11 November 2009

» Home » Kompas » Bangsa Krisis Kebenaran

Bangsa Krisis Kebenaran

Salah satu akar masalah di balik kusutnya ”pertikaian” Polri vs KPK adalah krisis kebenaran.
Ujung krisis itu melahirkan krisis keadilan dan kepercayaan.
Krisis kebenaran menggurita di wilayah penegak hukum, khususnya kepolisian dan kejaksaan. Bahkan diperparah sindikat makelar kasus dan jaringan mafia peradilan yang memperjualbelikan perkara.
Kebenaran dapat dibeli dan penegak hukum pun disuap! Akibatnya, yang salah dinyatakan benar, yang benar dinyatakan salah. Yang seharusnya diadili dan ditahan melenggang bebas. Yang mestinya bebas justru dibelenggu dan dinyatakan tersangka.


Lebih memprihatinkan, pihak legislatif yang seharusnya menjadi pembawa suara kritis terhadap lembaga yudikatif justru tampak lembek penuh basa-basi, seperti terpancar pada wajah Komisi III DPR dalam rapat dengar pendapat di DPR dengan Kepala Polri dan jajarannya (5/11).
Krisis keadilan
Dalam kasus Polri lawan KPK, krisis kebenaran di kepolisian (dan kejaksaan) membuahkan krisis keadilan terhadap KPK.
Bagi yang bernurani jernih, lingkaran krisis kebenaran itu memperanakkan krisis keadilan, dan melahirkan kesimpulan, telah terjadi kriminalisasi (terhadap) KPK. Bahkan, dua unsur pimpinan (nonaktif) KPK, Bibit- Chandra, yang meski penahanannya ditangguhkan, masih tetap berada dalam posisi sebagai tersangka.
Secara sosial, fakta ini dikecam masyarakat luas melalui ratusan ribu facebookers dan aksi demo pendukung KPK yang turun ke jalan di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Minggu (8/11), termasuk aksi demo serupa di sejumlah daerah.
Anehnya, aparat penegak hukum belum sadar bahwa mereka sebenarnya sedang dililit krisis kebenaran yang hebat dan membuat wajah birokrasi pemerintahan di republik ini kian korup.
Mengherankan, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono tampaknya tenang-tenang saja berlindung di balik argumentasi: pemerintah tak mau intervensi pada wilayah yudikatif. Bahkan, pihak legislatif pun tak mampu melihat, krisis kebenaran yang menimpa aparat penegak hukum bangsa ini telah melahirkan krisis keadilan.
Pernyataan Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate Toto Sugiarto benar. DPR sebagai lembaga politik belum berpegang pada keadilan karena tidak bersikap netral dan abai dengan rasa keadilan yang dialami masyarakat (Kompas.com, 8/11).
Lengkaplah, bangsa ini dihantam krisis kebenaran dan keadilan di tingkat yudikatif, legislatif, maupun eksekutif.
Teori keadilan
Dalam perspektif teori keadilan John Rawls, krisis keadilan buah dari krisis kebenaran di negeri ini tampak dalam diri para penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan), para legislator, dan elite politik yang tidak berperan sebagai person moral.
Menurut Rawls, person moral ditandai dua kemampuan moral. Pertama, kemampuan untuk mengerti dan bertindak berdasarkan rasa keadilan dan dengannya mengupayakan kerja sama sosial menegakkan keadilan. Kedua, kemampuan membentuk, merombak, dan mengupayakan terwujudnya kebaikan demi kepentingan bersama.
Kedua kemampuan moral itu seolah lenyap dari diri para pengemban yudikasi dan legislasi kita dalam kasus pemberantasan korupsi. Maka, krisis keadilan pun akan kian merebak sebagai konsekuensi logis dari krisis kebenaran.
Pengambilan keputusan etis yang tegas demi membela kebenaran dan keadilan pun sulit terjadi.
Memulihkan kepercayaan
Di tengah gelombang krisis kebenaran yang melahirkan krisis keadilan dan kepercayaan, para pejabat negara ini ditantang untuk segera memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap mereka.
Gelombang dukungan masyarakat baik di dunia maya maupun di tingkat akar rumput kepada KPK untuk tetap kuat berjuang melawan koruptor sesungguhnya merupakan manifestasi krisis kepercayaan.
Masyarakat luas mengalami krisis kepercayaan terhadap aparat penegak hukum dan anggota legislatif. Krisis kepercayaan ini bisa mengarah pada pemerintahan SBY-Boediono bila tak segera mengambil sikap jelas dan tegas prokebenaran dan keadilan.
Bangsa ini harus bangkit meraih kebenaran dengan menegakkan keadilan. Bila tidak, krisis kepercayaan rakyat pun akan kian menguat. Pemerintah harus memulihkan kepercayaan rakyat dengan kembali pada komitmen menyelenggarakan clean and good governance. Jangan biarkan ”bandit membajak instrumen negara!” (Komaruddin Hidayat, Suara Merdeka, 5/11)!
Bila tidak, meminjam gagasan Francis Fukuyama (dalam State Building, 2006), bangsa kita akan terperosok ke dalam bukan saja situasi negara lemah, melainkan negara gagal atau bahkan negara di ambang kehancuran. Semoga tidaklah demikian.
Aloys Budi PurnomoRohaniwan; Pemred Majalah Inspirasi, Lentera yang Membebaskan; Ketua Komisi HAK Keuskupan Agung Semarang
Opini Kompas  11 November 2009