Pada hari Rabu, 17 Februari, Kota Sala diupacarai oleh warga dalam event hari jadi kota yang ke-265. Tepatnya, tiga abad lebih 10 tahun, 2 bulan yang lalu, deklarasi berdirinya kota tercinta ini ditetapkan oleh Paku Buwono (PB) II, sekaligus dibarengi upacara Kirab Agung diselenggarakan oleh para punggawa Keraton.
Peristiwa ini menjadi terasa agung dan sangat membanggakan bagi warga kota sekarang karena walau lebih tiga abad yang lampau peristiwa itu namun warga mampu mempertahankan eksistensi dan jati dirinya menjadi warga kota yang baik.
Tetapi akhir-akhir ini, muncul gugatan dari sebagian kalangan pensiunan yang merasa resah dan terusik jati dirinya, bila nama kotanya dipermainkan menjadi antara kosakata Jawa dan Indonesia, yaitu nama Sala atau Surakarta. Beberapa dokumen lokal yang sempat dijumpai penulis, seperti Babad Tanah Jawi, Babad Giyanti, dan Babad Lelampahan RM Said, tidak pernah menyebutkan fakta tentang nama “Kartasuro” menjadi kepanjangan ”Surakarto”.
Tetapi penyebutan nama “Kutho Sala” menjadikan wacana yang lebih aktual karena nama itu memiliki kepanjangan dari desa “Salakarta”. Ini menjadi bukti nyata bahwa orang-orang yang pernah hidup di zaman dulu, sebenarnya tetap mematuhi kaidah-kaidah bahasanya dan tetap konsisten mempertahankan ejaan “kejawaannya”.
Tiga dokumen kuno yang pernah menjadi referensi para peneliti tentang “Sejarah Kartasura, Sejarah Kasunanan, Sejarah Kasultanan, dan Sejarah Mangkunegaran bila para peneliti itu masih konsisten memegang teguh kaidah-kaidah heuristic sumber, sudah selayaknya tidak berani merusak (clunthangan) merusak fakta-fakta lokal yang dijadikan acuan dalam metode penelitian sejarah lokal.
Para peneliti sekarang cenderung mengabaikan ejaan Jawa dan kosakata kejawaannya karena begitu mudahnya fakta-fakta itu dianulir menjadi ketatabahasaan yang mengindonesia.
Berbagai sumber yang masih konsisten menyebut nama tempat seperti peristiwa Kirab Kedathon yang digambarkan kemarin, seluruh ejaan Jawa yang dimuat dalam tiga dokumen itu, tetap menggambarkan nama Desa Sala sebagai bagian terpenting dari konsep perkembangan dari kota Kartasura. Oleh sebab itu, rujukan pemberian namanya, juga masih tetap nama kota Salakarta, bukan Surakarta.
Diperbandingkan
Ada baiknya bila dianggap penting untuk rujukan nama Salakarta itu, kita perlu membandingkan nama-nama yang pernah diakses oleh kepentingan Kolonial Belanda, yaitu nama eks Karesidenan Surakarta.
Bila Belanda pernah menerapkan konsep kewilayahan setingkat karesidenan, sampai sekarang bisa dikonotasikan sama dengan nama Surakarta, boleh jadi perubahan untuk sebutan Salakarta itu, menjadi surut seiring gelar dan jabatan baru nama Karesidenan itu. Tapi sebutan sumber lokal tetap jangan diubah.
Pada awal abad 18, Belanda pernah mengubah struktur pemerintahan Hindia Belanda, menjadi dobel (ganda) pemerintahan, yang seolah-olah kedudukan raja Jawa disamakan atau selevel jabatan residen asisten residen dengan bupati, kontrolir denga wedana dan asisten kontrolir dengan camat. Struktur kolonial cenderung menjajah pemerintahan raja dan bawahannya karena mereka mengincar pajak (pasok hasil bumi) dari kalangan bangsawan kerajaan. Dengan demikian, sebutan eks Karesidenan Surakarta ini menjadi sangat mengacaukan untuk generasi sekarang.
Tulisan ini dimaksudkan bisa memberi masukan untuk Walikota Jokowi-Rudy yang didesak untuk mengubah nama kota, dari nama Surakarta dihapus menjadi Sala yang senapas dengan nama daerah Salakarta. Saya kira nama Sala, lebih afdol daripada Surakarta karena itu berbau Kolonial. - Oleh : Drs Soedarmono SU Dosen Sejarah Fakultas Sastra UNS
Opini Solo Pos 22 Februari 2010
21 Februari 2010
Salakarta apa Surakarta?
Thank You!