Kata ”reformasi kesehatan” muncul dari Menteri Kesehatan yang baru dengan berbagai program dan energi yang membayang di belakangnya.
Semua negara di dunia mengamini ”reformasi kesehatan” meski memaknainya secara berbeda-beda. Hiruk pikuk reformasi kesehatan di Amerika Serikat pada bulan-bulan pertama pemerintahan Barack Obama menegaskan, reformasi kesehatan adalah belantara yang belum terpetakan.Rancangan reformasi kesehatan apa pun akan terpental jika masyarakat abai terhadap tanggung jawab pribadi atas kesehatan masing-masing. Berdasarkan data pengguna Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), pola penyakit yang menghabiskan dana pemerintah untuk pengobatan adalah kanker, stroke, dan jantung koroner, terkait kebiasaan merokok aktif atau pasif. Anak-anak dengan gizi buruk tinggal di rumah yang dipenuhi kepulan asap rokok.
Reformasi kesehatan di perkotaan tidak bisa membiarkan masyarakat bertoleransi atas kehadiran nyamuk Aedes aegypti (penyebab penyakit demam berdarah), tanpa mencari tahu di mana tempat perindukannya dan berusaha memusnahkannya. Reformasi kesehatan yang menempatkan puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan masyarakat tidak membiarkannya hanya sebagai tempat pengobatan PUSing, KESeleo, dan MASuk angin. Puskesmas di daerah endemik malaria harus mampu mendiagnosis malaria dan mengobati secara tepat. Perlu lebih banyak puskesmas yang mampu mendiagnosis tuberkulosis dan tuntas mengobatinya hingga sembuh. Banyak penderita penyakit kronik, seperti tekanan darah tinggi dan diabetes, dapat dilayani dengan baik di puskesmas. Kompetensi petugas puskesmas harus bisa diandalkan, tentu disertai sistem kompensasi layak berbasis kinerja yang berhasil dicapai.
Dalam debat calon wakil presiden, Boediono menggambarkan reformasi kesehatan sebagai peningkatan kegiatan luar gedung. Ini mirip para dokter Kuba yang bekerja di Timor Leste saat ini. Mereka memiliki determinasi kuat untuk mengunjungi rumah penduduk, khususnya di daerah terpencil, sehingga dapat menularkan pengetahuan dan perilaku sehat kepada masyarakat. Bukan kebetulan, angka kematian bayi yang menggambarkan tingkat kesehatan masyarakat di Kuba (6 kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup) mengungguli AS (7 kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup).
Kegagalan reformasi kesehatan di banyak negara berkembang sering diakibatkan keterbatasan analisis kebijakan, campur tangan kelewat jauh lembaga internasional yang memaksakan template reformasi yang tidak pas, implementasi yang top-down sehingga tidak mengundang partisipasi dan rasa memiliki pemerintah lokal, dan cenderung tanpa kritis meniru model reformasi negara lain.
Reformasi kesehatan sejak akhir 1980- an hingga 1990-an didominasi ide desentralisasi, otonomi rumah sakit, kontribusi masyarakat dalam menanggung biaya pelayanan kesehatan, ditambah pertumbuhan sektor swasta dan asuransi kesehatan. Tahun 2000-an masalah reformasi kesehatan kian beragam, kebanyakan bertujuan untuk menjamin keadilan dan pemerataan layanan kesehatan dan jaminan universal layanan kesehatan, dengan perhatian khusus keluarga miskin.
Setiap reformasi kesehatan meredefinisi peran pemerintah, penyedia pelayanan kesehatan, pasien, penjamin biaya, dan organisasi lain terkait pelayanan kesehatan. Perubahan dalam sistem jaminan pelayanan yang membebankan biaya kepada pasien setiap kali sakit dapat menimbulkan gejolak setelah mereka menikmati layanan gratis Jamkesmas, meski sebagian di antara mereka tidak tergolong miskin. Sementara itu, banyak orang yang amat miskin tidak mampu mengakses Jamkesmas. Beberapa pemerintah lokal yang mencanangkan pelayanan kesehatan gratis bagi seluruh masyarakat merasakan guncangan anggaran daerah karena pengeluaran yang tinggi sehingga mengancam kelangsungan program kesehatan dan sektor pembangunan lainnya.
Lima tahun lalu, setelah UU No 40/ 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional diberlakukan, akan selalu mewarnai upaya reformasi kesehatan pada masa datang, termasuk bagaimana sejumlah peraturan pemerintah pusat dan daerah harus dikembangkan untuk mendukung implementasi UU itu. Dasar-dasar jaminan universal bagi layanan kesehatan untuk seluruh anak bangsa diletakkan dalam UU No 40/2004. Kita menunggu bagaimana jalur menuju jaminan kesehatan universal dapat dipetakan pemerintah sebagai sarana dialog berkelanjutan sehingga tiap rupiah yang dibelanjakan berkontribusi terhadap peningkatan kesehatan masyarakat.
Alokasi anggaran dan sistem target untuk meminimalkan kesenjangan kesehatan antara individu maupun keluarga di daerah satu dan yang lain merupakan tantangan yang kompleks. Di Kabupaten Bantul, tiap desa yang selama setahun bebas dari kematian ibu, kematian bayi, demam berdarah, dan gizi buruk akan mendapat dana Rp 200 juta. Ini hanya contoh kecil, dibutuhkan kreativitas dalam mengembangkan sistem alokasi anggaran dan upaya peningkatan kesehatan masyarakat. Reformasi kesehatan adalah perjalanan menuju kesejahteraan masyarakat, bukan tujuan, sebagaimana negara lain yang masih terus mempertajam sistem yang selama ini mereka terapkan.
Opini Kompas 12 November 2009