15 Desember 2009

» Home » Media Indonesia » Tepatkah Menyalahkan Karbon?

Tepatkah Menyalahkan Karbon?

Meskipun sempat diterpa isu skandal climate-gate, konferensi perubahan iklim di Kopenhagen tetap berlangsung. Sebagaimana diketahui, skandal penting tersebut telah menghasilkan beberapa hal, seperti penyelidikan tokoh-tokoh skandal mulai dari kampus di AS dan Inggris (Pennsylvania State University dan University of East Anglia) yang membuat seorang tokoh kunci masalah keikliman Inggris lengser dari jabatannya hingga hearing (dengar pendapat) di Senat AS, 3 Desember 2009 yang menghadirkan seorang penasihat sains Presiden AS Barack Obama. Perhelatan dunia tentang perubahan iklim tersebut rupanya jauh lebih penting daripada sang skandal karena para delegasi dari berbagai negara membahas dua isu penting,
yakni (i) pengurangan emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya dan (ii) pemberian dana kompensasi bagi negara-negara miskin untuk menghadapi dampak perubahan iklim. Pertemuan ini akan lebih meriah karena pemenang Hadiah Nobel Perdamaian 2009 dan sekaligus Presiden Obama direncanakan hadir di akhir acara. Artikel berikut ini terfokus pada isu emisi karbon atau lebih spesifik lagi mempertanyakan apakah karbon (CO2) pantas menjadi kambing hitam pemanasan global yang kita alami.

Karbon dan suhu
Salah satu sumber yang dapat diakses untuk melihat kecenderungan (tren) suhu global (hasil studi Brohan dkk, 2006) dan konsentrasi karbon dioksida (studi Keeling dan Whorf, 2005) pada kurun waktu 1850-2005 adalah situs http://www.pewclimate.org/global-warming-basics/facts_and_figures/. Memang tampak bahwa ada kecenderungan peningkatan pada kedua besaran tersebut, yakni suhu global di permukaan bumi dan kandungan gas rumah kaca di atmosfer. Dari hasil-hasil penelitian (mulai observasi suhu dan gas rumah kaca penetrasi kalor ke dalam laut, penyusutan luas daerah tutupan es di kutub utara, kenaikan muka laut, hingga peningkatan frekuensi badai) yang lengkap disajikan pada situs tersebut, kita tergoda untuk menyimpulkan bahwa pemanasan global adalah suatu fenomena sebab-akibat. Melalui informasi tersebut, kita bisa saja berspekulasi bahwa (i) suhu naik karena pertambahan karbon dioksida atau (ii) karbon dioksida bertambah karena suhu meningkat. Spekulasi pertama yang lebih populer sudah memiliki dasar teori yang menjelaskan efek pemanasan global alami (natural global warming) akibat adanya gas rumah kaca yang bisa ditemukan pada Museum Sains Marion Koshland - The National Academy of Sciences. Spekulasi kedua adalah sesuatu hal yang tak lazim dan belum populer dan itulah sebabnya ia akan dijelaskan pada paragraf mendatang. Apakah kecenderungan kenaikan suhu (pemanasan global) yang kita alami pada kurun waktu belakangan ini merupakan hal yang unik dialami oleh bumi kita?


