Oleh TOTO SUHARYA
BANJIR dan longsor mulai melanda kembali beberapa daerah di Indonesia. Bencana selain mengajarkan kepedulian sosial, juga memberi pelajaran kepada umat manusia agar memahami berlaku mutlaknya hukum sosial (sunnatullah) dalam kehidupan manusia. Berlaku mutlaknya hukum sosial dapat kita umpamakan seperti berlakunya hukum gravitasi bumi dalam hukum eksak. Jika kita jatuh dari lantai tujuh satu gedung, tubuh kita pasti akan terempas ke tanah. Begitu pula dengan hukum sosial. Hukum itu berlaku untuk semua orang, tanpa pandang bulu.
Sebagaimana dijelaskan Nurcholis Madjid (2008), keberadaan hukum sosial, jauh-jauh hari sudah dideteksi ahli sosiologi Ibnu Khaldun. Salah satu hukum sosial tersebut adalah ”siapa membawa kejahatan, balasan setimpal atas kejahatan, dan siapa membawa kebaikan, balasan yang lebih atas kebaikannya”.
Rhonda Byrne (2008) dalam bukunya The Secret menyebut ini sebagai hukum tarik-menarik. Umat Kristen menyebutnya sebagai hukum tabur tuai. Umat Hindu menyebutnya sebagai hukum karma. Penulis sendiri menyebutnya sebagai hukum gravitasi manusia (masyarakat). Dengan memahami hukum sosial tersebut, kini saatnya masyarakat belajar memahami mengapa bencana di Indonesia kerap terjadi.
Di dalam Alquran, banyak ayat yang menerangkan tentang berlakunya hukum sosial ini. Misalnya, dalam surat Ar-Ruum (30) ayat 9 kita temukan, ”Maka Allah sekali-kali tidak berlaku zalim kepada mereka, tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri sendiri”. Makna yang sama dapat kita temukan dalam ayat lain, ”Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri. Jika kamu berbuat jahat, kejahatan itu bagi dirimu sendiri…” (Al-Israa [17] : 7).
Secara tegas berlakunya hukum sosial dijelaskan dalam ayat lain, ”Barang siapa yang datang dengan (membawa) kebaikan, maka baginya (pahala) yang lebih baik daripada kebaikannya itu; dan barang siapa yang datang dengan (membawa) kejahatan, maka tidaklah diberi pembalasan kepada orang-orang yang telah mengerjakan kejahatan itu, melainkan (seimbang) dengan apa yang dahulu mereka kerjakan,” (Al-Qashash [28] : 84).
Dengan memahami berlakunya hukum sosial, kita bisa berkesimpulan, segala sesuatu yang terjadi kepada diri, masyarakat, atau bangsa ini, sudah pasti bersumber dari buah amal diri, masyarakat, dan bangsa kita sendiri. Hukum ini tidak terjadi secara kebetulan sebagaimana disangka orang karena hukum adalah ketetapan yang berlaku mutlak dan bisa dibuktikan secara empiris.
Namun, dengan memahami berlakunya hukum ini tidak berarti kita harus merasa paling benar atau saling menyalahkan. Jika kembali pada dasarnya, setiap manusia tidak akan luput dari kesalahan. Dengan memahami hukum sosial, kita bisa sadar dan paham bahwa berbagai bencana yang tiap tahun terjadi, bukanlah hukuman Tuhan, dan bukan berarti kesalahan mereka yang terkena bencana semata, melainkan ini bencana yang menimpa bangsa.
Atas nama bangsa, kita telah menyumbang dosa-dosa yang menjadi penyebab timbulnya bencana demi bencana di negeri ini. Bencana adalah peringatan kepada bangsa Indonesia bahwa hukum sosial (sunnatullah), hukum tabur tuai, hukum karma, hukum gravitasi masyarakat itu benar-benar ada. Seiring terjadinya berbagai bencana, berbagai jenis kejahatan sudah terjadi di negeri ini.
Dengan memahami hukum sosial ini, kita bisa bersikap. Pertama, berhati-hatilah dalam bertindak dan berperilaku krena setiap perbuatan buruk yang kita kerjakan akan mendapatkan balasan setimpal dengan sendirinya. Kedua, berlomba-lombalah berbuat kebaikan karena kebaikan akan mendapatkan balasan berlipat ganda dengan sendirinya. Ketiga, berpikirlah bahwa sekecil apa pun kebaikan yang kita lakukan adalah kebaikan untuk diri kita. Oleh karena itu, berbuat baiklah sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya perbuatan adalah perbuatan baik yang berdampak bagi orang banyak. Muncul pertanyaan, perilaku nyata apa yang harus kita lakukan dalam menghadapi semua bencana ini?
Rasulullah memberi contoh, Nabi tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Nabi selalu membalas kejahatan dengan kebaikan yang lebih baik. Jika bencana demi bencana kita anggap sebagai keburukan yang kita terima, untuk menghentikannya kita harus mengimbanginya dengan melakukan perbuatan-perbuatan baik. ”Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan,” (Al-Mukminuun [23] : 96).
Akhirnya, setelah memahami berlakunya hukum sosial, kita bisa menentukan sikap terbaik dalam menghadapi sekaligus menolak timbulnya kembali bencana. Bencana bukanlah murka Tuhan, melainkan balasan atas perbuatan-perbuatan buruk yang selama ini kita lakukan. Untuk itu, mari kita pesankan kepada diri kita masing-masing, ”berlomba-lombalah untuk berbuat kebaikan untuk mengakhiri segala bencana di negeri ini”. Membantu korban bencana adalah salah satu contoh kebaikan yang harus kita lakukan. Selain itu, mari kita junjung tinggi kejujuran, stop korupsi, stop suap-menyuap, stop merusak lingkungan, stop perzinaan, stop plagiat, dan stop segala perilaku buruk semaksimal mungkin! Wallahu a’lam.***
Penulis, staf pengajar sosiologi dan politik di Universitas Widyatama Bandung, pengamat sosial keagamaan, Ketua AGP PGRI Jawa Barat
Opini Pikiran Rakyat 22 Februari 2010