23 November 2009

» Home » Suara Merdeka » Menjadikan Jateng Sentra Itik

Menjadikan Jateng Sentra Itik

MENDENGAR ternak itik atau bebek, tentunya tidak asing bagi masyarakat Jawa Tengah terutama yang tinggal di sekitar pedesaan. Ternak itu cukup potensial dan tidak boleh hanya dipandang sebelah mata.

Apalagi sekarang ini, sumbangan ternak itik secara umum terhadap produksi telur nasional menurut Dr Rusfidra dari Fakultas Peternakan Andalas Padang cukup signifikan, yakni sebagai penyumbang kedua terbesar setelah ayam ras.
Produksi telur itik nasional telah mencapai 217.696 butir, atau 21,19% dari produksi telur ayam ras yang mencapai 1.027.586 butir. Mengapa ternak itik sebagai gagasan untuk menjadikan Jawa Tengah sebagai sentra itik nasional?

Ada beberapa alasan-alasan penting yang melandasi provinsi layak untuk dijadikan sebagai sentra budidaya dan pengembangan itik nasional.

Pertama, provinsi ini dikenal sebagai produsen telur asin terbesar nasional yang sudah dikenal luas baik lokal Jateng maupun secara nasional, yakni telur asin Brebes sebagai barometernya.
Kedua, provinsi ini sebagai produsen telur itik peringkat ke-2 nasional setelah Jawa Barat.

Menurut data BPS Pusat (2008), produksi telur itik tertinggi dihasilkan oleh Jawa Barat dengan total produksi mencapai 42.726 butir disusul Jawa Tengah 31.747 butir, ke-3 Kalimantan Selatan (23.402 butir),dan ke-4 Jawa Timur (17.561 butir).

Ketiga, di Jawa Tengah dikenal ada 2 jenis itik ”bebek”  khas lokal daerah Jateng yakni itik tegal (Anas javanica) yang banyak dijumpai di daerah Tegal, Brebes, dan daerah sekitarnya (pantura) dan itik magelang di daerah Magelang, Temanggung, Purworejo, dan sekitarnya (Kedu).

Keempat, budidaya ternak itik identik dengan pedesaan. Dengan mengaitkan visi dan misi Gubernur yakni Bali Ndesa Mbangun Desa sepertinya relevan untuk membangun perekonomian pedesaan melalui upaya memajukan agribisnis ternak itik ”bebek” sebagai salah satu alternatif bentuk penerapannya.

Dari segi permintaan, masih cukup tinggi. Apalagi sekarang ini, produk-produk ternak itik bukan hanya telur saja yang diminati tetapi juga dagingnya. Atasi Kendala

Selama ini, budidaya pengembangan itik masih terkendala masalah klasik. Kendala tersebut seperti misalnya pemeliharaan masih tradisional ekstensif (diumbar), sulitnya mencari bibit day old duck (DOD) unggul serta pengetahuan peternak yang masih rendah.

Padahal untuk itik magelang misalnya, dulunya mempunyai kemampuan memproduksi telur yang baik, bahkan beberapa penelitian membuktikan kemampuan produksi telur dapat mencapai 250ñ300 butir/ekor/tahun.

Namun, menurut hasil penelitian Ir Luthfi Djauhari Mahfudz MSc Phd (2005) dari Laboratorium Ilmu Ternak Unggas FP Undip, sekarang sangat sulit untuk mendapatkan itik yang mampu bertelur di atas 150 butir/ekor/tahun.

Penurunan ini akibat dari tidak adanya seleksi calon induk-pejantan unggul dan belum adanya program pembibitan (breeding) yang baik. Sehingga lama kelamaan kualitas itik Magelang baik secara genetik maupun fenotipe diduga menurun.

Di sisi lain, sistem pemeliharaan itik secara tradisional ekstensif memiliki banyak kekurangan.

Diperlukannya lahan yang luas, itik yang diumbar berpotensi mengganggu tanaman pertanian yang baru ditanam, membutuhkan tenaga kerja untuk pengembalaan sontoloyo, serta tingginya risiko itik terkontaminasi pestisida.

Selain itu, ada beberapa upaya alternatif pengembangan terpadu peternakan itik rakyat skala kecil sampai menengah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi dan populasi itik yang ada sekarang.

Pertama, model penyediaan bibit itik DOD. Pada model ini yang menjadi sasaran adalah daerah sentra bibit itik agar mampu menyediakan bibit yang dibutuhkan peternakan skala kecil sampai menengah secara kontinyu.

Sebagai penyedia bibit unggul, model ini memerlukan adanya sistem seleksi induk sebagai calon tetua dan inseminasi buatan (IB) untuk sarana perkawinan yang mampu mempercepat penyediaan bibit.

Kedua, model pelestarian plasma nutfah.
Dalam model ini lebih diarahkan pada pelestarian ternak itik-itik berbasis lokal asli ”murni” khas daerah asal masing-masing. Seperti itik magelang dan itik tegal asli yang nantinya sebagai sumber plasma nutfah unggulan provinsi ini.

Ketiga, model pengembangan sistem bagi hasil. Pada jenis model ini, peternak itik hanya menyediakan kandang dan tenaga kerjanya saja untuk memelihara itik dari pemilik modal. Sistem ini memerlukan kesepakatan yang saling menguntungkan antara peternak dengan pemilik modal. (10)

— Dedy Winarto SPt MSi, dosen Universitas Boyolali

Opini Suara Merdeka 24 November 2009