Selama 12 hari para pemimpin dunia menghabiskan waktu membahas masa depan emisi karbon dioksida di UN Climate Change Conference 2009, Kopenhagen, Denmark. Dunia kini telah mengonsumsi 160 miliar liter bahan bakar fosil cair (BFC).
BFC seperti solar dan bensin saat ini sangat diperlukan dalam bidang transportasi. Akan tetapi, BFC memiliki dua kekurangan penting.
Pertama, ekstraksi, produksi, dan konsumsi mereka akan selalu menghasilkan pelepasan positif emisi karbon dioksida dan kedua, mereka dibuat dari bahan baku (minyak mentah) yang tidak dapat diperbarui dan pada titik tertentu akan habis.
Di lain pihak, bioenergi mengambil sifat-sifat terbaik dari bahan bakar cair--kepadatan energi dan portabilitas--dan memiliki manfaat yang signifikan seperti dapat diperbarui dan memiliki potensi untuk pengurangan emisi karbon dioksida secara keseluruhan.
Daripada menggunakan minyak mentah sebagai bahan baku, bioenergi dibuat dari bahan baku yang didaur ulang dan kemudian digunakan, baik dalam campuran dengan bahan bakar fosil, atau sendirian sebagai pengganti langsung dari BFC.
Hambatan utama untuk produksi dan penggunaan bioenergi adalah ketersediaan bahan baku pada harga yang kompetitif, pada basis per energi, dengan minyak mentah.
Indonesia saat ini merupakan produsen minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) terbesar di dunia--bahan baku yang diperlukan untuk produksi biodisel. Karena itu, Indonesia memiliki potensi untuk tumbuh menjadi pemimpin biodisel dunia dan model bagi kelestarian perkebunan.
Potensi biodisel
Biodisel memiliki potensi untuk menjadi sektor industri yang signifikan di Indonesia karena memproduksi sekitar 20 juta ton CPO per tahun dari 7 juta hektare perkebunan kelapa sawit, dengan sekitar 80% diekspor.
Dalam hal pendapatan, ekspor CPO memberikan Indonesia dengan sumber pendapatan ekspor nonminyak tanah terbesar, dan itu diharapkan untuk berkembang di masa depan.
Selain dari segi pendapatan, perkebunan kelapa sawit saat ini juga memberikan mata pencaharian bagi lebih dari 3 juta keluarga Indonesia. Hal itu juga diharapkan untuk berkembang di masa depan.
Pada 2015, luas tanaman kelapa sawit Indonesia diperkirakan akan meningkat sampai 10 juta hektare, 3 juta hektare lahan di antaranya sudah disetujui.
Penelitian telah menunjukkan jumlah total lahan yang sesuai untuk pertumbuhan kelapa sawit, tetapi yang belum disetujui, mungkin mencapai 44 juta hektare.
Bila menggunakan perkiraan konservatif, wilayah perkebunan kelapa sawit ini akan menghasilkan 145 miliar liter biodisel per tahun, atau 10% dari permintaan diesel fosil saat ini.
Selain itu, juga bakal memberikan tambahan pendapatan kepada 19 juta keluarga Indonesia. Dengan sadar akan adanya dampak lingkungan dari pembangunan perkebunan kelapa sawit, tanaman baru yang tumbuh di lahan marginal sedang dikaji.
Hal itu mengurangi pembukaan lahan yang diperlukan dan seiring dengan 'utang karbon dioksida' yang dihasilkan dari perusakan hutan.
Salah satu contoh tanaman tersebut adalah jatropha, yang telah dipelajari secara ekstensif oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Indonesia.
Perkiraan dari Tim Nasional Indonesia untuk Pengembangan Biofuel menunjukkan sebanyak 15 juta hektare tanah di Indonesia yang cocok untuk perkebunan jatropha.
Dengan perkiraan hasil konservatif, tanah ini akan menghasilkan 40 miliar liter biodisel per tahun. Dari perspektif bahan baku, Indonesia jelas memiliki potensi untuk menjadi hub biodisel dunia.
Namun, ada dua elemen tambahan yang perlu ada, yakni pengolahan kapasitas biodisel yang cukup dan permintaan, baik secara domestik maupun internasional yang memadai.
Meningkatkan ekonomi
Seperti halnya investasi lain, kapasitas pengolahan biodisel hanya akan berkembang jika pengolahan tersebut menghasilkan bisnis yang menguntungkan.
Biaya bahan baku mewakili mayoritas biaya produksi biodisel dan merupakan tuas satu-satunya untuk secara signifikan memengaruhi profitabilitas produksi biodisel.
