15 Desember 2009

» Home » Media Indonesia » Centurygate dan Modernisasi Pola Korupsi

Centurygate dan Modernisasi Pola Korupsi

Studi Musthaq H Khan (1998) di India, Korea Selatan, Malaysia, dan Thailand memperlihatkan pada kita bahwa korupsi politik merupakan hasil konspirasi sistemik antara politisi, kapitalis, dan birokrasi. Ketiga pelaku ini bekerja untuk uang dan jabatan. Birokrasi menyediakan fasilitas operasional dari kebijakan yang dibuat oleh politisi yang ada di berbagai struktur politik untuk memperoleh keuntungan ekonomis yang mengalir ke tangan kapitalis di luar sistem. Uang mengalir lagi dari tangan kapitalis kepada patron mereka di birokrasi dan lembaga politik untuk proses perolehan jabatan dan kekuasaan politik. Konspirasi ini merupakan bentuk praktik korupsi yang kuat tapi tidak tampak.


Persoalan aliran dana Rp6,7 triliun ke Bank Century yang menjadi berita utama media massa belakangan merupakan bentuk konkret dari korupsi politik modern. Lebih tepatnya, sebuah kejahatan ekonomi politik. Kenapa? Kejahatan Century terjadi dengan mengatasnamakan kebijakan ekonomi (baca: penyehatan perbankan) yang sebetulnya untuk kepentingan politik. Kalau nanti terbukti bahwa ada bagian yang mengalir ke dana kampanye calon atau partai tertentu, maka ia bisa menjadi kejahatan elektoral.

Dari aspek studi korupsi, yang kita lihat dalam kasus ini adalah bagaimana korupsi mengalami perubahan modus operandi (pola kerja) dan modus vivendi (cara hidup). Dalam sistem korupsi klasik, orang menilap uang dari laci dengan tangan. Modus ini mudah dilacak, tapi sulit dipertanggungjawabkan oleh pelaku.

Dalam korupsi modern, demikian kita menyebut jenis kejahatan Centurygate ini, modusnya berubah. Tidak lagi memakai tangan kosong, tetapi memakai kebijakan politik. Pelakunya juga tidak individual, tetapi kolektif. Kolektif bukan dalam pengertian gerombolan orang pada satu institusi, melainkan orang-orang dari berbagai institusi, lintas lembaga.

Itu sebabnya kasus Century ini amat rumit diselesaikan. Banyak peluang kasus ini dikaburkan atau minimal diselesaikan dengan meminimalisasi korban. Amat sulit semua pelaku bisa diborgol dalam kasus macam ini. Mengapa?

Setiap upaya pengusutan akan dihadang oleh upaya penyelamatan yang dilakukan oleh (rekan-rekan) pelaku yang ada di berbagai lembaga politik dan hukum. Keadaan bisa lebih rumit lagi, sehingga bisa dibilang ‘mustahil terselesaikan’, apabila melibatkan individu yang memegang kekuasaan terbesar dalam piramida politik. Tesis ini sebuah pengandaian, bukan tuduhan. Kalaupun kenyataannya demikian, tetap saja ada rantai yang akan hilang atau dihilangkan.

Terlepas dari semua kontingensi itu, kita perlu kembali pada tesis awal bahwa kasus Century ini sebuah bentuk modernisasi pola korupsi. Menyelesaikan kejahatan macam ini tidak bisa berharap hanya pada komisi antikorupsi. Idealnya, komisi antikorupsi bekerja tanpa hambatan dan murni independen. Tapi dalam kenyataan, komisi ini pun tidak bisa dengan mudah melawan kepentingan politik dari elite yang ada di berbagai institusi politik. Bukan karena KPK bisa diajak ‘berkompromi’, melainkan karena tugas investigasi tidak hanya ada pada komisi, tapi juga pada DPR melalui pansus hak angket yang dipimpin Idrus Marham. Mungkinkah KPK akan bisa sejalan dengan pansus DPR? Inilah pertanyaan terberat yang tidak bisa dijamin jawaban benarnya oleh siapa pun, termasuk oleh pansus dan KPK sendiri.

Lantas bagaimana kasus ini diselesaikan secara objektif? Mungkin pemberantasan hanya bisa dilakukan apabila elite politik yang ada di eksekutif dan legislatif kooperatif dengan lembaga antikorupsi. Kooperatif dalam pengertian, memberikan dukungan semaksimal mungkin bagi upaya pengusutan. Apakah itu mungkin?

Pertama, hal itu mungkin kalau pemegang kekuasaan terbesar benar-benar bersih dari kejahatan ini dan benar-benar mau memakai kewenangan politik untuk memberantas korupsi secara substansial, bukan seremonial. Itulah yang kita harapkan dari presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara. Komitmen presiden tidak bisa sebatas wacana atau pidato. Komitmen itu harus dibuktikan dengan memimpin langsung upaya pengusutan aliran dana Century melalui koordinasi yang transparan dengan kepolisian dan kejaksaan. Tak tertutup kemungkinan juga presiden berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi apabila itu diperlukan dan dirasa perlu oleh pihak KPK, meskipun UU tidak mengatur hal itu karena KPK tidak bertanggung jawab kepada presiden.

Kedua, KPK diberi peran maksimal dalam penyelesaian kasus ini. Kita menghargai kepolisian dan kejaksaan. Tetapi dengan segala hormat pada dua institusi negara ini, rekam jejak keduanya kurang bagus sehingga sulit mendapatkan kepercayaan optimal dari publik.

Ketiga, Pansus Hak Angket Century harus bekerja secara terbuka dan bebas dari tekanan partai politik. Dalam konteks ini, kita menyesalkan segala bentuk pertemuan tertutup antara pihak yang disebut-sebut terlibat dalam kasus ini dan pimpinan partai politik apa pun.

Yang kita cegah adalah upaya politisasi terhadap kasus hukum. Centurygate ini masalah hukum, murni sebuah kejahatan ekonomi-politik. Maka, prosedur hukum harus mendahului proses politik. Dalam konteks ini, kemarahan Sri Mulyani Indrawati terhadap Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie tidak boleh dikait-kaitkan dengan pembongkaran kejahatan Century. Kasus ini tidak boleh digeser ke ranah personal. Ini bukan masalah mau menjatuhkan Menteri Keuangan, Wakil Presiden, ataupun Presiden. Ini masalah bagaimana mengusut penjahat ekonomi-politik. Kalaupun setelah kasus terbongkar ada pejabat kehilangan posisi, itu adalah konsekuensi dari penegakan hukum dalam negara demokrasi.

Kalaupun benar ada partai politik berkepentingan menjatuhkan pejabat tertentu, itu sesuatu yang wajar dalam politik, tetapi tidak bisa dijadikan alasan untuk mengaburkan substansi dari kasus besar macam ini. Siapa pun yang diduga terlibat harus diperiksa dan jangan dibiarkan mengaburkan proses hukum dengan upaya politisasi apalagi dengan memakai jurus 'politik melankolis'. Seolah-olah pengusutan kejahatan ini karena ada pihak yang mau mengorbankan orang lain. Dalam kasus ini memang harus ada korban, yakni mereka yang adalah pelakunya. Bukan semata soal urusan jabatan, melainkan soal penegakan hukum dan masa depan peradaban demokrasi kita. ***

Boni Hargens, Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia
Opini Media Indonesia 16 Desember 2009