21 Februari 2010

» Home » Kompas » Obat Generik Tak Bergigi?

Obat Generik Tak Bergigi?

Pro dan kontra mengenai obat generik selalu menjadi isu menarik di bidang kesehatan. Tidak pernah diketahui siapa yang mendengungkan, tetapi sebagian masyarakat, bahkan dokter, sudah telanjur menganggap bahwa obat generik adalah obat untuk orang miskin.
Peresepan obat generik dianggap tidak bergengsi, murah, diragukan kemanfaatannya, dan kandungan zat aktifnya di bawah standar. Harga obat generik yang murah juga tidak jarang dijadikan alasan penolakan. Mana mungkin obat murah memberi khasiat setara obat yang mahal?
Fenomena ini menunjukkan ada yang salah dalam menjelaskan apa itu obat generik. Distorsi informasi mengenai obat generik juga diperparah oleh kurang konsistennya pemerintah dalam menerapkan kebijakan obat generik. Berbagai kebijakan dalam surat keputusan Menteri Kesehatan seolah-olah tak berdaya ketika berhadapan dengan realitas di lapangan.


Para dokter tetap meresepkan obat merek dagang, duta-duta farmasi tetap berkeliaran menyodorkan obat produk perusahaan, dan masyarakat lebih memilih tidak diresepkan obat generik. Entah apa yang keliru, tetapi kebijakan obat generik tampaknya akan selalu menemui jalan buntu jika upaya sistematik dan komprehensif tak dilaksanakan secara intens oleh berbagai pemangku kepentingan.
Obat generik adalah obat duplikat. Ketika suatu industri farmasi mengembangkan obat baru, yang bersangkutan memiliki hak paten selama 15-20 tahun untuk memasarkan obat produknya tanpa diusik industri farmasi lain. Obat yang memiliki hak paten ini lazim disebut obat originator. Setelah masa paten terlewati, industri farmasi lain boleh memproduksi obat yang kandungan zat aktifnya sama persis. Ini yang disebut sebagai obat duplikat atau obat generik. Jika obat generik diberi logo, disebut obat generik berlogo. Jadi, obat merek dagang dan obat generik berlogo pada dasarnya obat generik.
Pertanyaannya, mengapa obat generik murah, sedangkan obat originator sangat mahal? Industri farmasi yang memproduksi obat originator harus mengeluarkan biaya yang teramat besar untuk riset, antara lain uji pra klinik in vitro dan in vivo, uji pada hewan coba, ataupun uji klinis pada manusia yang umumnya melibatkan ratusan hingga ribuan subyek.
Tidak demikian halnya industri farmasi yang memproduksi obat duplikat. Produsen obat merek dagang juga tak perlu melakukan uji klinis sehingga biaya produksi obat merek dagang tak beda dengan obat generik. Soal obat, banyak yang aneh di negeri ini. Harga obat merek dagang bisa sama mahal dengan produk originatornya, bahkan 50-80 kali lebih mahal, padahal bahan aktif dan kandungan sama persis. Namun, siapa yang peduli? Rakyat tak berdaya, sementara wakil rakyat lebih memikirkan politik dan diri sendiri. Di sisi lain, pemerintah tidak punya energi untuk mengatasi masalah ini dan tak bernyali menghadapi industri farmasi.
Obat generik hanya bertaring di puskesmas, tetapi tak bergigi di pelayanan kesehatan yang lebih tinggi, apalagi swasta. Dengan dalih harga yang terlalu murah, ketersediaan obat generik di banyak daerah juga sering langka. Herannya, industri farmasi yang sama justru menyodorkan obat merek dagang produk mereka yang harganya tiga kali lipat obat generik.
Lingkaran setan
Lalu, bagaimana dengan dokter? Mengapa mayoritas dokter lebih senang meresepkan obat merek dagang? Bukan rahasia lagi, ada insentif tak kasatmata di balik peresepan obat merek dagang. Tiket dan akomodasi gratis di hotel bintang lima untuk menghadiri seminar atau kongres yang didanai industri farmasi. Sarapan pagi ala Eropa, makan siang sepuasnya, makan malam di restoran mahal, siapa yang tak suka?
Toh, dokter perlu menambah ilmu, mengumpulkan poin demi poin agar setelah lima tahun dapat memperpanjang lagi izin praktik, sesuai UU Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004. Kelompok dokter seperti ini sering berujar ke pasien, kalau ingin cepat sembuh, jangan minum obat generik. Dokter yang secara tegas menyangsikan mutu obat generik juga tidak sedikit. Pemerintah sendiri dianggap tak transparan soal produsen yang nakal, yang sebetulnya belum 100 persen memenuhi persyaratan cara pembuatan obat yang baik (CPOB). Jadi, tak salah kita menyebut masalah obat, dokter, industri farmasi, dan pemerintah sebagai circulus vitiosus (lingkaran setan).
Masyarakat sendiri terpolarisasi secara acak mengenai obat generik ini. Jika dulu kelompok sosial-ekonomi menengah dan atas merasa alergi terhadap obat generik, akhir-akhir ini pun masyarakat miskin sudah terpapar secara sistematik dengan istilah obat generik adalah obat yang tidak menyembuhkan. Beginilah nasib obat generik. Di kota tidak dipercaya, di daerah pelosok mulai terpojok.
Masalah mendasar lain yang tak kalah penting adalah bahan baku obat. Sekitar 96 persen bahan baku obat masih impor dan sangat rentan terhadap fluktuasi dollar AS. Sulit memang, tetapi bukannya tak ada solusi. Kebijakan obat harus disusun lebih komprehensif. Industri farmasi yang tak lagi mau memproduksi obat generik dengan alasan minim profit perlu dijewer. Kalau perlu, pengajuan registrasi untuk obat berikutnya disuspensi untuk efek jera. Pemerintah perlu terus mendorong pemberlakuan managed care secara nasional. Hanya lembaga asuransi berskala besar, seperti PT Askes yang memiliki posisi tawar sangat tangguh dalam memperoleh obat dengan harga masuk akal.
Ikatan Dokter Indonesia juga harus mengambil peran sentral mengingatkan para dokter bahwa salah satu area kompetensi dokter adalah moral, etika, dan medikolegal. Jika di Malaysia semua dokter pemerintah wajib menuliskan resep dalam bentuk nama generik, mengapa itu sulit dilakukan di negara ini? Pemerintah juga tidak boleh membiarkan industri farmasi yang belum CPOB 100 persen; karena melindungi industri farmasi nakal akan selalu memberi citra obat generik sebagai obat yang mutunya rendah.
Terakhir, diseminasi informasi yang seimbang, terbuka, dan lugas harus selalu didengungkan ke masyarakat bahwa obat generik memiliki mutu sama dengan obat merek dagang. Biarlah masyarakat yang menilai industri farmasi mana yang menghasilkan obat yang patut dikonsumsi karena terbukti mutunya.
Iwan DwiprahastoPemerhati Masalah Obat dan Kesehatan
Opini Kompas 22 Februari 2010