11 November 2009

» Home » Media Indonesia » Marco Wartawan Pejuang yang Terlupakan

Marco Wartawan Pejuang yang Terlupakan

SAMA Rata-Sama Rasa adalah judul tulisan Mas Marco Kartodikromo di harian Panca Warta awal Februari 1917. Isinya menuntut persamaan antara kaum bumiputra dan orang Eropa. Tulisan itu membuat Mas Marco ditangkap kolonial Belanda. Maka, seperti tokoh pergerakan lain, dia menjadi sering keluar masuk pengasingan.

Pada masanya, Mas Marco merupakan salah satu tokoh kunci perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sejarawan Jepang-Amerika Takashi Shirashi pernah menuliskan masalah ini. Jika kemudian ideologi Marco memilih lebih ke kiri, bukan berarti jasa-jasanya kepada bangsa ini hilang. Bukan berarti harus meniadakan pengorbanan serta perlawanan dia pada kolonial Belanda.

Sebagai bangsa yang besar, selazimnya kita mengenal satu per satu pahlawan yang dikenal maupun tidak dikenal, seperti seorang Mas Marco Kartodikromo jarang dikenal orang. Padahal, pada zamannya, nama Marco tidak asing di kalangan aktivis, sastrawan, dan wartawan Indonesia. Dia sempat dijuluki Bapak Wartawan Indonesia.

Mas Marco dikenal sebagai jurnalis tangguh. Ciri khas yang paling kentara ialah selalu menulis apa yang dilihat dan dirasa secara lugas, tanpa ditutup-tutupi, tidak dipoles sehingga tidak lenyap esensinya. Pada 1911 di Bandung, ia bergabung dengan RM Tirto Adhisoeryo pemimpin harian Medan Priyayi. Kala itu, Medan Priyayi tengah mencapai puncak kegemilangan. Pada Tirto, ia berguru tak hanya di dunia tulis-menulis, tapi juga soal kebajikan dan terutama organisasi modern.

RM Tirto Adhisoeryo juga pernah ditangkap dan dibuang ke Indonesia bagian timur karena kritik lewat tulisan terhadap pihak kolonial Belanda. Sepulang dari pembuangan, sang guru ini terkena penyakit paru-paru akut, meninggal dan dikubur di pekuburan umum Mangga Dua Jakarta.

Epos ini dikisahkan Pramoedya Ananta Toer dalam tetralogi Pulau Buru-nya dengan RM Tirto Adhisoeryo digambarkan sebagai sosok Mingke. Atas dasar itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan gelar pahlawan nasional pada 2006. Namun, nama Mas Marco Kartodikromo seolah-olah terlupakan. Mendekati Hari Pahlawan 10 November, penulis ingin menggugah ingatan pada Mas Marco, salah satu tokoh perjuangan yang namanya mungkin sedikit sekali dikenal generasi muda.

Siapakah Marco
Mas Marco Kartodikromo dilahirkan menjelang akhir abad 19 di Cepu, Jawa Tengah, sebuah daerah yang kemudian hari dikenal sebagai basis perkembangan gerakan Saminisme (petani primitif). Pendidikan Mas Marco hanya terbatas pada sekolah Jawa (setingkat sekolah rakyat). Namun, ia kemudian belajar bahasa Belanda secara autodidak dan juga membaca literatur-literatur Barat. Pengetahuan membuat ia sadar akan ketidakadilan sosial yang dilakukan Belanda atas Indonesia. Itulah awal pergulatan dan perjuangannya.

Setelah harian Medan Priyayi bangkrut, semangat Mas Marco sempat runtuh. Ia lalu ke Surakarta menerbitkan surat kabar dalam bahasa Melayu. Pada usia 22 tahun, ia terjun ke dunia pergerakan. Ia sadar hanya organisasilah alat untuk mencapai perubahan dan tatanan dunia baru.

Pada 1913, saat DR Cipto Mangunkusumo, Douwes Dekker, dan Suwardi Suryaningrat dibuang ke pengasingan, ia kian merasakan kesewenang-wenangan Belanda. Dalam kemarahan, ia mendirikan Indlandsche Journalisten Bond (Surakarta, 1914) dan surat kabar Doenia Bergerak sebagai alat untuk menyampaikan gagasan perjuangannya dengan moto berani karena benar, takut karena salah. Tulisan Marco bagaikan pisau belati, menusuk relung kolonialisme Belanda.
Karena artikel Kita Semua adalah Manusia, Marco diseret ke pengadilan dan divonis tujuh bulan penjara. Ia sadar harus berteriak keras jika 'suaranya' ingin didengar. Ia sadar latar belakangnya sebagai orang biasa membutuhkan perjuangan dan suara lebih keras jika dibandingkan dengan kelas priyayi yang suaranya saat itu lebih didengar.

Empat kali keluar masuk bui, ia hadapi dengan kepala tegak. Karena sadar risiko sebagai orang gerakan. Penjara sebagai batu ujian sekolah tempat berlatih agar moral bertambah kukuh dan liat.

Setelah keluar dari penjara, ia terjun ke dunia politik masuk Sarekat Islam Semarang (yang terpecah menjadi dua, Sarekat Islam Putih dan Sarekat Islam Merah) Mas Marco memilih Sarekat Islam Merah yang kemudian berkembang menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).

Di partai itu, Mas Marco bergabung dengan Semaun, Darsono, Tan Malaka, dan Alimin. Ia sempat dibuang ke Boven Digoel pada 1927. Di tempat pembuangan, ia dikenal orang yang paling bandel dan anti-Belanda, sehingga diasingkan ke Gudang Arang, sebuah daerah yang alamnya sangat ganas. Pada 1932, akhirnya Marco meninggal di Boven Digoel dan tetap sebagai orang yang tidak mau kompromi dengan penjajah bahkan gubernur jenderal sendiri yang minta bertemu dengan salah satu Bapak Wartawan Indonesia ini ditolak mentah-mentah.

Menjelang Hari Pahlawan 10 November, penulis jadi ingat kata-kata Bung Karno, "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya." Kata-kata itu dilontarkan pada pidato kenegaraan pada 1955 di Yogyakarta .

Mas Marco adalah simbol perlawanan sejati, menolak tunduk dengan jantan pada kekuatan imperialis dengan risiko yang paling getir sekalipun. Ia mirip profil pahlawan sejati yang digambarkan Bung Karno seperti, "Seorang pahlawan sejati seperti bunga mawar yang harum, tidak perlu mempropagandakan dirinya tapi semerbaknya akan tercium ke sana dan ke sini."

Maka sebagai anak bangsa, penulis ingin mengingatkan kepada pemerintah Indonesia peran Mas Marco yang banyak dilupakan. Sosok Mas Marco yang kini tidak banyak dikenal generasi muda. Bukankah bangsa yang besar bangsa yang menghargai pahlawannya, baik dikenal maupun tidak dikenal?


Oleh Irwan Wisanggeni, Mahasiswa Program Pascasarjana Manajemen Akuntansi Universitas Trisakti Jakarta, pengamat sejarah

Opini Media Indonesia 11 November 2009