21 Februari 2010

» Home » Suara Merdeka » Kebijakan Publik Pro-Pasar Johar

Kebijakan Publik Pro-Pasar Johar

PRO-KONTRA rencana revitalisasi Pasar Johar Semarang terus bergulir hingga saat ini. Belum ada kata sepakat dan titik temu antara pedagang, masyarakat, pemerhati tata kota, dan Pemerintah Kota Semarang. Namun Pemkot menyatakan banyak investor berminat menanamkan modalnya dalam rencana revitalisasi pasar yang saat ini ditempati sekitar 6.000 pedagang tersebut.

Satu hal yang saya kira perlu menjadi pijakan adalah bahwa sebuah kebijakan yang dilahirkan tidak boleh hanya mendapatkan pasokan dukungan dari segi-segi yang amat pragmatis. Sebuah kebijakan akan kehilangan elan etisnya bila secara serampangan tidak mengindahkan kepentingan hajat hidup orang banyak.


Dari situ penulis ingin sejenak mengajak bersama melihat revitalisasi Pasar Mojokerto Jatim beberapa waktu lalu yang akhirnya menimbulkan kisruh dan benturan tajam antara pedagang di satu pihak serta pemodal dan pemerintah daerah pada pihak lain.

Pada kasus Pasar Mojokerto, pedagang kecil yang awalnya menempati pasar tersebut menolak membeli kios dalam pasar yang baru saja dibangun karena harganya yang mahal. Tapi pemerintah, yang telah bergandengan dengan pihak pengusaha, memaksa pedangang untuk membeli kios jika ingin tetap berdagang. Jika menolak, mereka tak akan diizinkan berdagang. Konflik pun akhirnya menjadi tak terelakkan.  

Belajar dari kasus tersebut, penulis ingin menunjukkan bahwa seringkali ketika sebuah pemerintah daerah memaksa merenovasi sebuah pasar tradisional, alasan klise yang selalu digunakan adalah dalam rangka penataan, efisiensi, meningkatkan kesejahteraan pedagang serta agar dapat bersaing dengan pasar modern. Tetapi, realitas justru sering berbicara lain. Yang terjadi justru sebaliknya, yakni pemilik modal yang ternyata menguasai struktur ekonomi dan pedagang kecil lagi-lagi harus terpinggirkan.

Ada dua hal yang saya kira perlu menjadi catatan penting bagi pemerintah daerah dalam menyikapi kasus-kasus semacam ini. Pertama, apapun tujuannya, sebuah kebijakan publik yang dilahirkan dan menyangkut hajat hidup orang banyak tidak boleh kehilangan saripati sosialnya hanya demi kepentingan segelintir orang saja. Kedua, ketika pemda hendak menggenjot pendapatan asli daerah (PAD), ia juga tidak boleh hanya mendengar suara pemilik modal tanpa terlebih dahulu mendengar suara-suara rakyat yang diasuhnya.

Dalam konteks itulah maka keadilan harus menjadi tujuan dan pijakan utama dari setiap kebijakan. Dalam banyak kasus kita terlalu amat sering melihat rakyat kecil selalu saja terpinggirkan dan keadilan bagi mereka seringkali masih sebatas mimpi. Mereka selalu terpinggirkan oleh kekuatan modal. Ketimpangan yang begitu mencolok serta compang-campingnya wajah pembangunan juga semakin meneguhkan kembali pentingnya menyelami makna keadilan.
Kehendak Masyarakat Di negeri ini, terlalu banyak tamsil dalam masyarakat yang menampakkan bagaimana bangsa yang menyebut secara eksplisit keadilan sosial sebagai salah satu ideologi dasarnya seolah tak menghiraukan lagi kebaikan bersama (common good). Dalam konteks inilah pemerintah daerah harus betul-betul mendengar apa yang sesungguhnya menjadi kehendak masyarakat.

Pada titik ini, yang menjadi persoalan kemudian adalah bagaimana menjamin kinerja kekuasaan agar ia tidak melahirkan ketimpangan dan pemarginalan terhadap satu kelompok tertentu. Dalam ranah kebijakan publik, itu semua dimaksudkan agar kekuasaan dapat menjadi public good, dan bukan bad good. Maka jika revitalisasi Pasar Johar tetap dilanjutkan, jelas ia akan menjadi sebuah pertaruhan atas keberpihakannya pada rakyat kecil.

Di Indonesia, rakyat miskin yang dalam banyak hal telah termarginalkan akibat kebijakan-kebijakan yang jarang sekali berpihak pada mereka, ternyata energi mereka juga terkuras habis berhadapan dengan ketidakadilan yang semakin menggerus dan meminggirkan eksistensi mereka.

Pedagang kecil yang berada di Pasar Johar misalnya, tentu akan kalah ketika mereka harus bertarung dengan para pemilik modal. Di sinilah sesungguhnya pentingnya kebijakan-kebijakan daerah yang berpihak masyarakat miskin.

Selama ini ketika berhubungan dengan modal, kebijakan-kebijakan yang diambil oleh negara (pusat dan daerah) terlalu minim yang menyentuh ranah komunitas-komunitas miskin. Visi keadilan secara perlahan telah dikikis oleh pemilik modal yang rakus dan aparat yang korup. 

Karena itu yang mendesak untuk dilakukan adalah bagaimana merumuskan kebijakan yang berpihak pada kelompok-kelompok yang selama ini tersisih dan tersudut di tepi pembangunan guna menciptakan rasa keadilan. Selama ini secara struktural orang miskin selalu saja terpinggirkan dan terlupakan dalam berbagai kebijakan. Berbagai fasilitas dan segala macam regulasi lebih banyak berpihak pada kaum borjuis (pemilik modal) dan elite.   (10)

— Marwan Ja’far, anggota Komisi Infrastruktur DPR dan Ketua Fraksi PKB DPR
Wacana Suara Merdeka 22 Februari 2010