BAYANGAN penulis tentang daerah pegunungan adalah tersedianya air bersih yang melimpah. Tidak ada kamus kekurangan air di rumah tangga, sebab air terus mengalir dari sumber mata air.
Akan tetapi bayangan itu segera kandas begitu penulis menjejakkan kaki di permukiman di sekitar lereng Gunung Sumbing, yakni di Desa Lamuk, Kecamatan Kalikajar, Kabupaten Wonosobo. Begitu juga di desa-desa sekitar, seperti Simbang, Bowongso, Butuh Kidul, Purwijiwo, Kalikuning, dan sebagainya.
Ya, ternyata masyarakat di kaki gunung di Wonosobo mengalami problem air bersih yang cukup serius. Tak hanya masyarakat Gunung Sumbing, sebagian masyarakat Gunung Sindoro pun mengalami hal serupa.
Pun di dataran tinggi Dieng, masyarakat terancam kekurangan air. Maka persoalan pasokan air adalah masalah akut yang harus segera dipecahkan.
Akar permasalahan yang kurang disadari adalah distribusi air. Tidak ada pengelolaan yang tertata dan teratur. Cara yang digunakan untuk menyalurkan air masih konvensional dan tidak efisien. Mata air pegunungan langsung dialirkan melalui pipa air besar yang kemudian disalur dengan pipa-pipa kecil menuju rumah warga.
Sementara warga tidak memiliki tempat penampungan air. Akibatnya ketika air melimpah, air akan terbuang sia-sia melalui corong pipa. Sebaliknya, ketika air surut warga tidak memiliki simpanan air.
Penggunaan air pun sangat boros. Sebab mandi dan mencuci dilakukan dengan menggunakan air yang langsung keluar dari pancuran mulut pipa.
Dengan cara demikian, jumlah air yang terpakai sangat banyak dan kurang bisa diperhitungkan. Berbeda jika menggunakan bak mandi, penggunaan air bisa dikendalikan kuantitasnya.
Maka perlu ada sistem distribusi yang benar agar air dapat tersalurkan ke rumah-rumah warga secara efisien dan merata, serta pembagian yang relatif sama. Yaitu dengan cara membuat penampung air yang skalanya besar di satu desa.
Penampung itu dipenuhi melalui pipa-pipa besar yang langsung menyalur ke sumber mata air. Dari penampung itulah dipasang pipa-pipa kecil yang mengalir ke rumah-rumah warga.
Strategis Dengan adanya penampung, pengelola mampu mengetahui debit air yang dapat disalurkan. Ini sangat strategis untuk mengantisipasi kekurangan air. Di samping itu, penampung dapat difungsikan sebagai ”lumbung air”.
Di situlah pasokan air dijaga agar tetap stabil dan memenuhi kebutuhan masyarakat.
Adapun pengaliran air ke rumah-rumah warga bisa diatur secara bergantian. Misalkan berurutan dari satu rukun tetangga (RT) ke RT lain, dengan jatah waktu sama setiap harinya.
Setiap rumah harus memiliki tandon (penampung air rumahan) untuk menyimpan air. Selain itu, warga sebaiknya memasang bak mandi di rumah masing-masing. Tujuannya penggunaan air bisa dihemat, ketimbang air langsung dipakai menggunakan pancuran.
Sisi lain problem air yang kurang disadari masyarakat adalah berkurangnya kuantitas air yang mengalir dari sumber mata air saat musim kemarau. Ancaman kekurangan air bersih untuk kebutuhan rumah tangga tak bisa dielakkan.
Salah satu penyebab menyusutnya sumber air adalah penggundulan hutan. Penebangan pohon oleh warga tidak diperhitungkan dampaknya. Bahwa, takkan ada lagi akar-akar pohon yang berfungsi menyimpan air. Penanaman kembali pun minim.
Oleh karena itu, perlu adanya penumbuhan kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan. Khususnya sumber daya hutan yang sangat berkait erat dengan kualitas ataupun kuantitas mata air pegunungan. Di samping itu, Pemerintah Kabupaten Wonosobo perlu memaksimalkan fungsi konservasi hutan lindung.
Ini adalah tanggung jawab semua pihak, termasuk Perhutani yang mempunyai peran besar dalam menjaga dan melestarikan hutan. Yang mutlak harus dilakukan adalah rehabilitasi lahan kritis di lereng Sumbing. Ribuan hektare hutan justru dimanfaatkan masyarakat untuk lahan pertanian produktif tanpa mempertimbangkan dampak keseimbangan alam.
Bahwa, air adalah kebutuhan primer masyarakat yang harus dipenuhi dengan baik. Kekurangan air berdampak pada menurunnya kualitas kesehatan masyarakat.
Harus disadari pula, kekurangan air turut berdampak pada pemiskinan masyarakat. Sebab itu akan memengaruhi struktur tanah yang menjadi tidak subur akibat kurangnya persediaan air tanah. Dengan demikian produksi pertanian akan terhambat. (10)
— Musyafak Timur Banua, mahasiswa kuliah kerja nyata (KKN) di Desa Lamuk, Kalikajar, Wonosobo
Opini Suara Merdeka, 24 November 2009