Pemberantasan mafia hukum merupakan bidang nomor satu yang ditetapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam program 100 hari kerja kabinetnya.
Yudhoyono menyerukan kepada seluruh rakyat yang menjadi korban mafia hukum supaya berkirim surat kepadanya melalui PO BOX 9949 Jakarta 10000 dengan kode GM, yang merupakan singkatan Ganyang Mafia.
Ketika Yudhoyono mengemukakan slogan Ganyang Mafia, maka retorika pemberantasan korupsi secara total sedang digulirkannya. Retorika tersebut menampakkan keseriusannya karena Ganyang Mafia diletakkan pada urutan teratas dari 15 program yang ditetapkannya.
Dalam domain ini, retorika tidak hanya dipahami sebagai seni berbicara di depan khalayak. Biasanya, retorika memang sengaja diciptakan untuk membuat rakyat terpukau dengan gaya pidato pemimpin negara. Retorika tidak pula sebentuk estetika merangkai kata-kata yang sedemikian berbunga-bunga, tapi kosong makna.
Retorika, ungkap Kenneth Burke (1897-1993), adalah penggunaan kata-kata oleh manusia untuk membentuk sikap-sikap dan mendorong tindakan-tindakan kepada manusia lainnya. Dalam perspektif Burkian, retorika merupakan kekuatan untuk melakukan persuasi karena pemakaian bahasa diarahkan pada jalinan kerja sama.
Ironisnya, retorika Ganyang Mafia tidak atau belum mendapatkan respons yang berarti dari masyarakat. Setelah Yudhoyono mengungkapkannya, media massa justru masih disibukkan dengan pemberitaan konflik antara kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Retorika Ganyang Mafia tertelan dalam keriuhan kerja Tim Delapan (Tim Pencari Fakta) dan ketidakpuasan rakyat terhadap sikap Komisi III DPR yang menjalin kemesraan dengan pihak kepolisian. Retorika Ganyang Mafia sebagai daya persuasif belum terbukti keampuhannya.
Kemungkinan lain adalah media memandang retorika Ganyang Mafia tidak cukup menarik diberitakan secara besar-besaran. Memang, ada slogan provokatif yang sengaja diungkapkan Yudhoyono untuk menarik perhatian.
Ganyang mudah dirujuk pada bahasa ideologis yang terjadi pada era kepemimpinan Soekarno. Di situ muncul ungkapan yang sampai saat ini masih populer, yakni Ganyang Malaysia. Ganyang berarti menghabisi pihak lain sampai tuntas. Ganyang bermakna pelenyapan. Ganyang Mafia berarti memberantas pelaku kejahatan, terutama koruptor, sampai tandas.
Mafia merupakan organisasi kejahatan bersifat rahasia yang dalam beroperasi melibatkan aparat negara. Para penegak hukum, dari kepolisian, kejaksaan, sampai advokat dikerahkan dalam berbagai aksi kriminalitas mereka, supaya hasil kerjanya meyakinkan secara legal.
Mafia, yang selama ini dikenal dalam dunia fiksi, ternyata memang ada dalam semesta fakta. Dugaan itu dapat dirujuk pada ucapan Anggodo Widjojo yang terkesan mudah mengatur pihak-pihak lain dalam menangani kasus korupsi yang melibatkan kakaknya, Anggoro Widjojo.
Seharusnya, retorika Ganyang Mafia menarik diberitakan media dan mendapat tanggapan yang cepat dari masyarakat. Namun, kalau harapan itu tidak terjadi, sangatlah mungkin jika retorika itu dianggap hanya mendompleng popularitas pertikaian Cicak versus Buaya.
Ganyang Mafia sekadar menjadi retorika yang berada di luar domain konflik di antara penegak hukum. Buktinya ialah sekalipun nama Yudhoyono dicatut dalam percakapan via telepon yang disadap KPK, mengapa Yudhoyono tidak segera melaporkan kejadian itu kepada pihak kepolisian?
Bukankah ini dapat dijadikan bukti di hadapan rakyat bahwa gerakan Ganyang Mafia sedang dimulai?
