Oleh Surono
Suatu kenyataan bahwa wilayah Provinsi Jawa Barat, merupakan hamparan yang elok, dengan bagian tengah ke utara, berupa dataran relatif datar, tempat di mana kelak-kelok sungai, bagai guratan lukisan alam yang bermuara di Laut Jawa, sedangkan bagian tengah ke selatan, merupakan hamparan perbukitan dengan kemiringan lereng sedang hingga terjal. Dari bagian tengah hingga selatan berdiri dengan gagahnya tujuh gunung api aktif (Galunggung, Guntur, Papandayan, Ciremai, Tangkubanparahu, Gede, dan Salak).
Dengan begitu, Jawa Barat merupakan daerah yang subur. Beberapa sungai besar dan gunung api aktif, dapat memberikan pasokan energi yang besar, yaitu pembangkit listrik tenaga air dan pembangkit listrik tenaga panas bumi. Di bawah permukaan bumi Jawa Barat terdapat kandungan minyak dan gas bumi, sebagai pasokan energi dan devisa, juga kandungan mineral logam dan nonlogam yang pemanfaatannya dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Tidaklah berlebihan, Jawa Barat sangat kaya dengan sumber daya alam.
Di sisi lain, Jawa Barat juga terdapat potensi dinamika kebumian yang berpotensi mengakibatkan bencana kebumian (bencana geologis). Hal ini disebabkan antara lain: sebelah selatan pantai Jawa Barat terdapat zona penunjaman dimana lempeng Indo-Australia menyusup di bawah lempeng Eurasia. Aktivitas penunjaman ini dapat memicu gempa bumi, dengan atau tanpa diikuti tsunami. Aktivitas penunjaman lempeng juga dapat memproduksi magma sebagai amunisi aktivitas gunung api di Jabar.
Pemerintah dan DPR, telah menunjukkan kepedulian dan langkah nyata dalam penanggulangan bencana, antara lain dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dengan UU tersebut, paradigma penanggulangan bencana di Indonesia berubah, dari semula bersifat reaktif menjadi penanggulangan bencana bersifat preventif, difokuskan sebelum terjadi bencana.
Penanggulangan bencana geologis di Jawa Barat berdasarkan frekuensi kejadian dan ancaman bencana urutan prioritasnya adalah sebagai berikut.
Gerakan tanah
Berdasarkan data, gerakan tanah dengan atau tanpa diikuti banjir bandang, terjadi setiap tahun di musim penghujan dan selalu mengakibatkan bencana. Untuk itu harus menjadi prioritas utama dalam penanggulangan bencana geologis tanpa harus mengabaikan ancaman bencana geologis lainnya.
Hingga pertengahan November 2009, tercatat 70 kejadian, atau sekitar 53 persen, berada pada urutan pertama, dari kejadian gerakan tanah secara nasional. Korban jiwa tercatat 92 orang meninggal atau 10 persen, berada pada urutan ke-3, dari total korban jiwa akibat gerakan tanah secara nasional. Korban jiwa terbanyak diakibatkan jenis longsoran yang diikuti aliran bahan rombakan (banjir bandang), melanda masyarakat yang bermukim dan beraktivitas di alur lembah.
Upaya mitigasi bencana gerakan tanah di Jawa Barat telah dilakukan secara intensif sejak 2001, berkat kerja sama antara Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Badan Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral dengan Dinas Pertambangan Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Barat. Kerja sama juga terjalin baik dengan dinas-dinas di kabupaten/kota di Jawa Barat yang rawan terjadi bencana gerakan tanah. Bahkan beberapa kabupaten rawan longsor melakukan pemetaan zona kerentanan gerakan tanah dengan skala rinci. Bersama dengan Dinas Pertambangan dan Energi dan Sumber Daya Mineral, bahu-membahu melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan aparat pemerintah daerah seluruh kabupaten dan kota seluruh Jawa Barat. Peta zona kerentanan gerakan tanah di seluruh kabupaten/kota yang rawan bencana gerakan tanah telah dimiliki Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Jawa Barat, telah dibagikan ke kabupaten/kota yang wilayahnya rawan longsor, saat sosialisasi.
Badan Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, setiap awal bulan di musim penghujan mengirimkan kepada Gubernur Jawa Barat peringatan dini potensi terjadi gerakan tanah di Jabar. Peringatan dini potensi terjadi gerakan tanah ini dihasilkan dari tumpang tindih peta zona kerentanan gerakan tanah dari Badan Geologi dengan prakiraan curah hujan bulanan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika.
Gempa bumi
Frekuensi kejadian gempa bumi dengan atau tanpa tsunami di Jawa Barat, relatif jarang, namun ancaman bencananya sangat besar. Gempa bumi dengan energi besar (lebih besar dari pada 7 skala Richter), dengan sumber di bawah dasar laut, dengan hiposenter dangkal (kurang dari 30 km) dapat membangkitkan tsunami seperti pada 17 Juli 2006 di Pantai Pangandaran. Namun, walaupun gempa bumi terjadi dengan energi atau magnituda besar (lebih besar dari 7 pada skala Richter), sumber di bawah dasar laut, namun hiposenternya dalam (lebih besar atau sama dengan 30 km di bawah permukaan laut) kecil kemungkinan dapat memicu tsunami. Contohnya gempa bumi di sebelah selatan pantai selatan Jawa Barat, 2 September 2009, dengan magnituda 7,3 pada skala Richter, kedalaman sekitar 30 km, dapat dirasakan meluas namun tidak memicu tsunami.
