11 November 2009

» Home » Media Indonesia » Urgensi Reformasi Polisi

Urgensi Reformasi Polisi

DIPERDENGARKANNYA rekaman terkait dengan kasus Bibit Samad Rianto-Chandra M Hamzah (pimpinan KPK) di Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu semakin membuktikan dugaan masyarakat bahwa sistem hukum di Indonesia sangat 'amburadul', mulai mafia peradilan, suap, pemerasan, hingga rekayasa perkara. Sebagaimana dirasakan Bibit dan Chandra. Kejadian itu merupakan puncak es yang sebenarnya lebih banyak dirasakan oleh rakyat jelata. Karena itu, reformasi polisi menjadi sangat penting dan mendesak dilakukan oleh SBY dalam seratus hari ke depan. Political will SBY harus segera ditunjukkan dengan memberhentikan dan mengganti jajaran pimpinan kepolisian dan kejaksaan.

Memang, salah satu unsur penyelenggara pemerintahan yang belum sesuai dengan kaidah demokrasi adalah kepolisian. Fungsi kepolisian pada hakikatnya adalah untuk menjamin tegaknya nilai-nilai demokrasi, yakni rule of law. Itu karena fungsi kepolisian merupakan salah satu urusan pemerintahan dalam menegakkan hukum dan menciptakan ketenteraman serta ketertiban (law and order). Karena sifat tugasnya, polisi harus dekat dengan masyarakat, sebagaimana semboyan polisi 'mengayomi dan melindungi masyarakat'. Polisi harus responsif terhadap laporan dan keluhan masyarakat.

Struktur yang mengganggu peran dan fungsi polisi selama ini antara lain sentralisasi polisi dan penyalahgunaan kekuatan polisi (abusing the police power) untuk kepentingan politik. Struktur ini telah mengakibatkan rendahnya kapasitas polisi dalam merespons masalah-masalah yang ada pada masyarakat dan keterbatasan kewenangan polisi yang berada di daerah. Contoh kasus Kapolda Jawa Timur dalam menangani tindak pidana pilkada Gubernur Jawa Timur, beberapa waktu lalu, merupakan contoh kentalnya sentralisasi polisi. Sementara itu, kasus Bibit-Chandra merupakan bentuk abusing the power.

Sentralisasi polisi juga telah mengakibatkan membengkaknya organisasi polisi. Akibatnya kepangkatan dalam polisi pun harus berjenjang dari pos polisi sampai dengan markas besar polisi di Jakarta. Keadaan itu sungguh tidak efisien. Panjangnya hierarki mengakibatkan dibutuhkannya pangkat jenderal polisi. Di beberapa negara di dunia tidak dikenal pangkat jenderal polisi. Pangkat tertinggi polisi di negara lain hanyalah komisaris polisi. Dengan desentralisasi polisi, pangkat jenderal polisi tidak diperlukan lagi.

Sentralisasi polisi dari sisi lainnya juga akan sangat membahayakan kehidupan bangsa, struktur yang sentralistis dan berada pada langsung di bawah presiden akan sangat rentan atas penyalahgunaan kewenangan polisi (abusing the power) untuk kepentingan pribadi presiden. Adanya Komisi Kepolisian Nasional yang tercantum dalam Pasal 37 UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak akan bisa mencegah penyalahgunaan itu karena komisi itu hanya memberikan masukan perihal anggaran, sumber daya manusia, sarana, prasarana, dan perilaku polisi yang dilaporkan oleh masyarakat. Komisi Kepolisian Nasional itu tidak berwenang untuk memberikan masukan atas penyalahgunaan kekuatan polisi oleh pihak lain.

Selain itu, terdapat tugas-tugas administratif yang menyangkut kepentingan penduduk yang seharusnya tidak lagi ditangani kepolisian, seperti penerbitan buku pemilik kendaraan bermotor (BPKB), surat tanda nomor kendaraan bermotor (STNK), dan surat izin mengemudi (SIM). Pekerjaan tersebut merupakan urusan administrasi yang seharusnya dikerjakan instansi lain, bukan polisi. Di negara lain urusan kendaraan bermotor ditangani oleh Departemen Transportasi, atau di Indonesia semacam Departemen Perhubungan atau Dinas Perhubungan yang berada pada pemerintah daerah. Tugas polisi adalah menangkap pengemudi yang mengemudikan kendaraan bermotor yang tidak membawa STNK dan SIM karena tindakan itu melanggar hukum.

