29 Desember 2009

» Home » Suara Merdeka » Korupsi Akar Segala Masalah

Korupsi Akar Segala Masalah

Di tengah momen peringatan Hari Antikorupsi Sedunia, baru-baru ini, ternyata awal pemerintahan SBY periode kedua dipenuhi aroma yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan korupsi.

Permusuhan antara KPK dan Polri, juga kasus Bank Century kemungkinan besar berujung pada masalah korupsi. Terakhir adalah adanya kecurigaan dari Presiden SBY akan adanya isu gerakan sosial pada hari ini.

Peringatan Hari Antikorupsi Sedua muncul karena mengguritanya masalah korupsi pada kebanyakan negara, yang mengganggu jalannya roda pembangunan.


Adanya kenyataan di dunia terjadi asimetrik informasi dan kemampuan manusia yang berbeda-beda, maka melambungnya masalah korupsi yang kebetulan kebanyakan menimpa negara sedang berkembang, mengakibatkan hilangnya masalah keadilan dan terpinggirkannya kalangan masyarakat bawah.

Ketimpangan dalam pendapatan akan makin menjadi-jadi, diiringi oleh makin tingginya angka kemiskinan dan pengangguran. Masifnya korupsi di suatu daerah menyebabkan munculnya berbagai kebohongan yang mengerikan.

Begawan ekonomi Soemitro Djojohadikusumo semasa hayatnya mengatakan kebocoran realisasi pembangunan pada zaman Orba sudah mencapai angka 30 persen. Sekarang belum diketahui secara pasti tetapi sesuai dengan eranya otonomi daerah tentunya angkanya akan beragam pada masing-masing kabupaten/kota. Kalau dahulu korupsi begitu tinggi dilakukan oleh pemerintah pusat sekarang ini bisa jadi merembet ke berbagai daerah.

Jika ekonom peraih hadiah Nobel Amartya  Sen (1988) dalam penelitian terhadap bencana kelaparan di Bengali, India, yang terjadi tahun 1943 melihat bahwa persediaan bahan pangan mencukupi tetapi telah menewaskan tiga juta jiwa, maka fakta korban itu disebabkan sifat pemerintah yang otoriter-diktatorial, yang hanya menguntungkan sekelompok kecil orang.

Korupsi pun di India seperti di Indonesia angkanya sama-sama tingginya.  Kekacauan dalam distribusi pangan, akses dalam pendidikan, kesehatan ataupun pemenuhan kebutuhan pokok lainnya di Indonesia dapat mengalami ketimpangan yang cukup jauh.

Rusaknya lingkungan hidup jika ditelusur mendalam terjadi karena berkembang suburnya korupsi. Penebangan hutan, pendirian industri yang analisis dampak lingkungannya asal-asalan ataupun kerusakan sumber daya alam lainnya, karena segelintir orang meloloskan sesuatu yang semestinya tidak layak, sehingga kacaulah lingkungan hidup ini.

Lebih bahaya lagi kalau korupsi sudah menjajah pikiran kita, maka yang ada dalam tindakan kita sehari-hari hanya menghalalkan segala cara, asal tujuan tercapai.

Budaya hedonisme, materialisme, dan sekularisme akan melingkupi kita semua sehingga apa yang dikatakan dan apa yang dikerjakan kenyataannya bisa senjang sekali. Penyakit kejiwaan dan patologi sosial makin lama makin terlihat gejala kecenderungan yang menaik.

Pernyataan pengamat ekonomi Kwik Kian Gie (2006) yang juga mantan menteri pada zaman pemerintahan Megawati  sungguh mengena. Waktu itu dia menyatakan korupsi beserta segala bentuk dan turunannya merupakan akar semua masalah bangsa. Menurutnya, sebelum korupsi berhasil diberantas atau dikurangi secara signifikan, kita tidak dapat memecahkan masalah apa pun dengan memuaskan.

Bahkan, M Umer Chapra (2001) menunjukkan kejatuhan berbagai pemerintahan dalam berbagai dinasti Islam  dikarenakan para pemimpinnya melakukan motif korupsi, dan segala aturan agama telah dilanggarnya.

Menariknya lagi, pidato pengukuhan Achmad Fedyani Saiffudin sebagai guru besar antropologi UI pada 24 Januari 2007 menunjukkan hal yang serupa, yakni kemiskinan dengan segala atribut dan implikasinya dalam jangka panjang sangat membahayakan kehidupan berbangsa. Kemiskinan hendaknya tidak hanya dilihat dari angka statistik tetapi sebagai cermin kekalahan dalam proses pembangunan.

Melihat budaya paternalisme yang masih kental di Indonesia, sehingga masyarakat miskin pun kalau ada kesempatan akan melakukan korupsi karena panutannya yang juga banyak melakukan perbuatan yang keliru dan tidak terpuji. 

Melihat begitu parahnya masalah korupsi di Indonesia, maka ingatan kita semua tertuju kepada pernyataan Bung Hatta bahwa korupsi di Indonesia sudah membudaya. Akankah nasib bangsa Indonesia akan diselimuti oleh berbagai kebohongan yang berujung kepada korupsi? Bisakah diatasi?

Fatalisme bukanlah sifat manusia Indonesia semestinya, karena bangsa Indonesia terkenal sebagai bangsa yang religius. Ajaran agama apa pun melarang sifat yang mudah patah semangat.

Revolusi etika dan moral sangat dibutuhkan bangsa Indonesia. Di samping pemimpin perlu memberikan teladan yang baik karena sebagai panutan masyarakat, maka   tokoh agama pun dapat berperan begitu penting di Indonesia.

Pendidikan sebagai bagian terpenting dalam membangun karakter kehidupan berbangsa harus mulai direkonstruksi kembali dengan memasukkan unsur-unsur etika dan moral semenjak pendidikan dini sampai lanjut.

Sopan santun dan budaya tolong menolong  sebagai ciri khas bangsa Indonesia harus digalakkan kembali mengingat hal tersebut sudah banyak meluntur, yang terlihat budaya mau menang sendiri dan malas-malasan dan begitu dominannya

Sebagai seorang yang menekuni bidang ekonomi, perlu dilakukan pembenahan terhadap pendidikan di bidang ekonomi yang dipenuhi ajaran Barat, khususnya yang disebut aliran neoklasik. Unsur etika dan moral begitu tidak diperhatikan dalam ajaran ini, yang dipentingkan efisiensi dapat tercapai.

Memang harus diakui efisiensi begitu penting dalam melakukan suatu aktivitas, akan tetapi kalau menghalalkan segala cara sudah pasti yang terjadi muncullah para binatang ekonomi. Siapa yang kuat akan menang dan siapa yang lemah akan terpinggirkan.

Yang justru menarik dalam memperingati Hari Antikorupsi Sedunia, program 100 hari dari pemerintahan Presiden SBY, program pilihan yang pertama adalah pemberantasan mafia hukum. Kasus konflik KPK dan Polri memang sudah mereda, akan tetapi bola panas dari kasus Bank Century bukan tidak mungkin menyerempet juga masalah mafia hukum dan korupsi. (10)

— Purbayu Budi Santosa , guru besar FE Undip yang menekuni masalah ekonomi kelembagaan
Wacana Suara Merdeka 30 Desember 2009