DOKTER dan dokter gigi dalam menjalankan profesinya sangat dimungkinkan melakukan pelanggaran atas norma tertentu. Paling tidak ada tiga pelanggaran yang bisa mengadang profesi mereka, yakni pelanggaran norma etik, disiplin profesi, dan norma hukum.
Norma etik mengatur tentang pantas atau tidaknya suatu ucapan, tulisan, perbuatan seorang dokter atau dokter gigi, baik dalam hubungannya dengan pasien, teman sejawat, masyarakat, organisasi profesinya, maupun kepada pemerintah.
Norma etik ditegakkan berdasarkan kaidah dasar moral. Pelanggarannya tidak dikenai hukuman penjara tetapi pelakunya mendapat sanksi moral, yang bisa terasa lebih berat dibandingkan sanksi perdata ataupun pidana.
Dikatakan terasa lebih berat karena ingatan atas perbuatan pelanggaran etik oleh seorang dokter atau dokter gigi, terus melekat pada memori setiap orang yang mengetahuinya.
Penegakan etik dilakukan oleh organisasi profesi, untuk menjunjung tinggi etika, menjaga keluhuran budi profesi, dan menjaga keselarasan pelaksanaan kegiatan profesi. Selain itu, menjaga agar tidak terjadi pelanggaran etika profesi yang dapat merugikan masyarakat atau kehidupan profesionalisme.
Lembaga penegakan etik dilakukan oleh Majlis Kehormatan Etik kedokteran (MKEK) untuk profesi dokter, dan Majlis Kehormatan Etik Kedokteran Gigi (MKEKG) untuk profesi dokter gigi. Lembaga ini dipimpin dan dilaksanakan oleh beberapa dokter yang mempunyai komitmen tinggi terhadap nilai-nilai moral.
Norma disiplin profesi, mengatur tentang batas-batas kewenangan atau kompetensi seorang dokter atau dokter gigi. Norma disiplin juga mengatur tentang perilaku profesional dalam hubungannya antara dokter dan pasiennya, serta mengatur standar prosedur pelayanan medis (SPM) ataupun standar prosedur operasional (SPO) yang harus dilakukan saat praktik.
Dokter dan dokter gigi yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan sanksi tindakan disiplin, sesuai Pasal 54 Undang-Undang (UU) Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Lembaga yang berwenang menegakkan disiplin profesi kedokteran adalah Majlis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).
Ada tiga jenis sanksi yang dapat diberikan MKDKI, yaitu peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik, atau kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan ulang (reschooling).
Lembaga ini dipimpin dan dilaksanakan tidak hanya oleh dokter dan dokter gigi tetapi melibatkan beberapa unsur, seperti ahli hukum kesehatan (SH), unsur asosiasi rumah sakit (Persi), unsur organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dan unsur organisasi profesi Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI).
Norma hukum, mengatur tentang benar atau salah seorang dokter atau dokter gigi dalam praktiknya, apakah memenuhi standar legalitas atau tidak, serta memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Undang-Undang Praktik Kedokteran mengatur tentang jenis-jenis pelanggaran hukum yang dapat berakibat jatuhnya sanksi. Di antaranya dokter atau dokter gigi praktik tanpa surat izin praktik (SIP), tidak memasang papan nama, tidak membuat rekam medik, dan tidak menjaga rahasia kedokteran.
Ganti Rugi
Pasal 1365 KUH Perdata, menyatakan,’’ Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, menggantinya’’.
Adapun Pasal 1370 KUH Perdata, menyebutkan,’’ Dalam hal kematian akibat kesengajaan atau kelalaian, ahli waris berhak menuntut ganti rugi, yang dinilai menurut kedudukan dan kekayaan kedua pihak’’. Ketentuan dalam Pasal 55 Undang-Undang Kesehatan menyebutkan, ‘’Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan’’.
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan di rumah sakit yang menyangkut multiprofesi, multikompetensi, dukungan teknologi kedokteran yang terus berubah dan berkembang seiring dengan tuntutan masyarakat dan pelayanan, menjadikan rumah sakit mempunyai karakteristik yang sangat kompleks.
