12 Januari 2010

» Home » Suara Merdeka » Menimbang Purbalingga Lewat Film

Menimbang Purbalingga Lewat Film

SECARA kasat mata, pembangunan di wilayah selatan (kota) Kabupaten Purbalingga memang berhasil. Pemandangan di wilayah kota mampu menerjemahkan kondisi ideal wajah sebuah kota yang terus bergerak maju.

Usai membangun (memindah) pasar kota ke lokasi baru, pemkab membangun taman kota di bekas lokasi pasar.
Keberhasilan ini dianggap sebagai salah satu kado terindah dari pemerintah bagi masyarakat dalam perayaan hari jadi ke- 179 Purbalingga.


Kado ini juga menandai momen tutup tahun 2009 dan menjelang berahirnya masa jabatan Triyono Budi Sasongko (yang juga sering disebut dengan TBS) sebagai bupati.

Di luar itu, pada akhir masa jabatannya, Bupati berhasil membangun kembali stadion olahraga Goentoer Darjono. Kemudian merealisasikan pembangunan museum wayang dan artefak, serta berhasil mengukuhkan (baca: membawa) Purbalingga sebagai kabupaten proinvesatasi tertinggi di Jawa Tengah.

Gambaran benda-benda mati tentang Purbalingga tentu saja berbeda, bahkan kontras dengan gambar hidup yang berhasil diabadikan oleh sejumlah pekerja seni -industri kreatif- di Purbalingga.

Dengan sudut pandang berbeda, enam sutradara muda yang tergabung dalam wadah Cinema Lover Community (CLC) berhasil mendokumentasikan wajah lain Purbalingga.

Hasil karya mereka patut dipertimbangkan dan dijadikan bahan inisiasi serta melihat bagaimana seharusnya pembangunan Purbalingga di masa datang.

Dalam film Trima Hidup Apa Adanya, Bowo Leksono sang sutradara mencoba menyuguhkan narasi pendek tentang nasib seorang buruh pabrik pengolah rambut terbesar di Purbalingga. Trima adalah nama seorang buruh dari sekitar 50 ribu buruh yang bekerja di perusahaan dengan penanam modal asing (PMA).

Meski ia bekerja di perusahaan PMA, bayaran yang diterima belum setara UMK yang sekarang berlaku. UMK Purbalingga tahun 2009 Rp 618.750, sementara gaji yang diterima buruh pabrik di Purbalingga berkisar Rp 250.000 hingga Rp 500.000. Sementara itu, survei kebutuhan hidup layak (KHL) tahun 2010 ditetapkan Rp 803.000 dengan UMK Rp 695.000.

Padahal mereka masih harus menanggung ongkos transportasi setiap hari, biaya sekolah anak dan biaya hidup keluarga.

Namun Trima menerima nasib itu apa adanya, seperti ribuan perempuan pekerja lainnya, yang menjadi tulang punggung keluarga.
Sementara itu, tiga sutradara muda lainnya mencoba mengangkat satu tema yang sama.

Dengan angle berbeda, ketiganya seperti menyusun tiga episode berseri kisah tragik pedagang di Pasar Segamas dan keriuhan jalan raya di Purbalingga.

Film Segamas menjadi film terpanjang dalam kompilasi film bertajuk Kado Buat Kota Tercinta. Segamas mengangkat kisruh seputar relokasi pasar lama ke lokasi baru yang sekarang.

Dalam film berdurasi 26,37 menit ini, Nanki Nirmanto  sutradara- berhasil menyuguhkan perselisihan antara pedagang dan Disperindagkop selaku pemegang kebijakan pengelolaan pasar.

Dilingkapi petikan pernyataan anggota DPRD dan Kepala Disperindagkop di sela-sela celoteh polos para pedagang, membuat seri dokumenter ini mirip liputan khusus seputar Segamas.

Serial Segamas berlanjut dengan film Daging yang Tak Laku. Film ini adalah satu fragmen garapan sutradara Shinta yang bertutur tentang nasib pedagang daging ayam yang mengalami penurunan omzet penjualan akibat relokasi pasar dan letak kios yang kurang strategis.

Episode ketiga adalah film mini Uwis Sesek sutradara Anargya Uswan. Film ini mendokumenterkan kondisi karut-marut lalu lintas di Kota Purbalingga. Kepadatan kendaraan dalam film ini mencerminkan rendahnya kesadaran berlalu-lintas dan manajemen jalan raya.

Dua film kado lainya adalah Curug oh Curug karya sutradara Elma Sulistiya Ningrum dan Harapan Novita besutan Aris Prasetyo.

Curug oh Curug berkisah tentang nasib sebuah objek wisata alami berupa air terjun yang terbengkalai di tengah gencarnya pembangunan objek wisata imitasi.

Sedangkan Harapan Novita bertutur tentang kisah hidup seorang pelajar di sebuah SMP kecil di desa terpencil yang memiliki cita-cita menjadi dokter. Film-film ini sesungguhnya tengah membantu pemerintah memetakan permasalahan riil yang dihadapi masyarakat Purbalingga.

Sehingga, siapapun yang akan memimpin Purbalingga ke depan, memiliki gambaran nyata tentang apa yang harus dilakukan, sesuai dengan kehendak rakyat.(10)

— Teguh Trianton, staf edukatif SMK Widya Manggala Purbalingga, Periset Beranda Budaya (Banyumas)
Wacana Suara Merdeka 13 Januari 2010