Semua kebenaran melalui tiga tahap. Pertama, ia ditertawakan. Kedua, ia mendapat serangan hebat. Ketiga, ia terbukti benar (Arthur Schopenhauer).
Baik KPK maupun kepolisian sebagai lembaga penegak hukum sedang menjalani masa-masa beratnya dalam mencitrakan diri secara positif. Banyak pujian telah menyertai kinerja kedua lembaga ini. Namun, belakangan, keduanya terlibat konflik yang harus segera diselesaikan.Konflik antara KPK dan kepolisian kembali menyedot perhatian pascapenahanan Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Bila benar kepolisian bersandar pada bukti kuat, tak ada yang salah dalam proses hukum ini. Sudah sepantasnya, sebagai penegak hukum, kepolisian berusaha mengungkap kebenaran.
Persoalan yang muncul tampaknya terkait interpretasi mengenai kemungkinan penggembosan kinerja KPK yang sudah mendapat persepsi positif dari masyarakat. Kehilangan yang dianggap baik itu pasti menggelisahkan. Karena itu, juga tidak salah bila muncul kecurigaan tentang motif penggembosan KPK.
Kini, hubungan antara KPK dan kepolisian bisa dilihat sebagai konflik naratif atau cerita. Menurut Sara Crobb, akar konflik sebenarnya amat sederhana, yaitu kecenderungan manusia untuk berasumsi negatif tentang pihak lain. Asumsi negatif ini lalu bertransformasi menjadi macam-macam cerita subyektif yang melebar dan meluas sehingga mengaburkan inti permasalahannya.
Dalam teori naratif, konflik selalu dilihat sebagai persaingan antarcerita. Di satu sisi, masyarakat mendengar cerita tentang penyalahgunaan wewenang dan pemerasan pimpinan KPK; di sisi lain masyarakat mendengar tentang kriminalisasi KPK oleh kepolisian. Cerita itu lalu diinterpretasikan lagi sehingga muncul cerita-cerita baru.
Fakta sosial yang terjadi adalah KPK membentuk cerita tentang kepolisian dan kepolisian membentuk cerita tentang KPK. Dalam konflik, kita selalu dihadapkan pada dua cerita. Apa pun bentuknya, setiap pihak yang bercerita pasti menampilkan alur cerita menurut versinya. Dalam alur itu, informasi yang menguatkan akan diangkat dan informasi yang melemahkan akan diredam.
Dampak terjauh dari pengekangan informasi seperti ini adalah kebuntuan atau polarisasi antara kepolisian dan KPK. Baik KPK maupun kepolisian seolah memiliki amunisi untuk saling memerkarakan. Bila ini berlarut-larut, eskalasi konflik akan meninggi dan kepercayaan masyarakat akan penegak hukum akan merosot.
Supaya akar konflik bisa terlihat jelas, perbedaan yang ada antara KPK dan kepolisian sebaiknya tidak disembunyikan, tetapi ditonjolkan sejelas-jelasnya. Ini mungkin terasa aneh, tetapi begitulah hukum psikologis cerita. Semakin kita meredam informasi, semakin banyak suara penasaran yang mengganggu. Sebaliknya, semakin kita memperjelas informasi, semakin banyak suara bisa diredam.
Untuk meluruskan cerita yang berkembang tentang KPK dan kepolisian saat ini, dibutuhkan mediator. Dari mediator ini, kita bisa mengharapkan tiga langkah.
Pertama, merancang sesi-sesi pertemuan pribadi untuk mendapatkan gambaran komprehensif sambil berusaha melihat keterkaitan isi cerita kedua pihak. Prinsipnya, ”informasi yang lengkap akan memperjelas duduk perkara”.
Kedua, mediator bertindak sebagai fasilitator, berusaha menemukan niat positif setiap pihak. Di sini mediator harus menjadi pendengar yang baik dengan menjaga netralitas dalam mendengarkan alasan-alasan yang mendasari tindakan setiap pihak. Prinsipnya, ”ada niat positif di balik setiap tindakan”.
Ketiga, mediator bisa menggunakan keingintahuan dan kebingungan publik sebagai pertanyaan-pertanyaan yang membantu kedua pihak melihat secara jernih tindakannya. Lewat pertanyaan-pertanyaan seperti itu, harapan akan solusi yang ideal bisa dimunculkan. Prinsipnya, ”di balik mendung, selalu ada matahari”.
Dalam proses itu, baik kepolisian maupun KPK mungkin memperlihatkan perbedaan dalam dasar-dasar pemikiran mereka. Bukan masalah. Lewat proses itu, masyarakat bisa mendapatkan cerita-cerita baru, yaitu cerita-cerita yang sebelumnya tidak dimunculkan. Pada gilirannya, cerita-cerita ini dapat membantu masyarakat merevisi persepsinya tentang KPK dan kepolisian.
Salah satu sumber konflik yang kerap diangkat untuk menggambarkan konflik kepolisian versus KPK ini adalah metafora ”buaya lawan cicak”. Sekilas, metafora ini menunjukkan superioritas kepolisian. Superioritas di sini tampaknya tidak dimaksudkan untuk arogan, tetapi untuk menunjukkan ”perasaan berharga” di tengah persepsi masyarakat yang negatif.
Dalam beberapa kesempatan, saya berada di kantor polisi dan merasakan adanya itikad baik untuk berubah. Di dinding koridor-koridor utama, misalnya, terpajang jelas kutipan kata-kata bijak atau imbauan untuk berlaku jujur dalam bekerja. Jadi, bila disobek lebih dalam, metafora itu menunjukkan keinginan kepolisian untuk mendapatkan penerimaan dan kepercayaan yang sama positifnya dengan KPK.
Alih-alih terfokus pada konflik, KPK dan kepolisian perlu melihat diri sebagai satu keluarga. Dalam keluarga, konflik bukanlah malapetaka, tetapi sarana untuk mengeluarkan racun yang potensial merusak dari dalam. Meminjam istilah medis, konflik adalah sarana detoksifikasi. Dengan berpikir seperti ini, ungkapan ”KPK lawan kepolisian” menjadi tidak relevan.
Ada baiknya bila proses hukum dibiarkan berjalan. Masyarakat tetap membutuhkan KPK dan kepolisian. Perjumpaan hukum antara KPK dan kepolisian perlu dilihat sebagai dialektika yang sebentar lagi akan melahirkan kebenaran. Setiap cerita punya awal, tengah, dan akhir. Apa pun hasilnya nanti, peristiwa ini akan menjadi proses pembelajaran tentang pentingnya kerja sama, harmoni, dan pencitraan diri yang positif.
Seperti yang dikatakan Schopenhauer pada awal tulisan ini, kebenaran itu menetas dengan sendirinya. Diakali dengan cara apa pun, dia akan tetap lahir. Proses persalinannya saja yang mungkin sulit. Seruan bijak itu sebaiknya menjadi cermin diri bagi penegak hukum untuk lebih introspektif dalam melihat peran dan fungsi utama sebagai sahabat kebenaran.
Opini Kompas 11 November 2009