11 November 2009

» Home » Media Indonesia » Masa Depan Perbankan Indonesia

Masa Depan Perbankan Indonesia

BANK of England, Oversight (2000) mengingatkan: Payment systems are a vital part of the economic and financial infrastructure. Their efficient functioning, allowing transactions to be completed safely and on time makes a key contribution to overall economic performance.

Sistem arsitektur perbankan di negara maju selalu tidak dapat dilepaskan dengan sistem moneternya. Sejauh mana sistem moneter lebih dominan daripada sistem fiskal perlulah mendapatkan perhatian yang saksama dalam merancang arsitektur perbankan di sebuah negara. Yang luput sampai saat ini dalam pembahasan arsitektur perbankan di Indonesia adalah hilangnya perhatian akan fungsi perbankan dalam mengoptimalkan fungsi pembayaran.

Bassone dan Cirasino (2001) mengatakan: Indeed, rules have been laid out by markets and governments in all countries and at all times to ensure that payments were effected as safely and expeditiously as feasible, given the state of technological and institutional development. Only recently, however, with the economies becoming webs of massive and rapid payment flows with very large risk potentials, governments have started to consider systematically how to oversee payment activities. Bahkan ada kesan arsitektur perbankan Indonesia akan dibawa ke ranah politik misalnya dengan melakukan politisasi akan ekspansi kredit perbankan. Bukan hanya menempatkan fungsi kredit dalam arsitektur perbankan Indonesia sebagai fungsi utama, namun ada kecenderungan untuk menancapkan semangat nasionalisasi melalui sentimen antiasing yang di luar kewajaran. Antiasing sah saja dikemukakan dalam orasi ilmiah, namun dalam konteks ketahanan perbankan nasional berbasis sistem pembayaran yang andal maka peran asing justru tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Livarinen et al (2003) mengingatkan 'globalisation of payment systems requires the regulators and supervisors of national systems to cooperate internationally to control increasingly complex international entity of payment systems. Misalnya dengan semakin tingginya mobilisasi barang, jasa, manusia dan modal antarnegara, interaksi sistem pembayaran pasti akan semakin bersinggungan dengan instrumen fiskal dan investor asing. Instrumen fiskal tidak melulu berhubungan dengan crowding out effect dalam perekonomian, tetapi bagian integral dari sistem pembayaran dalam perekonomian. Kecuali Indonesia ingin melakukan politik isolasi seperti yang dilakukan oleh Myanmar. Dalam konteks itu juga tersirat adanya kelompok kepentingan yang menginginkan Indonesia seperti Myanmar, artinya bukan hanya modal asing yang ditabukan, melainkan juga kegiatan ekspor dan impor. Sebaliknya China justru terus membuka diri terhadap modal asing termasuk modal asing bagi kegiatan perbankan. Yang menarik justru China mampu mempertahankan fungsi bank sentral China dan bank-bank BUMN sebagai jangkar dari operasi pembayaran dan kredit nasional secara sekaligus.

Dalam konteks Indonesia kejadian tersebut sudah tidak berlaku lagi karena bank-bank BUMN tidak lagi diciptakan sebagai agent of development bersama-sama dengan bank sentral. Bank-bank BUMN telah menjadi bank komersial seratus persen dan Bank Indonesia menjadi bank sentral independen yang hanya semata-mata peduli terhadap inflasi. Kredit likuiditas Bank Indonesia sudah ditabukan, padahal di China peran APBN masih kental dalam menopang operasi kredit dan pembayaran perbankan di China. Sementara itu di Indonesia, Bank Indonesia sudah steril dari kredit. Jika arsitektur perbankan Indonesia hanya mengedepankan semangat antiasing dan upaya untuk memperbesar kelancaran kredit perbankan, tanpa adanya fungsi bank BUMN dan Bank Indonesia sebagai agent of development seperti yang terjadi di China, justru akan menyebabkan fungsi kredit semakin terkebiri dan fungsi pembayaran perbankan semakin berpotensi menimbulkan risiko sistemik.

