Pertemuan Kopenhagen baru saja berlalu tanpa menghasilkan sesuatu yang mengikat secara hukum (legally binding). Namun, para peserta tentunya tak perlu terlalu kecewa karena pertemuan COP 15 ini juga telah menghasikan suatu persetujuan politis (Copenhagen Accord) meski tak mengikat.
Ada 5 negara yang mengusulkan accord tersebut yakni: USA, China, Brasil, Afrika Selatan dan India. Melalui persetujuan ini, pihak-pihak yang bertandatangan menyetujui beberapa hal di antaranya:
(i) memperlambat pemanasan global agar peningkatan suhu tak melebihi 2 oC pada tahun 2050; (ii) komitmen para peserta untuk mengurangi emisi rumah kaca yang menghangatkan atmosfir; (iii) kemajuan dalam menangani persoalan deforestration;
(iv) aliran dana buat negara berkembang khususnya yang miskin untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Menurut Sekjen PBB, Ban Ki-moon, dana pendukung untuk persetujuan ini adalah:
US$3 miliar per tahun selama 3 tahun ke depan, dan selanjutnya dana penanggulan ini akan meningkat menjadi US$100 miliar per tahun (sumber: http://indiainteracts.in/news/2009/12/19/Copenhagen-Accord-is-sealed-finally.html).
Sambil menunggu langkah-langkah dan pertemuan-pertemuan selanjutnya yang telah direncanakan seperti Meksiko (2010) dan Korea Selatan (2012), ada baiknya para pemerhati iklim (climate-goers) melakukan perenungan (kontemplasi) dengan memperhatikan beberapa hasil pengamatan dan analisis terbaru berikut ini:
Karbon
Karbon adalah salah satu unsur kimia yang memesona. Hal ini dapat dijumpai dalam essay John Brignell (2007) berjudul: In praise of carbon.
Dalam bentuk unsur tunggal, karbon ditemukan dalam berbagai sosok mulai dari batu-lukis Leonardo da Vinci, intan-berlian perhiasan kaum wanita hingga penyusun utama teknologi nano.
Wujud dan fungsinya pun makin bervarisasi jika karbon bersenyawa dengan unsur lain misalnya oksigen. Hasil perpaduan keduanya akan menghasilkan dua senyawa yang berbeda perilaku:
Ada karbon monoksida yang meracuni darah pembawa maut, namun adapula karbon dioksida suatu gas kehidupan yang menjadi sumber rantai makanan (terjadi pada proses fotosintesis tumbuhan darat maupun laut/fitoplankton) dan agen pertumbuhan tanaman.
Dalam konteks iklim, karbon dioksida dengan konsentrasi yang rendah (trace gas) ini menimbulkan efek pemanasan alamiah yang membuat bumi nyaman dihuni manusia dengan suhu rata-rata sebesar +15oC.
Tanpa adanya gas rumah kaca ini, bumi kita bisa mencapai suhu sekitar -18 oC (http://eesc.columbia.edu/courses/ees/climate/lectures/radiation/).
Tidak itu saja, ada hal lain lagi yang bisa menjadi kontroversial, yakni bahwa efek selimut karbon sebagai penghangat bukan fenomenan global.
Efek rumah kaca ini rupanya hanya ditemukan pada saat suhu rendah misalnya pada malam hari dan musim dingin serta pada lokasi-lokasi yang bersuhu dingin misalnya daerah kutub dan wilayah pegunungan (Freeman Dyson, 2007: A many colored glass – Reflections on the Place of Life in the Universe).
Seiring dengan berjalannya waktu, terjadilah peningkatan konsentrasi karbon dioksida di atmosfir melalui berbagai aktivitas manusia seperti pembakaran bahan-bakar fosil dan deforestration.
Hasil observasi dari Mauna Loa menunjukkan bahwa konsentrasi gas ini bertambah dari 313 ppm di tahun 1960 menjadi 383 ppm di tahun 2009 (http://www.esrl.noaa.gov/gmd/ccgg/trends/co2_data_mlo.html).
Hal ini mestinya disambut oleh kelompok tanaman karena peningkatan konsentrasi gas ini baik bagi kehidupan mereka. Hal ini ditunjukkan oleh tingginya tingkat pertumbuhan berbagai jenis tanaman dalam kondisi lingkungan yang kaya karbon dioksida (Idso dan Idso, 1994; Archibald, 2007).
