai masih rendahnya partisipasi masyarakat untuk berperan dalam pendidikan lingkungan, ternyata lebih disebabkan oleh kurangnya pemahaman terhadap permasalahan lingkungan, rendahnya kemampuan, dan rendahnya komitmen untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Belum lagi keterbatasan pemahaman di kalangan pelaku pendidikan lingkungan sendiri.
Semestinya, lewat pendidikan formal, dari tingkatan PAUD sampai perguruan tinggi, harus diberikan materi secara komprehensif, terstruktur, dan terencana dalam bentuk kurikulum.
Aplikasinya bisa dimasukkan melalui pelajaran biologi lingkungan, fisika lingkungan, kimia lingkungan (bidang IPA), ekonomi dan manajemen lingkungan (ekonomi), perencanaan tata ruang Lingkungan (sipil dan arsitektur), teknik informatika, ekologi industri, dan sebagainya.
Materi, metode, sarana, dan prasarana pelaksanaan pendidikan lingkungan yang selama ini digunakan perlu didukung secara aplikatif sesuai dengan muatan lokal dan kemampuan masing-masing lembaga.
Perlu adanya kesepakatan kebijakan pemerintah yang secara terintegrasi mendukung perkembangan pendidikan lingkungan hidup di Indonesia, termasuk produk perda yang secara spesifik terukur mengatur hal-hal yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup.
Dengan masih lemahnya kebijakan pendidikan nasional mengenai lingkungan, sudah saatnya perlu disusun kebijakan terpadu untuk dijadikan acuan bagi semua pihak yang terkait dengan pelaksanaan dan pengembangannya. Masing-masing lembaga pendidikan dan nonpendidikan perlu pula membuat suatu wadah tentang pendidikan lingkungan, apapun bentuknya. (10)
—Dr S Agus Nurdijano MM MSi, konsultan teknik lingkungan dan Kepala Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Stikubank Semarang
Wacana Suara Merdeka 13 Januari 2010