Arsitektur perbankan di Indonesia sudah kehilangan filosofi dasarnya sebagai penggerak, pengayom, dan stabilisasi sistem perekonomian yang berlandaskan sistem pembayaran yang tangguh. Di sinilah arsitektur perbankan di Indonesia perlu dikoreksi secara tajam. Jika bank BUMN dapat difungsikan kembali seperti di China, fungsi kredit akan menjadi tugas bank-bank BUMN. Adapun bank swasta dengan motor utama Bank BCA akan difokuskan sebagai bank pembayaran. Untuk itu, fungsi pembayaran dalam arsitektur perbankan di Indonesia harus mengadopsi sistem seperti di Amerika Serikat, yaitu menjadikan sistem pembayaran tandem dengan bank sentral dan bank komersial dapat melakukan fungsi pembayaran secara finality. Jika sistem arsitektur perbankan di Indonesia sudah mengatur permasalahan tersebut, optimalisasi sistem pembayaran nasional akan semakin efisien dan efektif. Pasar kredit dan pasar aset lainnya menjadi semakin terintegrasi dalam sub-subsistem moneter yang saling berhubungan, namun dengan risiko sistemik yang semakin rendah. Dapatlah dibayangkan jika Bank Mandiri mampu menurunkan tingkat suku bunga kredit secara drastis, dapat dipastikan bank-bank BUMN lainnya akan mengikuti arah yang dilakukan oleh Bank Mandiri tersebut tanpa harus melakukan kartel. Tidak seperti saat ini, yakni Bank Mandiri tampak terkesan takut-takut dalam menurunkan tingkat suku bunga kredit. Namun, hal itu tidak dapat disalahkan sepenuhnya kepada Bank Mandiri karena aturan Bank Indonesia beserta arsitektur perbankannyalah yang memasung langkah sehat dari Bank Mandiri itu. Dengan demikian, bank swasta dapat lebih berkonsentrasi pada fungsi pembayaran perbankan yang bersama-sama dengan bank sentral akan membuat risiko sistemik dapat lebih terkontrol. Itulah yang harus dibuat dalam arsitektur perbankan Indonesia jika Indonesia ingin memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi yang berkelanjutan sebagaimana yang telah dilakukan oleh China. Usia China yang 60 tahun terbukti lebih produktif dalam menciptakan nilai tambah ketimbang Republik Indonesia yang berusia lebih tua. Dari sisi interaksi dengan sistem kapitalisme maka boleh dikatakan China memulainya pada 30 tahun yang lalu sementara Indonesia gagal di era Orde Lama. Pun Orde Baru juga gagal menciptakan perbankan sebagai agent of development pada krisis 1997. Seharusnya Indonesia belajar dari Amerika Serikat pada krisis baru-baru ini yang juga mengalami krisis akut sekalipun katanya sistem perbankan Amerika Serikat sudah amat efisien karena ternyata bank swastalah yang membuat kredit macet tersebut. Sementara itu, sistem perbankan di China terus mampu bertahan dari kredit macet sebab motor utama penyaluran kredit pada sistem ekonomi adalah bank-bank BUMN beserta bank sentral. Bank swasta di China lebih fokus dengan bisnis yang terkait sistem pembayaran termasuk kartu kredit.

Untuk itu, ke depan visi perbankan di Indonesia harus menggunakan strategi penyaluran kredit seperti yang terjadi di China agar sektor riillah yang berjalan dan bukan sektor jasa seperti saat ini terjadi di Indonesia. Perlu juga dicamkan bahwa sistem pembayaran yang andal akan menopang berfungsinya kebijakan moneter, pasar keuangan, stabilitas keuangan serta perbankan.

Menarik mencermati pernyataan dari Bank Sentral Uni Eropa (2009): Like any central bank, the ECB, together with the Eurosystem is interested in the prudent design and management of the payment and securities clearing and settlement systems which process its currency. It pays close attention to their smooth functioning, as well as to reducing the related potential risks. The smooth functioning is crucial for: a sound currency and for the conduct of monetary policy, the functioning of financial markets and the maintenance of banking and financial stability. Dengan sistem pembayaran yang tangguhlah, perekonomian akan memiliki daya saing ekonomi yang tinggi!

Oleh Achmad Deni Daruri, President Director Center for Banking Crisis
Opini Media Indonesia 10 November 2009