Salah satu situs web yang dibangun untuk mendemontrasikan manfaat karbon dioksida dalam konteks perubahan global dapat diakses via http://www.co2science.org/.
Jika tanaman bersyukur pada melimpahnya karbon dioksida, mengapa manusia malah menganggap gas ini sebagai barang berbahaya bahkan ia malah sudah dijuluki sang pencemar oleh sebahagian orang? Rupanya ini ada hubungannya dengan isu pemanasan global (isu ini sekarang berubah menjadi "perubahan iklim".
Suhu
Pada beberapa dekade belakang ini, ada saat di mana suhu meningkat yakni pada kurun waktu antara tahun 1910 hingga 1940. NASA mencatat rekor suhu tertinggi di benua Amerika terjadi pada tahun 1934.
Di samping hal ini, tercatat pula adanya pelelehan es di kutub utara pada tahun 1920-an dan 1930-an. Berdasarkan hal ini, sebagian orang lantas menyimpulkan bahwa telah terjadi pemanasan global akibat adanya emisi karbon dioksida ke atmosfir akibat ulah manusia (enhanced atau man-made/anthropogenic global warming).
Mereka (para carbophobia) ini tampaknya lupa bahwa kontribusi manusia pada emisi gas rumah kaca ini amatlah kecilnya dibanding jumlah gas yang dipancarkan oleh samudera, mikroorganisma dan pembusukan tanaman.
Kontribusi manusia untuk hal ini adalah sekitar 0,117% (R.D. Brinsmead, 2008: An irrational fear of Carbon). Selain itu jika memang karbon dioksida inilah yang menjadi penyebab adanya peningkatan suhu, bagaimana menerangkan kecenderungan penurunan suhu yang kita alami sejak awal tahun 2001?
Penurunan suhu ini adalah sebesar -1,2 oC per seratus tahun (Monckton dan Fielding, 2009: Open letter to chairman Panchauri).
Mestinya suhu juga akan terus meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi karbon dioksida seperti telah disebutkan di atas.
Fenomena penurunan suhu yang kita alami belakang ini amat menyimpang dari hasil ramalan/proyeksi model IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change).
Proyeksi IPCC dengan berbagai skenario emisi gas rumah kaca menghasilkan beberapa ramalan adanya peningkatan suhu per seratus tahun pada kisaran antara: +2,4 oC hingga +5,3 oC.
Perbedaan antara hasil observasi dan hasil prediksi IPCC ini tentu akan menjadi bahan kajian menarik untuk diselidiki lebih lanjut.
Epilog
Dalam perenungan ini mungkin ada baiknya kalau kita menyimak pesan dua orang ilmuwan yang menekankan pentingnya belajar dari masa lalu, kerendahan hati dalam mengakui keterbatasan, dan semangat untuk menemukan kebenaran melalui proses perdebatan yang benar dan menjauhi taklid.
Pesan pertama terdapat dalam surat terbuka Petr Chylek untuk komunitas peneliti iklim (5 Desember 2009): "Let us admit that our understanding of the climate is less perfect than we have tried to make the public believe...
Let us encourage students to think their own thoughts instead of forcing them to parrot the IPCC conclusions...Let us open the doors of universities, of NCAR, NASA, and other research institutions (and funding agencies) to faculty members and researchers who might disagree with the current paradigm of carbon dioxide."
Pesan kedua terdapat dalam paragraf akhir artikel H. A. Taylor (Desember 2009) yang berjudul: Global waming: Nature not Man. Ungkapan Beliau adalah:
"Great minds long preceding us knew from the beginnings that rational thinking and virtue are essential for the flourishing of human condition...And they knew that balanced debate was fundamental to understanding...
We can’t grow superior citizens, or scientists, or politicians unless they are thought by inspired minds...Thus if we can find the way, we must return to honoring intelligence, integrity, and informed, sincere deliberation...lessons from the Past! That, I believe, is our best hope."
Oleh Dr Halmar Halide Dosen kuliah 'Perubahan Iklim', Jurusan Fisika Universitas Hasanudin, Makassa
Opini Media Indonesia 29 Desember 2009