Tidak dimungkiri bahwa upaya reformasi tentang polisi memang ada yang sudah pada jalur yang benar, misalnya, pemisahan Polri dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) sehingga paradigma yang berlaku pada polisi bukan lagi militer. Itu karena doktrin militer kill or to be killed tidak tepat diterapkan pada polisi. Hal ini disebabkan karena tugas polisi bersifat 'mengayomi masyarakat', bukan menyerang atau mempertahankan negara dari serangan musuh dari luar. Hasil didikan Akabri pada zaman Orde Baru telah menciptakan perwira polisi yang sangat menghayati doktrin militer tersebut sehingga polisi dengan mudah membunuh tersangka dengan berbagai alasan. Polisi selaku pengawal demokrasi harus sangat menjunjung hak asasi manusia. Senjata yang dipegang polisi hanyalah sebagai alat untuk mempertahankan diri dan melumpuhkan, bukan untuk membunuh.

Berbagai masalah yang belakangan ini menimpa polisi menyadarkan kita bahwa reformasi atau memformat ulang peran, fungsi, dan kedudukan polisi merupakan upaya yang harus segera dilakukan. Pilihan yang terbaik untuk organisasi polisi adalah desentralisasi polisi. Dengan demikian, pada setiap tingkatan pemerintahan, nasional, provinsi, dan kabupaten atau kota, terdapat polisi yang berfungsi sesuai dengan lingkup cakupan kewenangannya. Di pusat ada polisi nasional yang bertugas untuk menciptakan ketenteraman dan ketertiban nasional, serta menegakkan hukum yang memiliki yurisprudensi nasional. Di Amerika Serikat polisi semacam ini dinamai FBI (Federal Bureau for Investigation). Tugas polisi nasional ini adalah menangani pelanggaran hukum yang akan mengganggu keamanan dan ketertiban secara nasional.

Sementara itu, di tingkat provinsi dapat dibentuk polisi provinsi yang bertugas untuk menjaga ketertiban dan keamanan serta penegakan hukum lintas kota dan kabupaten. Untuk mempermudah mobilisasi, satuan Brigade Mobil (Brimob) bisa ditempatkan di markas polisi provinsi ini, semacam State Trooper di Amerika Serikat. Adapun polisi yang berada di kabupaten atau kota adalah polisi lokal, yang bertanggung jawab penuh kepada kepala daerah masing-masing, dan bertugas untuk menciptakan ketenteraman dan ketertiban serta penegakan hukum di tingkat lokal

Selain desentralisasi polisi, upaya reformasi polisi juga harus dibarengi dengan upaya reward and punishment. Artinya kesejahteraan, terutama sistem penggajian polisi, perlu diperbaiki agar mereka terbebas dari persoalan kekurangan pendapatan. Kemudian dibarengi pula dengan penegakan disiplin yang ketat, bagi polisi yang bersalah harus segera diproses dan dihukum sesuai dengan tingkat kesalahannya.

Dengan desentralisasi polisi dan upaya penerapan reward and punishment, diharapkan akan dihasilkan polisi yang berfungsi untuk mengawal demokrasi, sekaligus menciptakan suasana yang aman dan tertib, dan terhindar dari penyalahgunaan police power oleh mereka yang tidak bertanggung jawab. Dengan desentralisasi polisi, hierarki yang militeristis akan dapat dihilangkan. Untuk itu, kita harus segara merevisi peraturan perundangan yang terkait dengan kepolisian. Dengan reformasi polisi, peran, fungsi, dan kedudukan polisi akan sesuai dengan kaidah demokrasi yang sedang kita bangun dan citra polisi sebagai penegak hukum dan pengayom masyarakat dapat segera pulih kembali.


Oleh Irna Irmalina Daud, Kandidat doktor ilmu politik FISIP Universitas Indonesia
Opini Media Indonesia 11 November 2009