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit telah diundangkan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menandatangani pada 28 Oktober 2009. Ada masa transisi untuk mempersiapkan Peraturan Pemerintah (PP), ataupun Peraturan Menteri Kesehatan menyangkut pelaksanaan UU tersebut.
Banyak pasal dalam UU yang baru itu yang masih mengganjal, bahkan mengundang kontroversi. Akankah UU ini bernasib sama dengan UU Praktik Kedokteran: diuji materi atau judicial review oleh Mahkamah Konstitusi (MK)? Suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, faktanya UU tentang Rumah sakit sudah disetujui oleh DPR dan ditandatangani oleh Presiden, sehingga telah menjadi produk hukum yang sah.
Terkait dengan kompleksitas itu, kelalaian dokter atau dokter gigi pada sarana pelayanan kesehatan rumah sakit dapat merugikan pasien, dan berpotensi melahirkan gugatan dari pasien atau keluarganya. Pertanyaannya adalah siapa yang harus bertanggung jawab?
UU tentang Rumah Sakit ,Bagian Ke-7 mengenai Tanggung Jawab, Pasal 46 menyebutkan,’’ Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan di rumah sakit’’. Penjelasan pasal itu atas UU tersebut adalah cukup jelas.
Sekarang bagaimana tanggapan para direktur rumah sakit atau pemilik rumah sakit? Rumah sakit swasta yayasan sosial/ keagamaan akankah merasakan akibatnya seperti peribahasa panas setahun dihapuskan oleh hujan sehari? Hasil usaha yang dikumpulkan tiap bulan tahu-tahu habis karena ada gugatan perdata Rp 2 miliar, yang disebabkan oleh kelalaian tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakitnya dan bukan karena kesalahan rumah sakit itu.
Bagi dokter dan dokter gigi, kelalaian seperti apa yang menjadi tanggung jawab hukum rumah sakit? Apa yang dimaksud dengan tanggung jawab hukum? Bersediakah atau mampukah pemilik rumah sakit (owner) seperti yayasan sosial, persyarikatan, paguyuban jamaah haji, NU, Muhammadiyah, Yakkum, Perdaki, atau yayasan keagamaan lainnya membayar gugatan ratusan juta atau miliaran rupiah karena kelalaian orang (tenaga kesehatan) yang bekerja di yayasannya?
Rumah sakit tidak dapat dijadikan bulan-bulanan pasien, dengan adanya kasus gugatan. Tidak semua karena kasus di rumah sakit, kemudian pasien atau keluarganya dapat menggugat karena rumah sakit tidak bertanggung jawab secara hukum, bila pasien dan/atau keluarganya menolak atau menghentikan pengobatan yang dapat berakibat kematian pasien setelah adanya penjelasan medis yang komprehensif. Rumah sakit juga tidak dapat dituntut dalam melaksanakan tugas dalam rangka menyelamatkan nyawa manusia.
Banyak pasal dalam UU yang baru itu mengundang kontroversi, bahkan mereka yang terkait akan mengernyitkan dahi. Misalnya persoalan yang menyangkut uang muka perawatan, klasifikasi ruang perawatan, penolakan pasien, perizinan rumah sakit, kewajiban rumah sakit, tata kelola penyelenggaraan rumah sakit, keselamatan pasien, pembiayaan rumah sakit, atau pelaporan ke media massa oleh pasien menyangkut ketidaknyamanan pelayanan yang ia terima.
Belum lagi UU mengamanatkan pembentukan Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia (BPRSI) sampai ke tingkat provinsi untuk membina dan mengawasi secara eksternal, serta pembentukan Dewan Pengawas Rumah Sakit (DPRS) untuk lingkup internal. (10)
— Dokter Gigi Edi Sumarwanto MM MHKes, pengurus Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Daerah Jawa Tengah, direktur rumah sakit swasta
Wacana Suara Merdeka 13 Januari 2010