Namun, apa pun yang terjadi, jika Ganyang Mafia telah dijelmakan sebagai retorika, ada tiga takaran yang dapat digunakan untuk membuktikan kesungguhannya. Merujuk pemikiran Aristoteles (384-322 SM), tiga takaran itu adalah: pertama, ethos yang berarti karakter dan kredibilitas pengucap retorika mampu mempengaruhi rakyat untuk memertimbangkan ucapan-ucapannya karena sang pengucap retorika memang pantas dipercaya.
Dalam hal ethos, Yudhoyono memiliki kredibilitas itu. Hal itu bisa dibuktikan meski ada familinya yang terlibat korupsi, Yudhoyono tetap menghormati proses hukum yang telah dilakukan. Selain itu, Yudhoyono dalam berbagai kampanye pemilihan presiden selalu memamerkan prestasinya dalam memberantas korupsi.
Kedua, logos yang bermakna pemakaian penalaran untuk mengonstruksikan aneka argumentasi yang dikemukakan sang pengucap retorika. Misalnya, pengerahan angka statistik kejahatan korupsi, rakyat yang mengalami pemiskinan akibat uang negara dijarah, dan contoh konkret korupsi yang menghambat investasi.
Di sisi ini, Yudhoyono menyatakan secara transparan bahwa mafia hukum, selain merusak rasa keadilan, juga menimbulkan kerugian material bagi korban. Mafia hukum itu, tegas Yudhoyono, bisa berlangsung pada lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, KPK, departemen-departemen, sektor pajak, bea cukai, dan sebagainya.
Bentuk mafia itu berupa makelar kasus, suap-menyuap, pemerasan, jualbeli perkara, mengancam saksi, pungutan tidak semestinya, dan sebagainya.
Ketiga, pathos yang berarti penggunaan kekuatan emosional untuk menarik perhatian masyarakat. Bahasa provokatif yang dimaksudkan memancing emosi massa sengajah dikerahkan.
Ganyang Mafia memenuhi kriteria itu. Bahkan, slogan yang menggunakan kekuatan emosional itu sengaja diandalkan. Akan tetapi, kalau slogan itu tidak menyentuh aspek emosional massa berarti rakyat tak begitu menggubrisnya. Retorika Ganyang Mafia majal karena pemberantasan korupsi belum dilakukan maksimal.
Bertindak koruptif
Ada sisi lain retorika yang patut diperhatikan, yaitu retorika itu sendiri punya kemungkinan bertindak koruptif. Korupsi dalam hal ini dimaknai secara luas sebagai kecurangan untuk menguntungkan diri sendiri dan merugikan pihak lainnya.
Retorika bisa membuahkan korupsi karena-sebagaimana dikemukakan Alpaslan, Green, dan Mitroff (2008)-melibatkan peran pemakaian bahasa dalam membuat keputusan etis. Dalam perspektif retorika, ucapan yang dikemukakan seseorang mengonstruksikan dan membentuk identitas diri, sedangkan identitas diri dipengaruhi oleh interaksi-interaksi sosial. Dengan demikian, retorika juga menunjukkan perkembangan moral.
Jika pathos mendominasi retorika, kekuatan logos dan ethos lemah. Jika ethos mendominasi, kekuatan pathos secara moderat kuat, logos lemah tetapi sedang meraih kekuatannya. Dan, jika logos mendominasi, kekuatan pathos dan ethos secara moderat kuat.
Jenis takaran mana yang mendominasi retorika Ganyang Mafia? Apakah pathos, ethos, atau logos? Semoga saja bukan kekuatan pathos yang mendominasi retorika itu. Daya tarik emosional sengaja ditonjolkan, sedangkan daya penalaran dan kekuatan personal sang pengucap hanya tenggelam di dalamnya.
Pada situasi ini, retorika Ganyang Mafia sekadar menjadi untaian bunga-bunga kata, tetapi kosong makna, karena tidak mampu mendorong rakyat mengambil aksi-aksi nyata.
Oleh Triyono Lukmantoro
Opini Bisnis Indonesia 11 November 2009
11 November 2009
» Home »
Bisnis Indonesia » Menakar Retorika Ganyang Mafia Kalau Slogan Tidak Menyentuh Emosi, Rakyat Tak Begitu Menggubris
Menakar Retorika Ganyang Mafia Kalau Slogan Tidak Menyentuh Emosi, Rakyat Tak Begitu Menggubris
Thank You!