Mengamankan kontrak persediaan bahan baku adalah pilihan untuk menurunkan biaya bahan baku dengan harga tetap tunduk pada volatilitas pasar.
Boston Consulting Group telah menentukan pilihan solusi untuk meningkatkan keuntungan dan melindungi risiko terhadap fluktuasi harga bahan baku serta untuk mengejar model bisnis terpadu secara vertikal dengan produser biodisel juga memiliki perkebunan yang cukup luas untuk semua kebutuhan produksi biodisel.
Permintaan saat ini sebagian besar didorong oleh mandat pemerintah untuk mencampur bioenergi, yaitu sebesar 2,5%. Permintaan biodisel ini akan meningkat jika pemerintah mempercepat mandat pencampuran biodisel, atau jika harga minyak mentah meningkat relatif dengan harga CPO.
Cara ketiga untuk mempercepat permintaan biodisel domestik jangka pendek sampai jangka menengah sementara juga meningkatkan permintaan ekspor biodisel, sudah tersedia.
Baru-baru ini kemajuan dalam teknologi pengolahan biodisel telah memungkinkan untuk menggunakan CPO untuk memproduksi apa yang disebut green diesel, yang memiliki bahan bakar unggul jika dibandingkan dengan kedua biodisel dan disel fosil.
Teknologi itu menggunakan proses hidrogenasi mirip dengan yang ditemukan di kilang minyak modern, untuk meningkatkan minyak sayur green diesel.
Sifat-sifat superior bahan bakar green diesel dapat digunakan sebagai agen campuran untuk meningkatkan kualitas diesel fosil di kolam kilang tradisional, dan memungkinkan peningkatan margin kilang secara keseluruhan pada kasus tertentu.
Di dalam negeri, ini berarti bahwa green diesel dapat digunakan dalam jumlah besar di tempat diesel fosil sehingga mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor diesel fosil.
Ketatnya pelaksanaan spesifikasi bahan bakar Euro IV dan Euro V di Eropa juga meningkatkan kemungkinan untuk ekspor green diesel sebagai agen pencampuran.
Berkelanjutan
Meskipun Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pemain dunia utama biodisel, itu tidak mungkin terjadi kecuali praktik perkebunan berkelanjutan diikuti.
Lokasi perkebunan kelapa sawit dibentuk dan cara lahan perkebunan kelapa sawit baru akan dibersihkan memiliki dampak yang besar terhadap siklus-kehidupan emisi karbon dioksida.
Jika lahan hutan gambut dibangun untuk perkebunan kelapa sawit, diperlukan waktu ratusan tahun sebelum 'utang karbon dioksida' bersih dikembalikan.
Di luar implikasi etis, implikasi keuangan yang signifikan sebagai pasar untuk karbon dioksida juga bakal lebih mapan. Indonesia sekarang dianggap sebagai emitor karbon dioksida terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan China, sebagian besar akibat kerusakan hutan.
Selanjutnya, keberlanjutan pengelolaan perkebunan kelapa sawit memiliki efek pada ketersediaan pasar ekspor Eropa. Jika pedoman keberlanjutan tidak diikuti, baik CPO maupun biodisel yang dihasilkan tidak akan diizinkan masuk ke Eropa.
Ada juga insentif bagi Indonesia untuk mengejar, secara paralel, pengembangan tanaman, seperti jatropha, yang dapat didirikan pada lahan marginal tanpa merusak hutan.
Kombinasi dari sumber daya alam, SDM yang profesional, dan kemajuan teknologi biodisel baru-baru ini, membentuk dasar yang kuat untuk mengembangkan Indonesia sebagai pemain dunia utama biodisel.
Ekspansi perkebunan kelapa sawit yang bertanggung jawab akan menghasilkan sejumlah besar pekerjaan baru bagi masyarakat Indonesia, sementara volume produksi green diesel akan mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor diesel fosil yang membutuhkan hampir US$1,5 miliar untuk setengah tahun pertama 2009 saja.
Produksi green diesel juga akan membuka pasar ekspor besar di Eropa, dengan syarat praktik perkebunan berkelanjutan diikuti. Jika itu dilakukan, Indonesia akan memiliki masa depan biodisel yang cerah.
Oleh Dr Bernd Waltermann Senior Partner dan Managing Director Boston Consulting Group (BCG) dan Dr Henning Streubel Partner dan Managing Director BCG
Opini Media Indonesia 29 Desember 2009
29 Desember 2009
» Home »
Media Indonesia » Biodisel di Indonesia Prospektif
Biodisel di Indonesia Prospektif
Thank You!