Ada dua jawaban atas pertanyaan tersebut yang diberikan oleh para ahli penekun bidang paleoclimate (iklim masa lampau) yang mungkin bisa mengejutkan kita semua. Pertama, mereka mengatakan dalam kurun waktu ribuan tahun yang lalu, bumi kita pernah mengalami periode baik suhu tinggi maupun suhu rendah secara silih berganti. Periode-periode tinggi-rendahnya suhu tersebut dikenal sebagai Ice Age (10.000 tahun sebelum saat ini), Holocene Warm Period (8.000 tahun sebelum saat ini), Roman Warm Period (tahun 200 SM-600 M), Medieval Warm Period (tahun 950 M– 1300 M) dan Little Ice Age (1350 M-1800 M). Anomali (kelainan) suhu yang dialami pada beberapa periode warming dan cooling (mulai dari Holocene hingga Little Ice Age) ini masih tergolong mikro, yakni (± 0.5 oC) kata ahli geologi Fookes dan Lee (2007). Besarnya anomali suhu pada periode ini ternyata belum seberapa jika kita melihat skala geologis jutaan tahun yang lalu saat anomali bisa mencapai skala meso (± 1.5 oC) hingga makro (± 10 oC).
Jawaban kedua ternyata tak kurang mengejutkannya ketika peneliti Petit dkk (1999) mengumumkan temuan rekonstruksi mereka tentang konsentrasi gas rumah kaca (CO2 dan metana) dan suhu atmosfer yang mencakup periode hingga 420.000 tahun yang lalu. Rekonstruksi iklim ini diperoleh dari hasil kajian cuplikan es (ice core) di Vostok Antartika. Mereka tidak saja menemukan peristiwa naik-turunnya suhu dan gas rumah kaca ternyata berkorelasi seperti telah diinformasikan dalam situs PewClimate.org tersebut. Namun, ada hal mengejutkan yang ditemukan melalui studi lanjutan observasi es tersebut oleh beberapa kelompok peneliti seperti Fischer dkk, (1999), Severinghouse & Brooke (1999), Indermuhle dkk (2000), Mudelsee dkk (2001), dan Caillon dkk (2003). Mereka menemukan perubahan suhu itu ternyata terjadi sekitar 600-800 tahun sebelum terjadinya perubahan karbon dioksida. Fenomena serupa ini mendukung temuan terdahulu dengan perubahan suhu ternyata terjadi lebih awal lima bulan sebelum terjadinya perubahan karbon dioksida (Kuo dkk, 1990). Temuan itu menjadi kontroversial dan bertentangan dengan teori pemanasan global yang telanjur populer itu-–pemanasan bumi disebabkan oleh peningkatan gas rumah kaca. Lantas adakah faktor selain gas rumah kaca yang bisa menjelaskan fluktuasi suhu bumi kita?

Suhu dan matahari
Kunci jawaban atas pertanyaan di atas disodorkan oleh para ahli cosmoclimatology (kajian yang berkaitan dengan radiasi sinar kosmis dan peran matahari pada iklim). Istilah kajian tersebut ditemukan pada artikel Z Jawocowski (2007) berjudul 'CO2: the Greatest Scientific Scandal of Our Time'. Perubahan suhu pada bumi kita ini menurut mereka ditengarai akibat adanya variasi aktivitas matahari. Paper pertama yang mendemonstrasikan hasil observasi suhu permukaan bumi dan aktivitas matahari dipublikasikan oleh Friis-Christensen dan Lassen (1991). Variasi aktivitas matahari akan membawa perubahan fluks radiasi sinar kosmis yang tiba di bumi. Radiasi kosmis inilah yang menimbulkan ionisasi molekul udara di troposfer yang penting untuk pembentukan awan. Banyak-sedikitnya awan yang terbentuk akan memengaruhi suhu bumi karena dalam hal ini awan berperan sebagai payung yang melindungi bumi dari sinar matahari. Mekanisme ini berhasil ditunjukkan melalui eksperimen Svensmark (2007). Teori ini jugalah yang dipakai oleh beberapa kelompok peneliti seperti Bashkirtsev dan Mashnich (2003) dan Xu dkk. (2005, 2006) untuk menjelaskan beberapa episode pemanasan dan pendinginan yang telah berulang kali dialami oleh bumi kita. Jika teori terakhir inilah yang kemudian diterima oleh masyarakat, implikasinya tentu amatlah besar. Tak ada lagi benang merah yang menghubungkan antara karbon dan kenaikan suhu beserta implikasinya yang menyeramkan. Konferensi perubahan iklim ini pun tentu bisa dipandang sebagai sesuatu hal yang membuang-buang 2W (waktu dan wang). Episode 'manusia-karbon' ini tampaknya mirip seperti kisah seorang yang menyalahkan turunnya hujan dan bersinarnya bintang ketika ia ditinggalkan oleh kekasihnya dalam lagu hit Milli Vanilli (1989) berjudul Blame it on the Rain.

Oleh Dr Halmar Halide, Dosen kuliah perubahan iklim Jurusan Fisika Universitas Hasanuddin, Makassar
Opini Media Indonesia 16 Desember 2009