Lupa pun menjadi kebiasaan, kesalahan pun berulang. Lupa jadi mirip kutukan—hingga reproduksi kejahatan terhadap rakyat, perbuatan setiap masa.
Skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) menjadi kejahatan ekonomi terbesar Indonesia—tak ada yang membantahnya. Uang negara Rp 320 triliun diselewengkan melalui kebijakan sistematis. Bank BUMN bisa terima Rp 175,3 triliun dan 48 bank swasta nasional digelontor Rp 144,5 triliun.
Hasil audit BPK 31 Juli 2001, sejumlah bank swasta ditengarai berpotensi merugikan uang negara Rp138, 4 triliun....Kemudian BPK pun menemukan Rp 84,8 triliun ditengarai diselewengkan.
Pemerintah pun menerbitkan obligasi senilai Rp 655 triliun (akhir Mei 2001). Menurut catatan Setiawan Djody dalam bukunya Rakyat Menunggu, periode 2004-2009, APBN mesti menanggung bunga dan cicilan pokok penerbitan obligasi. ”Besarnya mencapai Rp 100 triliun setiap tahun...,” tulis pemilik Setdco itu.
***
Keadilan pun jadi persoalan dan beberapa orang nakal pun menjadi kaya mendadak. Terpenuhikah rasa keadilan, karena mayoritas dari lebih 200 juta warga bangsa ini terganggu fasilitas yang mesti diterimanya? Pasti, anggaran pendidikan, kesehatan, perumahan, pembangunan jalan, jembatan dan dam serta irigasinya dipotong....Demi alasan kepentingan politik, semuanya jadi lupa atau terlupa?
Kini pun penyelesaian kasus itu sampai sejauh mana, maunya semua orang lupa. Daya ingat kolektif seperti tersumbat. Hampir sewindu kemudian, terjadi kesalahan mirip: Kasus Bank Century, yang di-bailout Rp 6,7 triliun. Uniknya melalui penelusuran Pansus, diketahui bisa dicairkan Rp 11,4 triliun....
Sejumlah orang pintar dan penting, termasuk Boediono bersama Menkeu Sri Mulyani, yang ikut bertanggung jawab meloloskan pengucuran dana bailout, saat dipanggil Pansus Century seperti orang lugu dan tak kompeten.
Sebagai Gubernur BI saat kebijakan bailout, Pak Boed, panggilannya, mengaku banyak tak tahu proses pengambilan keputusan. Pak Boed banyak lupa....
Beberapa orang yang ikut rapat proses bailout, di hadapan wakil rakyat yang memanggil mereka, bukan memperlihatkan performa orang yang cerdas, jago bicara dan organisatoris. Tak seperti biasanya. Mereka sering menjawab lupa, tak tahu. Lupa pun menjadi penyakit massal.
***
Di sidang pengadilan kasus buku ajar di Solo, sejumlah pejabat dan mantan pejabat pun menirukannya: Lupa, atau kata tidak ingat. Sejumlah pertemuan penting di hotel, dan kumpul rahasia yang dibuka di sidang, dibantahnya. Padahal, di antara pejabat itu saat hendak diajukan sebagai pejabat beberapa tahun sebelumnya, di kalangan anggota Dewan dan lembaga tertentu, disebutkan mereka berpengalaman, cerdas dan religius.
Dulu, penyidik kepada media telanjur bicara kasus buku ajar ini bakal melibatkan belasan tersangka—ternyata mereka memasukkan “bakal calon tersangka” itu dalam kategori “lupa”, tak diingat lagi.
Mantan Walikota Solo, Slamet Suryanto, yang kini menjadi terpidana kasus korupsi Anggaran Biaya Tambahan (ABT) 2003 pun menderita sendiri. Dikabarkan atau dirumorkan, karena belum ada keterangan resmi dokter bahwa mantan “orang tangguh” Solo itu terkena stroke berat dan mengalami amnesia.
***
Sepulang dari Depok, Jabar, beberapa tahun lalu, saya sempat menemuinya. Kepada saya, ia berkeluh kesah, ia merasa dijebak “orang-orang pintar”. “Orang paling dekat, jadi orang paling jauh saat situasi seperti ini. Kadang mereka malah ingin segera menggantung saya, dengan melemparkan semua tanggung jawab ke saya saja,” katanya, kalau bukan berbisik.
Dia menyebutkan orang-orang itu, tapi saya diminta untuk mengingatnya, apakah falsafah Jawa pas adanya... Semua orang saat itu membawa proposal mereka dengan dalih prospek dan keuntungan bagi masyarakat Solo, ia pun tergoda menekennya. Dari tekenan itulah, dia terkena kasus yang menyeretnya ke pengadilan.
Dulu, saat Slamet masih menjabat tiap hari, pejabat silih berganti datang. Kini, mereka jarang atau malah meninggalkan Slamet. Mantan orang nomor satu Solo itu kini lupa, dilupakan, sendirian.
Secara keseluruhan korupsi di Indonesia, menurut Theodore M Smith menulis dalam Corruption Tradition and Change, sebagai masalah politik dari pada masalah ekonomi.
Saat politik bicara, kasus korupsi pun sirna dan direkayasa agar dilupakan, sampai akhirnya muncul dan mengagetkan lagi. Semua, seperti dipopulerkan novelis Milan Kudera, harus berani melawan lupa! - Oleh : YA Sunyoto Wartawan SOLOPOS
Opini Solo Pos 22 Februari 2010
21 Februari 2010
Melawan (kebiasaan) lupa...
Thank You!