Dengan adanya sesar aktif di darat, gempa bumi dengan sumber di darat di Jawa Barat sangat mungkin terjadi. Hampir di semua daerah rawan bencana gempa bumi di Indonesia, khususnya di Jawa Barat, banyak dijumpai permukiman dan aktivitas penduduk. Jika terjadi gempa bumi dengan sumber di darat, walaupun energinya kecil (sebut saja antara 5-6 pada skala Richer) dengan sumber dangkal, berpotensi mengakibatkan bencana, karena sumber gempa bumi tersebut dekat dengan permukiman dan aktivitas penduduk.
Periode kejadian gempa bumi dan hasil penelitan para ahli gempa bumi, digunakan dalam strategi mitigasi dan meningkatkan kewaspadaan, namun jangan menjadi isu yang dapat menyebabkan ketakutan. Yang perlu dilakukan bagi masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah yang pernah terjadi gempa bumi adalah tetap waspada tetapi jangan panik.
Letusan gunung api
Kebijakan Badan Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral sangat jelas, bahwa PVMBG diberi tugas melakukan pemantauan ke tujuh gunung api di Jawa Barat dari tiap pos pengamatan gunung api, guna menunjang sistem peringatan dini aktivitas gunung api. Pemantauan gunung api pada dasarnya adalah memantau stabilitas energi di dalam tubuh gunung api. Semua gunung api aktif berpotensi mengeluarkan gas yang berbahaya bagi kehidupan, antara lain CO dan CO2. Kedua gas tersebut, berat jenisnya lebih besar dari berat udara, maka pada saat matahari tidak menyinari sumber keluarnya gas, gas tersebut dapat mengambang setinggi manusia dewasa. Oleh karena itu, sangat berbahaya mendekati kawah gunung api aktif (walaupun dalam tingkatan normal/level 1) pada saat matahari tidak menyinari kawah gunung api aktif (malam, pagi hari, dan mendung).
Letusan gunung api merupakan fenomena alam biasa, tidak dapat diramalkan kapan dan berapa energi letusan, dan tidak dapat dibangkitkan atau dihentikan dengan rekayasa ilmu dan teknologi yang dikuasai. Peringatan dini diberlakukan berdasarkan tingkat aktivitas dan ancaman letusan gunung api, bukan memberikan peringatan/ramalan akan terjadi letusan. Tingkatan/level peringatan dini aktivitas gunung api dibagi empat: normal (level 1), waspada (level 2), siaga (level 4), dan awas (level 5). Peta kawasan rawan bencana (KRB) gunung api di Jawa Barat juga telah tersaji dan sudah dimiliki dinas yang menangani bencana geologi di provinsi dan di kabupaten di Jawa Barat. Peta KRB gunung api dibagi tiga kawasan: KRB 3, KRB 2, dan KRB1. Semakin tinggi angka KRB, semakin tinggi pula ancaman bencana letusan gunung api.
Dalam mitigasi bencana letusan gunung api, PVMBG bekerja sama dengan pemerintah daerah dan masyarakat, melakukan rencana kontigensi, melakukan sosialisasi dan pelatihan mengenali ancaman dan antisipasi letusan gunung api. Kegiatan yang dilakukan PVMBG pada awal Desember 2009 adalah melakukan wajib latih antisipasi ancaman letusan gunung api bagi masyarakat dan aparat pemerintah daerah di Kabupaten Garut.
Penutup
Penanggulangan bencana geologis tidak selalu harus memindah (penolakan masyarakat, biaya, dan ketersediaan daerah relokasi) permukiman dan aktivitas masyarakat dari daerah rawan bencana ke daerah yang aman terhadap ancaman bencana geologis. Pendidikan sadar bencana dan tata cara antisipasi ancaman bencana, dalam upaya menekan risiko bencana, dengan senantiasa memperhatikan/mempergunakan kearifan lokal, sehingga terbentuk masyarakat yang mempunyai tingkat ketahanan tinggi terhadap ancaman bencana serta menciptakan masyarakat yang dapat hidup berdampingan secara harmonis dengan ancaman bencana geologis.
Bencana bukan hanya tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah yang jumlah terbatas, namun tanggung jawab bersama. Di Jawa Barat banyak lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan relawan yang sangat berpengalaman dalam penanggulangan bencana. Peran serta LSM sebelum terjadi bencana, sangat membantu dalam penanggulangan bencana sesuai amanat UU 24/2007. Peran LSM dapat berupa pendidikan kebencanaan, latihan antisipasi terhadap ancaman bencana, pendampingan kepada masyarakat dalam upaya pengurangan risiko bencana dan lainnya.***
Penulis, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG).
Opini Pikiran Rakyat 16 Desember 2009