Pemanggilan terhadap dua pimpinan media massa oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) Jum’at (20/11) lalu menuai reaksi keras banyak pihak. Para jurnalis pun berdemo di depan Mabes Polri menentang pemanggilan yang dinilai sebagai upaya teror, membungkam kebebasan pers dan mengarah pada pengkriminalisasian media dengan para jurnalisnya.
Protes dan kekhawatiran itu wajar karena sesuai surat panggilan yang ada, dasar pemanggilannya adalah Laporan Polisi No LP/631/X/2009/Bareskrim tanggal 30 Oktober 2009 dan Laporan Polisi No LP/637/XI/2009/Bareskrim tanggal 2 November yang disampaikan oleh AW dan pengacaranya, BS sebagai pelapor. Bagaimanapun juga, pelapor tentu ingin yang dilaporkan tidak sekadar dijadikan tersangka, tetapi juga dipidana.
Laporan AW dan BS setidaknya menyangkut dua hal, yakni tentang pencemaran nama baik dan membuat perasaan tidak senang bagi media massa atau ditambah penyalahgunaan wewenang untuk yang menyadap dan menyebarkan hasil pembicaraan AW dengan beberapa orang. Termasuk dengan SB sebagai Advokat AW yang dilindungi haknya dari penyadapan saat berkomunikasi elektronik.
Mengingat laporan itu harus ditindaklanjuti Polri berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 tentang Polri untuk mencari kebenaran materiil sesuai dengan prinsip hukum pidana, sudah pasti laporan AW dan BS membutuhkan keterangan pihak-pihak yang telah atau belum disebutkan dalam laporan.
Semua keterangan akan menjadi alat penentu kelanjutan status para pemberi keterangan itu sebagai tersangka atau saksi. Bisa saja yang dilaporkan tidak dijadikan tersangka karena tidak cukup bukti di samping yang dilaporkan bukan merupakan tindak pidana.
Proses yang demikian adalah bentuk pelayanan, perlindungan hukum dan upaya mewujudkan kesamaan derajat di depan hukum bagi yang melapor dan yang dilaporkan. Hanya saja pemanggilan pimpinan media itu patut dipertanyakan karena kontra dengan kebebasan pers dan disikapi aneh oleh pimpinan Polri setelah panggilannya banyak ditentang.
Pimpinan Polri menyatakan tidak akan mengkriminalisasikan pers dan juga menyebut pemanggilan sebagai upaya meminta keterangan dari media massa untuk segera memproses AW dan menjadikan AW sebagai tersangka.
Aneh kalau dipanggil untuk dimintai keterangan berdasarkan laporan AW, tetapi malah dimintai keterangan untuk bahan awal rencana menjerat AW.
Lain halnya kalau ada panggilan yang lain dan memang untuk itu serta diterangkan atas dasar laporan siapa. Tidak bisa sembarangan, harus jelas siapa yang melapor dan dalam kurun waktu sesuai yang ditentukan oleh Undang-undang. Atau memang pihak Polri yang melapor?
Mungkinkah Polri melakukan pemanggilan secara khusus, hanya berdasar kesepakatan, tanpa surat guna menjerat AW untuk mendukung pernyataan Polri yang tidak akan mengkriminalkan pers?
Terhadap pemanggilan yang demikian dikhawatirkan media tidak menutup kemungkinan akan dianggap tidak konsisten. Di satu sisi kalau untuk laporan AW dan BS pemanggilan media ditentang, namun untuk pemanggilan guna menjerat AW, media oke-oke saja misalkan dengan alasan untuk penegakan hukum dan kepentingan negara!
Terkait dengan semua itu, yang pasti soal pemanggilan oleh Polri terhadap pihak-pihak yang dilaporkan atau yang diduga terkait dengan suatu kasus pidana selama ini memang patut disoroti. Masih banyak pemanggilan yang bermasalah.
Bahkan beberapa waktu lalu ada laporan terkait Surat Panggilan palsu dengan unsur pemanggilan sesat karena dibuat secara sesat, dasar hukumnya salah dan untuk kepentingan sesat. Surat berkop dan berstempel resmi Polri. Ironisnya, Surat Panggilan disampaikan oleh preman yang sebenarnya tidak punya hak sama sekali membawa Surat Panggilan Polri.
Kalau sekarang ini soal pemanggilan oleh Polri terhadap beberapa media massa dalam kasus sadapan rekaman dirasa bermasalah, dapat saja pihak AW mempermasalahkannya karena laporan AW belum ada tindaklanjut tetapi malah AW jadi terlapor. Apalagi laporan AW dan SB bila dilihat dari tanggal laporan, besar kemungkinan adalah menyangkut materi berita hasil sadapan pembicaraan AW dengan beberapa orang.
Sebelum diperdengarkan secara terbuka di Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 3 Nopember 2009 bisa saja berita di media dianggap mengada-ada atau tidak benar karena sumbernya dianggap tidak benar oleh pelapor.
Ini yang akan membuka masalah baru kalau tidak dilanjuti oleh Polri. Polri harus menindaklanjuti sesuai prosedur. Apapun hasilnya, semua harus sesuai prosedur hukum.
Yang penting Polri mau memperhatikan hasil perkembangan yang ada. Termasuk bukti kalau hasil sadapan pembicaraan yang diberitakan memang tidak mengada-ada setelah diperdengarkan di MK.
Juga realitas perlindungan hak advokat untuk tidak disadap, tentu harus ditelaah dari aspek ada tidaknya unsur pidana yang dikomunikasikan untuk menentukan kesimpulan lebih lanjut.
Soal pemberian keterangan oleh teman-teman media tentang pemberitaan hasil sadapan yang diperdengarkan secara terbuka di MK dan diberitakan di medianya pada hari berikutnya, sekalipun belum untuk Berita Acara dan tidak untuk Pro Justisia, jangan sampai nantinya diperiksa lebih lanjut untuk sebuah Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Pro Justisia untuk proses laporan AW dan BS.
Ini patut menjadi perhatian bersama karena keterangan seperti itu dapat saja dijadikan pijakan untuk kepentingan laporan AW dan BS maupun posisi AW sebagai terlapor dan dapat saja menyusahkan teman-teman media.
Dari segi hukum, kalau teman-teman dimintai keterangan untuk kepentingan proses AW sebagai terlapor, dalam proses berikutnya hanya untuk proses AW sebagai terlapor hasil pemberian keterangannya. Jangan sampai keterangannya teman-teman media untuk proses AW dan BS sebagai pelapor. Semua harus lewat proses sendiri-sendiri melalui pemanggilan yang patut sesuai aturan hukum.
Mengingat masalah yang dihadapi oleh Polri dari hari ke hari sekarang ini makin berat, tentu alangkah baik bila Polri juga terus memperbaiki diri dan makin baik sesuai aturan, termasuk dalam hal pemanggilan para pihak yang diduga terkait dengan kasus-kasus pidana yang dilaporkan atau yang otomatis langsung ditangani Polri. Semua bukan sekadar untuk membuktikan kalau Polri itu bekerja secara profesional, tetapi juga agar tidak menambah berat beban negara. (80)
—M Issamsudin, peminat masalah hukum, tinggal di Semarang
Opini Suara Merdeka 24 November 2009