23 November 2009

» Home » Suara Merdeka » Berharap Jamsostek Berperan Lebih

Berharap Jamsostek Berperan Lebih

Kalau pun nantinya Jamsostek diharuskan bersinergi dengan badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS) yang lain, seperti Taspen, Askes, dan Asabri, tidak masalah. Akumulasi todal kekayaan empat BUMN ini lebih dari Rp 120 triliun.

PENYELENGGARAAN jaminan sosial tenaga kerja di Indonesia sudah 32 tahun. Badan penyelenggaranya, PT (Persero) Jamsostek, terus tumbuh dan berkembang setelah pada masa lalu sempat terbelit KKN yang melibatkan para pengelolanya dan penguasa saat itu. Sampai tahun 1999 total asetnya baru Rp 8 triliun. Tahun ini, atau 20 tahun kemudian, melambung menjadi Rp 80 triliun lebih.

Namun manakala ditelisik lebih lanjut, ternyata penambahan peserta belum seperti diharapkan. Saat ini beru 23% pekerja yang menjadi peserta program Jamsostek. Itu pun yang aktif sekitar 8,27 juta dan 19,57 juta peserta tidak aktif. Sementara jumlah pekerja potensial yang wajib menjadi peserta jumlahnya ratusan juta orang, tersebar di ratusan ribu perusahaan, belum terjaring. Belum lagi pekerja informal yang nyaris belum tersentuh.

Ada seloroh, siapa pun yang menjadi pengelolanya PT Jamsostek tidak akan merugi, sebab BUMN itu praktis menjadi pemain tunggal dan dalam beroperasi dilengkapi UU No 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga kerja.

Di bidang pelayanan juga dilakukan optimalisasi lewat penerbitan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No:Per-12/MEN/VI/2007 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan dan Pelayanan Jamsostek, yang merupakan perubahan dari Permenaker nomor 5 tahun 1993.

Kenyataannya, semua itu belum cukup ampuh untuk memaksa pemberi kerja atau pengusaha mengikutsertakan pekerjanya pada program Jamsostek. Bahkan ada pekerja rokok di Kudus yang secara missal keluar dari Jamsostek dan menyelenggarakan program jaminan sosial sendiri.

Selain itu masih banyak majikan yang tidak melaporkan jumlah gaji karyawannya sebagaimana adanya. Ada pula pengusaha yang hanya mengikutkan sebagian karyawannya. Semua itu pada akhirnya akan merugikan pekerja karena ketika terjadi klaim jumlah dana yang  dibayarkan PT Jamsostek akan lebih kecil dari yang semestinya.

Penegakan Hukum

Ironisnya temuan ini tidak ditindaklanjuti. Hampir tak ada pengusaha dihukum karena kasus-kasus seperti ini. Bisa jadi lambannya penambahan jumlah peserta karena minimnya penegakkan hukum. Perusahaan yang melanggar belum tentu bisa dipidanakan. Sesuai KUHP yang bisa menyidik hanya polisi, kejaksaan dan penyidik pegawai sipil. PT Jamsostek tak diberi kelengkapan itu.

Di negara lain penyelenggara jaminan sosial pekerja juga sekaligus diberi kewenangan law enforcement. Sementara itu di Indonesia penyidik sipil tenaga kerja ada di Depnakertrans dengan jumlah sekitar 1.800 orang. Tentu saja mereka kewalahan mengawasi ratusan ribu perusahaan. Terlebih jika pendanaannya minim. Kondisi ini membuat sebagian masyarakat mudah menilai, belum ada tekat kuat, political will, dari pemerintah untuk benar-benar melindungi pekerja.

Ada yang berpendapat seretnya penambahan peserta Jamsostek karena santunan yang diberikan relatif kecil. Hal ini bisa menimbulkan perdebatan panjang mengingat santunan itu sifatnya hak mendasar, normatif, sehingga kalau ingin lebih mestinya pemberi kerja yang menambahi. Jika diteliti lagi iuran yang dibayar sekitar 7% gaji pekerja yang dipikul bersama pengusaha. Dengan potongan sebesar itu pekerja sudah mendapatkan jaminan pemeliharaan kesehatan (JHT), jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan hari tua (JHT), dan jaminan kematian (JK).

Bandingkan dengan lembaga yang sama di Singapura (Central Provident Fund ñ CPF) yang iurannya 40% dari gaji pekerja, Malaysia (Employees Provident Fund - EPF) 23%, India 24%, Sri Lanka 20%. Rasio iuran Jamsostek hanya sebanding dengan beberapa negara Afrika seperti Gabon , Nigeria , Zambia dan Vanuata.

Benar keuntungan PT Jamsostek terus melambung dalam lima tahun terakhir ini. Prestasi ini bisa jadi merupakan petunjuk para pengelolanya bekerja dengan benar. Hasil investasi kuartal III 2009,misalnya, mencapai Rp 6,9 triliun. Dari asil itu sekitar Rp 4,77 triliun disisihkan untuk pekerja peserta Jamsostek. Jika dibandingkan dengan bunga deposito hasil investasi itu lebih tinggi.

Total dana investasi Jamsostek kwartal III 2009 mencapai Rp 77 triliun. Dana itu merupakan akumulasi dari dana pekerja yang dihimpun Jamsostek ditambah hasil investasi sebelumnya. Jika dirinci, total dana investasi berasal dari iuran JHT sebesar Rp 6,7 triliun dan dana non-JHT Rp 9,2 triliun. Sedangkan komposisi portofolio investasi sebesar 34% dialokasikan ke deposito, 45% obligasi, 16% saham, serta 5% reksa dana dan investasi langsung. Hasil investasi terbesar masih dari obligasi, saham, dan deposito.

Setelah lebih banyak memilih investasi di zona aman, PT Jamsostek rupanya berencana mendirikan empat anak usaha di bawah naungan Jamsostek Incorporate. Rencana ini akan direalisasikan tahun 2010. Anak perusahaan itu akan bergerak di bidang investasi, healthcare, banking, dan service management.

Untuk usaha di bidang investasi BUMN itu akan mendirikan Jamsostek Investment Company dengan menggandeng Islamic Corporate Development (ICD) yang merupakan anak usaha Islamic Development Bank. Sebuah kesadaran yang cukup terlambat. Seandainya hal itu sudah dilakukan 10 tahun lalu, saat ini Jamsostek pasti sudah menguasai saham-saham perusahaan strategis. Namun bukanlah lebih baik terlambat dari pada salah bertindak?
Idealnya anak perusahaan PT Jamsostek ini nantinya bisa seperti Soverign Wealt Fund (SWF). Sukses model ini telah dinikmati China melalui BUMN-nya, yakni China Investment Corp. Perusahaan itulah yang akhirnya menjadi isnpirasi perusahan pengelola jaminan sosial di Malaysia dan Singapura.

Melakukan Sinergi

Sejatinya, membentuk perusahaan yang benar-benar kuat secara modal dan jaringan, tidak ada salahnya melakukan sinergi dengan sejumlah BUMN sejenis, seperti Taspen, Asabri, Askes. Tiga BUMN terakhir ini total asetnya Rp 61,6 triliun. Jika ditambah aset PT Jamsostek Rp 80 triliun sinergi usaha ini tentu mampu menambah akselerasi pergerakan ekonomi nasional. Bahkan saat badai krisis ekonomi menerjang bisa menjadi penangkal.

Oleh Wahyu Atmaji
Opini Suara Merdeka 23 November 2009