Gerakan massa untuk mendukung penyelamatan pemberantasan korupsi akhir-akhir ini merupakan fenomena sosial yang menarik untuk dicermati. Gerakan tersebut bisa dibilang menjadi bentuk gerakan paling ”spektakuler” setelah gerakan massa tahun 1998 yang menuntut reformasi total.
Selain melibatkan massa besar, gerakan sosial yang mencapai puncaknya saat penahanan Bibit dan Chandra ini berlangsung merata di seluruh Tanah Air. Bahkan, tak hanya semarak di ”dunia nyata”, di dunia maya pun tema tersebut ramai dibicarakan.
Menyimak gerakan massa di penghujung dekade 90-an, gerakan waktu itu dengan gemilang mampu menurunkan kekuasaan Presiden Soeharto yang telah lebih 30 tahun berkuasa. Bila dibandingkan, ada sejumlah kemiripan antara gerakan massa tahun 1998 dengan gerakan saat ini (2009) yang menuntut penyelamatan upaya pemberantasan korupsi melalui simbolisasi penentangan pelemahan KPK.
Kemiripan pertama, terdapatnya isu sentral yang diusung oleh para penggeraknya. Jika gerakan massa tahun 1998 mengusung tema reformasi total (termasuk suksesi kepemimpinan nasional) maka gerakan tahun 2009 membawa isu upaya pemberantasan korupsi sebagai arus besarnya.
Kemiripan kedua, adanya ketidakadilan yang dipertontonkan dan dirasakan oleh publik. Akumulasi rasa ketidak-adilan selama puluhan tahun pada masa Orde Baru merupakan bom waktu yang akhirnya meledak di tahun 1998. Kekecewaan publik waktu itu sudah memuncak melihat praktik-praktik ketidakadilan yang dirasakan menindas rakyat kecil. Perilaku KKN dari kalangan elit semakin menyesakkan masyarakat. Kekecewaan masyarakat tersebut menemukan momentum ketika situasi ekonomi nasional mengalami goncangan.
Sedangkan ketidak-adilan yang memicu gerakan massa sekarang ini diperlihatkan oleh upaya-upaya pelemahan KPK yang diidentikkan sebagai institusi pembela kebenaran. Bagaimanapun juga, hingga kini publik masih menaruh apresiasi tinggi terhadap KPK yang dipandang memiliki komitmen besar terhadap pemberantasan korupsi. Sehingga, pelemahan KPK dianggap mencederai rasa keadilan.
Kemiripan ketiga, gerakan massa timbul diawali ketika lembaga-lembaga negara yang sejatinya diharapkan mampu menjadi tumpuan publik, ternyata kurang responsif mensikapi keinginan publik. Upaya menggerakkan reformasi total pada tahun 1998 salah satunya dilatar-belakangi oleh ketidakberdayaan institusi negara, terutama parlemen, penegak hukum, dan lembaga tinggi negara lainnya.
Demikian pula situasi sekarang, publik melihat parlemen nyaris tidak berkutik menghadapi kenyataan kemunduran langkah pemberantasan korupsi. Sebagian kecil oknum penegak hukum juga dikonotasikan publik menjadi rival KPK.
Faktor Pengaruh Belajar dari gerakan 1998, keberhasilan suatu gerakan massa setidaknya dipengaruhi empat hal. Pertama, gerakan massa tergantung isu sentral yang diusung. Semakin menjadi kebutuhan publik sebuah isu, maka akan semakin menarik atau layak jual.
Semakin luas dan kuat keyakinan publik atas pentingnya suatu isu, maka publik akan cenderung memperjuangkannya dengan sungguh-sungguh. Isu pemberantasan KKN dan perjuangan keadilan merupakan contoh isu yang ”sexy” untuk digelorakan di tahun 1998. Di sinilah letak strategis adanya ”musuh bersama” dari sebuah gerakan. Tanpa ada ”musuh” yang dilawan bersama-sama akan sulit menciptakan gerakan yang bersifat masif.
Kedua, dipengaruhi oleh adanya kekuatan-kekuatan potensial yang bertindak sebagai motor dari gerakan tersebut. Dalam gerakan massa tahun 1998 dan gerakan massa menuntut penyelamatan pemberantasan korupsi sekarang, kekuatan dari perguruan tinggi (akademisi/ mahasiswa) dan media massa terbukti menjadi kekuatan potensial untuk mempelopori gerakan massa.
Kelompok itu kian diperkuat oleh keterlibatan kalangan profesional dan sejumlah tokoh nasional. Namun sedikit berbeda dengan gerakan saat ini, gerakan massa tahun 1998 memperlihatkan keterlibatan masyarakat sudah demikian mewabah, sehingga mereka yang turun ke jalan sudah sangat heterogen dan meluas.
Faktor ketiga, kemampuan kekuatan-kekuatan potensial untuk menjadikan gerakan massa sebagai suatu aksi yang konsisten dan merata di berbagai tempat. Semakin luas gerakan massa disuarakan secara terus-menerus, semakin efektif mencapai tujuannnya.
Hal unik yang membedakan gerakan sekarang dibanding gerakan tahun 1998 adalah pemanfaatan teknologi informasi (khususnya Facebook) untuk menggalang dukungan publik.
Keempat, pihak yang ditempatkan sebagai ”lawan” dalam posisi tidak solid. Logikanya, semakin rapuh kekuatan ”lawan”, semakin mudah untuk dikalahkan.
Di tahun 1998, pemerintahan Soeharto mengalami goncangan hebat akibat krisis moneter. Dengan pemerintahan yang tertatih-tatih, kekuasaan Soeharto digoyang oleh kekuatan rakyat yang berujung kepada menyingkirnya satu per-satu pilar penopang orde baru. Faktor eksternal dan internal yang ìmenggempurî benteng orde baru menyebabkan kekuasaan Soeharto tidak mampu bertahan.
Hikmah di Balik Gerakan Meneropong masa depan gerakan massa untuk mendukung pemberantasan korupsi sekarang ini, walaupun menggema di banyak tempat, namun kecil kemungkinan tuntutannya melebar ke arah penurunan presiden. Situasi sekarang berbeda dibanding 1998.
SBY masih memiliki popularitas dan kekuatan politik yang tinggi. Apalagi komitmen SBY terhadap pemberantasan korupsi di mata publik masih positif. Kalaupun berdampak terhadap kekuasaan, paling-paling terkait penurunan popularitas SBY, terutama jika presiden tidak mampu menyelesaikan kasus yang sudah terlanjur meledak di permukaan ini.
Fenomena gerakan massa yang timbul sekarang -meski jauh lebih kecil daripada gerakan massa tahun 1998 lampau- telah membuktikan bahwa kekuatan massa di negeri ini masih tetap eksis. Terutama ketika mereka menemui adanya ”masalah” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini.
Gerakan massa saat ini meneguhkan keyakinan bahwa masyarakat masih peduli terhadap upaya-upaya pemberantasan korupsi, serta menempatkannya sebagai ”musuh bersama”.
Para penyelenggara negara semestinya mengambil hikmah dari gerakan massa ini. Suara publik sudah selayaknya untuk diperhatikan. Apalagi suara tersebut telah menjadi arus besar.
Sebagaimana yang dikatakan Ketua MK Mahfud MD, dalam sejarah belum ada yang selamat menantang arus besar. Sebaliknya, mereka yang menantang justru tergilas oleh arus besar kekuatan rakyat. (80)
—Didik G Suharto, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNS Solo
Opini Suara Merdeka 11 November 2009