Nilai ketuhanan yang beberapa waktu lalu merupakan hal sakral, kini demikian ”murah”: diobral. Semua demi untuk mendukung sebuah pembenaran yang belum tentu kebenarannya.
”Saya bersumpah, Lillahi Ta’ala, bahwa saya tidak menerima dana yang Rp 10 miliar tersebut”. Demikian yang diungkapkan salah satu pejabat kepolisian negeri ini dalam sebuah rapat kerja di hadapan anggota dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan disaksikan langsung oleh rakyat Indonesia melalui siaran televisi. Pejabat tersebut bersumpah bahwa tudingan dirinya menerima dana suap tidaklah benar.
Sebuah fenomena menarik dapat dilihat di sini bahwa demikian mudah sekarang ini manusia mengucapkan kata sumpahnya, bahkan dengan meminjam nama Tuhan. Semua ini dilakukan demi sebuah pembenaran atas apa yang menurutnya benar dan untuk meyakinkan masyarakat bahwa dirinya bersih dari sangkaan yang ditudingkan masyarakat.
Terlepas dari kasus apa yang terjadi, namun perlu dicermati bahwa nilai sumpah, yang mengatasnamakan Tuhan, sudah mengalami degradasi. Nilai ketuhanan yang beberapa waktu lalu merupakan hal sakral, kini demikian ”murah”: diobral. Semua demi untuk mendukung sebuah pembenaran yang belum tentu kebenarannya.
Jika dicermati pada kasus yang saling berkaitan, akan ditemukan sebuah keanehan. Di mana pihak merupakan bagian yang saling berseteru, namun masing-masing pihak merasa yang paling benar. Terlepas dari siapa yang benar dan salah, namun secara logika tentulah dari ketiganya ada kelompok yang memang benar dan memang salah.
Bagi kelompok yang benar, tentu wajar jika ”meminta” perlindungan atas nama Tuhan. Namun bagi kelompok yang sebenarnya salah, alangkah beraninya ”meminjam” nama Tuhan demi pembenaran atas perbuatan salahnya. Dengan kata lain, Tuhan sekadar dijadikan topeng penutup borok.
Mengapa semua ini bisa terjadi? Salah satunya dikarenakan bahwa nilai-nilai Tuhan sudah bukan lagi menjadi warna kehidupan manusia. Begitu jauh norma beragama ditinggalkan dalam kehidupan manusia. Akibatnya, begitu banyak kenistaan yang makin hari makin vulgar ditelanjangkan pada mata manusia.
Dalam Alquran surat Al-munafiquun ayat 2 sendiri, Allah sudah menerangkan mengenai fenomena seperti ini. Allah berfirman ”Mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan”.
Kelompok-kelompok seperti inilah, sesungguhnya kesucian akan Tuhan kemudian dinodakan. Sebab, nilai sumpah yang merupakan derajat tertinggi atas sebuah kesaksian manusia untuk sebuah kebenaran menjadi dijual demi sebuah pembenaran diri sendiri.
Meskipun pada dasarnya, pelanggaran atas sebuah sumpah sebenarnya juga sudah sering terjadi pada berbagai elemen di negeri ini. Lihat saja pada kasus yang menimpa beberapa oknum pejabat. Mereka inilah kelompok yang sudah menistakan nilai sumpah yang sudah mereka ucapkan sendiri pada saat memulai pelantikan untuk jabatan mereka. Di mana salah satu prosesinya adalah pembacaan sumpah jabatan.
Bahaya Sumpah Palsu
Salah satu bahaya dari adanya sumpah palsu adalah penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat. Mengapa demikian? Bahwa dengan adanya sumpah palsu atau pengingkaran sumpah, menjadikan manusia tidak lagi tahu mana sesuatu yang benar atau salah. Akhirnya, muncullah ketidakpercayaan dan rasa saling curiga antar -satu pihak dan pihak lainnya.
Jika saling curiga ini sudah terjadi maka yang kemudian terjadi adalah rasa saling iri dengki dan kemudian muncullah fitnah. Fitnah pada dasarnya bertujuan untuk menjadikan pihak yang difitnah menjadi korban.
Dan hal inilah yang saat ini sedang tampak di negeri ini. Bahwa pernyataan sumpah, akhirnya sekadar dijadikan komoditas untuk ajang membangun citra diri. Sementara kebenaran yang sejati, masih saja menjadi sebuah misteri.
Rasanya semua ini tidak perlu terjadi andaikata nilai-nilai agama tidak sekadar dijadikan pelengkap kehidupan saja. Namun lebih jauh, nilai agama menjadi sebuah warna yang akan dijadikan pedoman dalam kehidupan. Sehingga setiap tindakan manusia, tidak akan terlepas dari ajaran Tuhan yang tidak sekadar mengajarkan masalah akhirat namun juga kehidupan duniawi.
Manusia yang melupakan nilai agama, akhirnya hanya bisa menjadi manusia yang rakus akan kehidupan dunia sekarang saja. Apa pun akan dilakukan dan diucapkan demi mendapatkan keamanan dan kenyamanan selama hidup di dunia. Mereka inilah kelompok yang melupakan bahwa dalam ajaran agama, diserukan bahwa kehidupan tidak hanya ada di dunia. Ada kehidupan yang lebih abadi setelah era di dunia ini berakhir.
Sumpah atas nama kebenaran, memiliki derajat mulia. Sumpah untuk sebuah pembenaran yang diragukan kebenarannya, hanya akan mendatangkan mudharat. Baik itu dalam hubungan dengan sesama manusia, maupun dalam kaitan dengan Tuhan sebagai pihak yang dipinjam namanya.
Tentang betapa pentingnya kita mewaspadai sumpah palsu, Allah sudah memberikan penegasan. Tersebut dalam surat Al-Baqarah (204), ”Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikan kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras.”
Inilah yang sekarang harus dilakukan oleh seluruh elemen bangsa Indonesia. Jangan sampai kasus-kasus yang muncul di negeri ini, menjadi selesai begitu saja oleh sebuah sumpah atas nama Tuhan. Bahwa manusia harus berpegang pada Tuhan adalah wajib. Namun kewajiban itu diiringi keharusan pula bagi manusia untuk berikhtiar dalam membuktikan kebenaran yang sudah disumpahkan.
Dan sumpah kiranya bukan sekadar ucapan tanpa makna. Di dalamnya mengandung nama Tuhan. Sehingga bagi manusia yang masih memiliki nurani, kiranya tak akan demikian serampangan dalam mengucapkan kalimat sumpah. Apalagi, kalimat sumpah yang diucapkan keliru, seperti yang diucapkan salah satu pejabat kita. (80)
—Witono Hidayat Yuliadi, alumnus Pasca Sarjana UGM
Opini Suara Merdeka 12 November 2009