Taufiqurrahman SN
(peneliti pada The Hasyim Asy`ari Institute Yogyakarta)
Setelah peringatan Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober kemarin, jiwa nasionalisme kita terkobarkan lagi dengan datangnya Hari Pahlawan. Secara tidak lansung kita diajak mengenang kembali saat-saat para pejuang kita dengan jantan menaklukan kaum kolonialis. Jiwa nasionalisme tak ubahnya mutiara tertimbun lumpur, di mana semua warga masyarakat berebut ruang dan waktu untuk mendapatkannya. Sejumlah peristiwa bersejarah pada masa penjajahan dapat kita amati sebagai modus pembangkit semangat perjuangan rakyat demi meraih kemerdekaan, tentu saja dengan menempatkan nasionalisme sebagai magnet penggerak semangat perjuangan nasional.
Di antara peristiwa-peristiwa sejarah nasionalisme bangsa Indonesia, dibuktikan dengan peristiwa perlawanan rakyat Indonesia di Surabaya pada 10 November 1945 yang kemudian diabadikan sebagai Hari Pahlawan. Dalam catatan sejarah, kejadian yang banyak menelan korban dan nyawa tersebut merupakan salah satu rentetan peristiwa yang ikut menandai arus gelombang perjalanan nasionalisme yang ketiga setelah era kebangkitan nasionalisme awal pada 1908 (baca: Boedi Oetomo), dan Soempah Pemoeda pada 1928. Dikatakan demikian, karena peristiwa tersebut masih dalam suasana mempertahankan kemerdekaan.
Kala itu, nasionalisme tidak hanya menjadi gugusan konsep yang sarat dengan perdebatan sekadar untuk mencari makna tafsirannya, akan tetapi benar-benar menjadi 'simbol kekuatan' bangsa Indonesia untuk menjadi sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. Dengan kata lain, fungsionalitas nasionalisme pada waktu itu benar-benar terbukti sebagai perekat semangat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Di samping pergolakan merebut kemerdekaan dan taktik politik pecah belah (de vite et empera) yang diterapkan Belanda menjadi tumpul, karena dari Sabang sampai Meraoke seluruh rakyat Indonesia sudah berada dalam satu komando yang bernama nasionalisme. Kita mengenal Jong Java, Jong Sumatera, Jong Sunda, dan lain sebagainya, yang telah membentuk satu barisan untuk memukul mundur kaum penjajah dari bumi pertiwi. Karena dengan semangat nasionalisme, konfergensi antargolongan menjadi tidak penting; beragam agama, budaya, etnis, warna kulit, dialek, dan lain sebagainya, benar-benar luntur dalam semangat persatuan dan kesatuan untuk membangun bangsa Indonesia.
Dalam ihwal ini, kritik Benedict Anderson dalam bukunya Imagined Community tentang konsep nasionalisme sebagai konsep semu yang dibayangkan atas sebuah komunitas yang disebut bangsa, menjadi kehilangan relevansinya. Sebab, tidak bisa dinafikan bahwa perjuangan pada masa prakemerdekaan merupakan bukti riil dari spirit nasionalisme. Perjuangan dan perlawanan yang dibangun di bawah spirit nasionalisme itu bukanlah sekadar kumpulan imajinasi kreatif kelompok tertentu, melainkan bukti nyata dalam bentuk gerak dan tindakan.
Namun sayangnya, tidak lama setelah melampaui era kemerdekaan, kritik pedas yang dilontarkan Anderson pun pada akhirnya mulai mendekati garis kebenaran, lebih-lebih pada masa-masa terakhir. Karena semangat nasionalisme masa kini seolah telah tergantikan oleh semangat positivistik, materialistik, individualistik, dan padanan-padanan kata lainnya yang bernada my self oriented.
Kepentingan bersama untuk memajukan bangsa dan negara Indonesia telah diparkir, dan digantikan dengan kepentingan pribadi dan golongan yang bersifat sementara.
Disadari atau tidak, perubahan yang cukup radikal ini kemudian diam-diam melahirkan cabang bayi yang bernama krisis. Krisis yang tidak hanya disebabkan oleh runtuhnya tatanan perekonomian negara, melainkan yang paling krusial adalah oleh apa yang disebut C. Wright Mills dengan the higher immorality; yakni, konspirasi immoralitas power elite tingkat lanjut. Hilangnya kepekaan moral (moral insensibility) di kalangan orang-orang elite (kaya) dan kekuasaan dari golongan power elite, yaitu penguasa, politikus, militer, dan pengusaha swasta.
Lambat laun, kemerdekaan secara politik yang telah ditorehkan para stake holders kini menjadi sia-sia karena datangnya bentuk penjajahan baru yang bersifat serbaabstrak yang dilakukan oleh para elite politik kita sendiri. Maka demikian, dalam momentum refleksi Hari Pahlawan ini, yang terpenting sebenarnya bukanlah menelusuri jejak historis perjuangan yang dilakukan pahlawan terdahulu, melainkan berupaya memasakinikan spirit nasionalisme atau jiwa kepahlawanan untuk menyelamatkan bangsa dan negara ini dari segala bentuk dan jenis penjajahan praktis.
Dalam konteks sekarang ini, kita semestinya menumbuhkan dimensi-dimensi kepahlawanan dalam diri kita untuk memerangi kegandrungan terhadap konspirasi immoralitas di atas. Praktik korupsi dan manipulasi, eksploitasi maupun pembodohan secara sistematik, bagaimanapun harus kita tempatkan sebagai bentuk dari keterjajahan bangsa ini. Dengan demikian, melawan dan mengikis habis semua itu merupakan wujud dari spirit nasionalisme (kepahlawanan) kita.
Salah satu bentuk penjajahan para elite politik yang mewarnai wacana publik akhir-akhir ini adalah kasus Chandra-Bibit atau lebih popular dengan image cicak vs buaya.
Kasus ini secara tidak langsung merupakan bentuk pembodohan publik secara sistematik demi mendapatkan my self oriented tersebut.
My self oriented di sini tak lain berupa praktik kolusi yang diduga dilakukan Anggodo Wijdojo kepada sejumlah pejabat kejaksaan. Kemudian muncul pertanyaan, akan dibawa ke manakah negara ini kalau ternyata penjajahnya saudara sendiri? Untuk itu, pada momentum Hari Pahlawan kali ini, kita sama-sama menumbuhkan jiwa nasionalisme kita yang telah terkubur selama 64 tahun silam untuk merenggut kembali negara kita dari penjajahan abstrak seperti sekarang ini.
Jangan sampai negara tersayang ini menjadi 'negara rekayasa' yang menjadi lahan empuk dalam menyuburkan praktik korupsi. Akhirnya,
demi tercapainya harapan faunding father kita, dalam mewujudkan jiwa nasionalisme, tidak ada salanya jika kita mulai dari diri sendiri dengan menolak dan membakar habis tindak-tindak kriminalitas yang menjamur di sekitar kita.
Opini Republika 11 November 2009
11 November 2009
Mewujudkan Kembali Jiwa Nasionalisme
Thank You!