23 November 2009

» Home » Kompas » Akuntabilitas dan Perubahan

Akuntabilitas dan Perubahan

Pemerintahan bersih adalah syarat kemajuan suatu bangsa. Pemerintahan korup menyebabkan kemiskinan, diskriminasi, dan konflik.
Indonesia masih terpuruk dalam sistem yang memudahkan penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi. Upaya perbaikan sistem dan pemberantasan korupsi menghadapi kendala karena sering kuat di gagasan, tetapi lemah dalam merancang modalitas. Pilihan modalitas menentukan perubahan ke arah akuntabilitas. Padahal, upaya melembagakan akuntabilitas diperlukan.


Akuntabilitas harus mendapat prioritas karena mampu memperbaiki layanan publik. Upaya perbaikan sering mengalami kegagalan karena rancangan dan implementasi. Jika rancangan teruji, implementasi memerlukan momentum. Pilihan momentum ini cenderung diabaikan.
Kasus ”cicak lawan buaya” seharusnya menjadi momentum pembaruan sistem penegakan keadilan. Karena tidak cepat bertindak, Presiden membiarkan lewat momentum pembaruan. Menolak campur tangan langsung karena menghormati proses hukum justru memberi kesan kentalnya muatan politik atas kasus itu. Padahal, pertaruhannya ialah akuntabilitas pelayanan publik dan penegakan keadilan.
Akuntabilitas
Akuntabilitas mendorong transparansi sehingga tindakan melawan hukum dan moral atau cara-cara tidak adil diketahui dan dikenai sanksi. ”Akuntabilitas adalah nilai dasar sistem politik. Warga negara berhak mengetahui tindakan pemerintah karena kekuasaan itu mandat rakyat. Warga negara mempunyai sarana untuk mengoreksi saat pemerintah melakukan sesuatu yang melawan hukum dan moral atau cara-cara tidak adil. Tiap warga negara berhak menuntut ganti rugi jika hak-hak mereka dilanggar pemerintah atau tidak mendapat layanan memadai yang seharusnya diterima” (B Guy Peters, 2007: 15).
Ada dua bentuk akuntabilitas menurut Guy Peters. Pertama, akuntabilitas sebagai tuntutan terhadap organisasi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan. Harus ada laporan terbuka terhadap pihak luar atau organisasi mandiri (legislator, auditor, publik) yang dipublikasikan. Peran Mahkamah Konstitusi menyingkap dugaan rekayasa kasus ”Bibid-Chandra” amat bermakna. Bentuk akuntabilitas ini tidak lain adalah transparansi. Pengertian akuntabilitas yang pertama menekankan pentingnya institusi yang adil guna mendorong perilaku pejabat agar sesuai etika dengan memungkinkan pihak luar organisasi pemerintah mengidentifikasi, mempertanyakan, dan mengoreksi yang terjadi. Jadi kontrol dari luar memungkinkan mengorganisasi tanggung jawab melalui sanksi dan imbalan.
Kedua, akuntabilitas dalam kerangka tanggung jawab, yaitu menjamin perilaku pejabat agar sesuai deontologi yang mengatur pelayanan publik. Akuntabilitas jenis ini lebih menekankan nilai-nilai yang telah dibatinkan sebagai pelayan publik sesuai tuntutan etis. Akuntabilitas ini menolong mempertajam makna tanggung jawab. Bentuk ini mengandaikan adanya sistem layanan publik yang telah terlembagakan secara baik. Kurangnya komitmen terhadap standar perilaku dan kelemahan dalam mengontrol kepentingan diri atau kelompok akan membahayakan sistem pelayanan publik yang sudah berjalan baik.
Dilema moral dan politik
Tampaknya pemerintah belum memiliki sistem pelayanan publik yang terlembagakan secara baik. Maka argumen menolak campur tangan langsung dalam proses hukum kasus ”cicak lawan buaya” sebetulnya bentuk pengandaian keliru, seolah ada sistem yang sudah terlembaga secara baik. Pengandaian ini menjadi titik lemah karena, pertama, meski di tingkat wacana ada semangat melawan mafia peradilan, de facto perbaikan sistem penegakan keadilan dikurbankan dengan mempertahankan pejabat bermasalah.
Kedua, mengandaikan komitmen standar perilaku pejabat, padahal kasus ”cicak lawan buaya” sarat kepentingan. Ketiga, makelar kasus bukan kasus terpisah. Ia bagian reproduksi tindakan dan penguatan struktur busuk.
Dengan mereproduksi unsur-unsur struktural yang korup, pelaku memperkuat situasi yang memudahkan korupsi dan mengatur perkara. Struktur korup tidak lepas dari andil pelaku, dalam kesadaran refleksif dan praktis.
Dalam menyeleksi informasi, pelaku sedang mengatur syarat-syarat sistem reproduksi. Artinya, apakah akan membiarkan berjalan seperti biasa atau mengubahnya (A Giddens, 1984:27-28). Pilihan bertindak Presiden atas kasus ”cicak lawan buaya” bisa dilihat sebagai dilema moral dan politik: atau ”membiarkan reproduksi struktur yang korup” dengan tidak campur tangan, atau ”mengubah” guna penegakan keadilan meski kasus bisa berubah menjadi bumerang.
Pilihan pertama mengesankan pemerintah tidak serius. Upaya membangun sistem untuk menciptakan politik etis di kalangan penegak hukum dan pelayanan publik akan dianggap pemanis bibir. Dampaknya akan melemahkan komitmen reformasi manajemen publik dan memperkuat ketidakpercayaan publik terhadap penegak hukum. Ketidakpuasan pun meluas, dan situasi kian buruk bila rekomendasi Tim 8 tidak diperhitungkan. Rekomendasi bisa dianggap tindak lanjut proses akuntabilisasi, yang ingin menjawab tuntutan rasa keadilan masyarakat.

Haryatmoko Dosen Pascasarjana FIB UI dan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Opini Kompas 24 November 2009